Halaman

Sabtu, 17 Desember 2011

zairun

cerpen hamdan

 

















“Haaa …. aa ….. aaakhh ….!”

“Krrk! Krrk!”

Ia memaksakan tubuhnya bangun. Tapi ia masih malas-malas. Sisa kantuk masih tampak pada kuapan dan mata yang redup seolah enggan terbuka. Duduk bersandar di tepi ranjang, menimbang-nimbang ajakan kantuknya untuk baring kembali. Namun cahaya yang menembus ke dalam kamar lebih membuat ia melangkah untuk membuang air kencing yang terbendung dan mencuci wajah secukupnya. Ia baru sadar, saat itu sore baru beranjak. Sore pertama untuk kedatangannya di tempat itu.

“Kek, aku mau jalan sore. Boleh kan kakek sendirian di rumah sebentar?”

“Sebaiknya tidak sampai keringatan”, kata kakeknya memberi peringatan. “Karena di sini kita hanya bisa mencuci pakaian setelah lima hari pakai. Dokter pun jika tinggal di sini, harus bisa mandi sekali dalam dua hari satu malam.”

“Dua hari semalam, atau dua malam sehari?”

“Yaah, sama saja. 36 jam. Tiga kali dua belas jam. Bergantian to? Setelah dua hari satu malam, berarti dua malam satu hari.”

“Apakah semua orang mengambil air di rumah ini?”

“Iya, kami mencari di setiap sumur. Di tempat ini hanya ada tujuh orang yang mengisi tujuh kilometer panjang lorong. Ada empat buah rumah. Hanya saya yang tinggal sendirian. Tapi sejak empat hari lalu tinggal enam orang. Yang satu sudah mati. Sudah tua memang, tapi ia mati karena kehausan.” Kakek sedikit menjelaskan pada Zairun yang akan jalan.

“Run …, jangan lupa masak air untuk minum!”

“Sudah, tadi sebelum tidur.”

Zairun pamit sekali lagi dan langsung meninggalkan kakeknya keluar menyusuri jalan. Sebenarnya ia agak ragu karena jalan cukup berdebu. Tapi tanpa hempasan keras, debu tidak akan beterbangan mampir ke celana, baju dan tubuhnya. Hasratnya lebih besar untuk menikmati lorong itu, yang dulu sesungguhnya sebuah kampung tempat ayahnya dilahirkan.

Betul cerita-cerita keluarganya dahulu bahwa kalau ia ke sana, ia akan menikmati bukit-bukit. Namun yang didapatnya kini adalah bukit-bukit gersang. Hanya ada hamparan alang-alang yang tumbuh mengikuti permukaan tanah. Belum pernah Zairun melihat pohon, selain beberapa pohon di sekitar rumah kakeknya.

Zairun melewati sebuah jembatan kecil sepanjang sebelas langkah. Selepas jembatan, jalanan berbukit. Di atas bukitan tiba-tiba Zairun tercengang oleh hamparan alang-alang tua, jauh sebatas pandangan mata. Tak ada bukit atau pohon. Di sana matahari mulai merapat dan sebentar akan sembunyi di balik alang-alang itu. Ketika angin bertiup, permukaan hamparan bergerak bagai gelombang yang ombak. Ini adalah laut, pikir Zairun. Lautan kuning, lautan alang-alang, lautan tua, lautan kering, lautan tanpa perahu dan nelayan, lautan tanpa biota. Zairun merasa takut saat membayangkan tempat itu ketika matahari membolong siang.

Semakin takut Zairun berdiri di tempatnya. Ia berbalik. Sekonyong-konyong ia menggigil, bulunya berdiri. Tak dapat berkata apa-apa kecuali menganga dengan mata terbelalak tanpa kedip. Sampai akhirnya normal kembali.

“Tentang bukit dan alang-alang memang mereka pernah cerita, tapi yang ini tidak.” Kata Zairun pada dirinya sendiri.

Ia melompat masuk ke alang-alang, mendekat dan memperjelas apa yang baru saja dilihatnya. Sangat hati-hati mendekat. Benar. Ada tiga pohon jambu merah tanpa daun tetapi berbuah lebat di setiap ujung ranting. Di atas pohon itu berkerumun monyet dan udang sungai. Bukan sepuluh atau tiga puluh ekor, mungkin seribu. Mereka bergerombol akrab seperti lebah yang memadati sarangnya. Bergerak-gerak menyeramkan. Tanpa bersuara mereka saling membagi dan memberi buah. Tenang tidak berkelahi. Tak ada rebutan atau kapling-kaplingan.

Karena takut, Zairun kembali menjauh ke jalan sambil terus mengawasi peristiwa itu. Ingin ia percaya. Tapi mengapa udang-udang itu sampai ke ujung ranting bersama monyet mengejar makanan? Ada apa dengan sungai dan lumut? hilangkah dunia, rumah dan makanan mereka?

“Ah mungkin tidak,” sanggahnya sendiri.

Zairun berpikir mungkin karena pengaruh evolusi udang-udang itu telah berubah taqdir menjadi binatang darat yang rakus, dan monyet menjadi lebih bijak dari sebelumnya. Dan evolusilah yang mempertemukan mereka di atas pohom jambu.

“Ah tidak. Ini memang karena kemarau.” Sanggahnya kembali.

Pikir-pikir empat hari lalu seorang telah mati. Bukan ketuaan tapi kehausan. Manusia telah mati, namun binatang-binatang dapat survival dari kemarau dahsyat. Bila kemarau membawa kematian, kenapa orang di kota belum mati? Atau karena orang kota menyerap habis air untuk kebutuhan kota?

Zairun ke jembatan. Dipandangnya ke bawah. Tak ada air. Ia turun mengikuti lekuk sungai. Tanah masih terasa lembab tetapi sudah menampakkan garis keretakan. Udang dan monyet kembali ke pikirannya. Segera ia ke bukit dan memandang binatang-binatang yang kini bukan saja menakutkan tapi juga aneh.

Semakin sulit ia percaya, semakin sulit pula untuk tidak dipercaya. Peristiwa itu terjadi di depan matanya yang tak buta. Semua jelas; aneh. Dipikirannya tak ada lagi bukit dengan alang-alang bergerak layaknya ombak saat tersapu angin. Ia terpaku bisu memandang keanehan; udang pandai panjat, pohon kecil tetapi kuat menahan beban, tak ada ranting patah, tak ada keributan. Hari ini mungkin buahnya habis, atau layu gugur ke tanah. Lalu setelah itu mereka makan apa?

Nyaris Zairun tidak menyadari jika udang dan monyet telah meninggalkan pohon jambu, tenggelam oleh alang-alang entah ke mana. Karena hampir gelap, ia bermaksud balik ke rumah kakek. Tetapi ia tiba-tiba tersentak kaget dan lari. Belum pernah ia berlari secepat itu, menerbangkan debu-debu mampir ke tubuh bercampur keringat. Ia makin kesal karena udang-udang itu tanpa kesulitan dapat mengejarnya hampir melebihi kecepatan monyet. Ia membayangkan tubuhnya yang berangsur sobek oleh gigitan monyet dan udang.

“Tidak! Kalaupun aku mati, paling tidak mayatku masih ada, masih dapat di kafani, dikubur secara wajar. Tidak terkubur di perut binatang, lalu menjadi tinja kelaparan, kekerasan, kekejaman dan ketamakan.”

Ingin Zairun teriak, tapi di sepanjang jalan yang berkelok itu tak satu pun rumah atau seorang yang dapat menemaninya berlari jika tak sanggup menolong. Rasa takut makin menjadi, makin jauh pula rumah kakek terasa. Ia terus berlari tergopoh hingga depan rumah kakek. Ia dihentikan oleh dua orang pencari air keluar dari arah sumur.

“Sekencang itu nak?”

“Aku, hhh…hhh…hhh… dikejar binatang i…”

Zairun terdiam menunjuk kosong di belakangnya. Tak ada siapa-siapa. Ia gugup dan kecele.

“Setan memang jauh lebih kreatif dari manusia nak. Mereka dapat merubah dirinya menjadi apa saja yang dimaui. Soal menakut-nakuti itu hal lain dari setan,” kata seorang dari mereka.

“Tapi aku tadi dikejar gerombolan udang dan monyet pak!”

“Itulah setan nak, kadang ada, kadang tidak ada, muncul, hilang, muncul dan berubah. Syukurlah sekarang sudah hilang.”

Kedua orang itu pergi. Zairun mengambil nafas di bawah pohon depan rumah kakek. Hanya sejenak duduk tersandar di pohon. Nafasnya mulai tenang, hari sudah gelap. Lampu belum nyala. Kakek biasa tidur menjelang malam. Ingin segera Zairun menceritakan peristiwa itu pada kakek. Ia masuk rumah, meraba-raba ke tempat korek api. Kakinya kesandung. Ia terus meraba. Dapat. Lampu tempel yang tergantung di tempatnya setiap saat lalu dinyalakan. Ia kembali memeriksa sandungan kakinya tadi.

“Aaa… aaa…, setaaaaan….! Buck! Plack! Buck! Plack! Setan kau orang tua! Kalianlah pelakunya!

Zairun mengobrak abrik, kecewa, takut, sedih dan marah. Yang ditendangnya tadi adalah mayat kakeknya. Separuh daging dan isi perutnya hilang. Tak ada darah. Ia melompat keluar mengejar pencari air. Mereka tak kuat lari dan pasti belum begitu jauh mencari air. Tak begitu lama ia menemukan keduanya di sisi jalan tergeletak persis seperti kakeknya. Di sana masih ada beberapa ekor udang dan monyet sedang makan. Sementara darah tergenang seperti sungai dan udang-udang itu berenang di dalamnya.

Seketika ia berbalik seolah terbang dikejar halilintar, teriak lalu tersungkur, bangun dan segera berlari. Lututnya menyentak sesuatu dan tersungkur lagi. Ia seperti udang masak membungkuk menikmati kesakitannya. Rapat ia menutup mata, tangan membungkus kepala, hidung hampir mencium lutut. Seluruh tubuhnya terasa makin lemas, dingin, keringat, dan gemetar. Ia pasrah menunggu tubuhnya terkoyak sobek. Semakin lemas, lalu terkapar tanpa daya.

“Bencana apalagi yang akan kau sampaikan ke negeri ini?”

Zairun merasakan dirinya masih di atas ranjang. Ia bermimpi di sore hari. Tak ada kakek, udang, monyet, kemarau dan lautan alang-alang.



Makassar, 18 September 2000

Tidak ada komentar: