Halaman

Minggu, 27 November 2011

Ayah, Anak, dan Keledainya

Suatu ketika di pagi buta seorang ayah bersama anaknya yang masih berusia 17 tahunan, melakukan perjalanan ke suatu daerah yang cukup jauh melintasi beberapa gurun dan perkampungan. Untuk membantu perjalanan, mereka berdua duduk di atas punggung keledainya dan sang ayah mengendalikan keledai.

Hampir di penghujung sore mereka tiba di perkampungan pertama di sisi sebuah perbukitan gersang. Beberapa orang menegur dan mencibir mereka berdua; “ huh... dasar manusia tak berperasaan, masa keledai sekecil itu jauh-jauh dinaiki oleh dua orang.” Lalu si ayah dan anak segera turun dari keledainya, lalu mereka berjalan menarik keledainya mencari penginapan.

Keesokan harinya mereka melanjutkan perjalanan. Si anak naik di atas punggung keledai dan si ayah menarik keledai. Jarak ke perkampungan kedua sangat tidak begitu jauh tetapi tingkat kesusahannya cukup tinggi. Si ayah terus menarik keledai dengan keringat bercucuran hingga mereka tiba di perkampungan kedua. Para warga di kampung itu lagi-lagi menegur dan mencibir; “dasar anak durhaka, tega betul menyiksa bapaknya menarik keledai sementara dia duduk santai di atas keledai”.

Setelah istirahat yang cukup perjalanan dilanjutkan, tapi si anak tidak mau jadi anak durhaka. Maka ia menarik keledai dan ayahnya duduk di punggung keledai. Mereka harus sampai di perkampungan ketiga tepat sore hari. Rute perjalanan agak ringan dari sebelumnya dan si anak menikmati perjalanannya menarik keledai hingga sampai ke perkampungan ketiga. Cibiran tidak berhenti datang dari warga yang masih ramai nongkrong di pinggir jalan yang mereka lewati. “dasar orang tua bodoh... jahat.. masa anaknya sendiri disiksa menarik keledai dan sedang ia sendiri duduk asyik di atas keledai...?” Sang ayah sangat malu dan secepatnya masuk ke sebuah penginapan.

Pagi-pagi mereka bergegas menuju perkampungan terakhir agar dapat sampai lebih awal menjelang sore. Dengan begitu mereka bisa sudah sampai di rumah keluarga, cukup istrahat, mandi, dan bisa menikmati senja. Agar tidak mendapat protes, mereka berdua berjalan dan keledainya ditarik bergantian. Meski sangat melelahkan tetapi perjalanan yang terasa semakin dekat cukup menimbulkan semangat berapi-api. Dan seperti yang telah direncanakan, masuklah mereka di perkampungan terakhir. Betapa bahagia rasanya. Tetapi kebahagiaan itu hampir hilang tak terasa, karena akhirnya mereka ditertawai dan dicela; “dasar orang tua dan anak sama saja bodohnya. Masa keledai hanya ditarik sementara mereka kelelahan berjalan...?”

Setelah mereka menikmati istirahat dan senja hari, masih ada yang mereka berdua pikirkan; “saat pulang nanti, apakah mereka akan memikul keledainya sampai di rumah?”

Pesan cerita;

Jika anda selalu ingin menyenangkan semua orang, anda tidak akan menyenangkan siapa pun.

Apakah anda menangkap pesan lain? Samapikanlah pada kolom komentar...
Thanks...

1 komentar:

hamdan mengatakan...

hehehe... hati-hati naiki unta betina