Halaman

Minggu, 27 November 2011

dari langit

cerpen hamdan

Hampir setiap orang merasa heran dan curiga karena Khumi baru muncul setelah cukup lama menghilang di tengah rutinitas sosial kampong halamannya. Kota yang lebih sibuk dari angin atau malaikat. Entah apa yang mendorongnya untuk kembali, yang pasti bukan karena rindu atau cinta. Warga yang mengenalnya hanya biasa saja setiap bertemu dan menyapanya, meski rasa curiga dan heran tak bias mereka sembunyikan. Belum ada yang berani menanyakan langsung pada Khumi. Bahkan mereka yang dulu baik dan dekat dengannya, kini hanya berlalu bagai petir, menyapa dengan sambaran mendebarkan. Tentu saja Khumi segera membaca doa melihat petir untuk meminta perlindungan Tuhan.

Khumi menjadi musafir di kampungnya sendiri. Keluarga yang dulu membesarkannya, seperti juga keluarga lain di kota itu, telah berubah menjadi tidak lebih dari sekedar lembaga perkembang-biakan atau lembaga sex legal. Saudara hanya menjadi dirinya sendiri kecuali untuk kepentingan tertentu. Orang-orang tua pada takut menanggung beban dunia, hingga yang ringan terasa berat. Semua takut menanggung beban, tetapi senang menenteng dunia kemana pun mereka pergi.

Khumi ke masjid. Tidak sulit mencarinya, masjid cukup banyak dan megah-megah. Tapi juga semuanya tampak seperti kandang megah yang ditinggal pergi oleh ternaknya. Kecuali beberapa orang tua sedang menghitung usia dengan butiran tasbihnya, dan seorang penjaga masjid yang selalu memaksa menara dengan kaset-kaset popular. Kaligrafi dari kuningan membuat Khumi semakin berpikir, apakah semua ini adalah gambaran surga atau justru keangkuhan dalam menyatakan penghambaan kepada Tuhan?

“Hai Khumi!”

“Wa’alaikum salam”, jawab Khumi.

“Dari mana saja baru kelihatan?”

“Dari langit”, balas Khumi sambil bersandar santai di tiang raksasa masjid. Batu marmer yang dingin menembusi tubuhnya. Ia seperti berada di padang salju yang putihannya menjadi sajadah suci pengembara.

“Kau bergurau Khumi?”

“Ya, jika kau menganggap langit bukan tempat tamasya.”

“Lalu apa? Gila?”

“Ya, jika cakrawala logikamu kerdil sebatas arogansi empirik.” Bahasa Khumi sedikit membingungkan Zen. Tapi ia ingin menuntaskan penasarannya dan bernostalgia dengan teman lama.

“Khumi bertemu bintang-bintang dong?”

Khumi tersenyum dan menurunkan songkok turkinya di lantai. Bagai cermin, lantai itu menampilkan baying-bayang dari apa saja yang berada di atasnya.

“Bintang-bintang juga seperti bumi. Bila engkau berada di sebuah bintang, maka bumi ini akan tampak seperti bintang, dan kau akan menganggapnya berada di langit. Jadi sama saja; bumi, matahari, bulan dan bintang-bintang, semuanya berada di langit. Karena itu bumi dan dunianya tak akan mampu memaksa memisahkan diri dari langit, atau memisahkan langit dari bumi.”

Zen yang semakin penasaran, beranjak mengambil dua sajadah impor untuk dijadikan alas duduk. Sementara di luar bintang-bintang mulai tampak bersenandung dengan bait-bait zikir cahaya yang menembus batin. Kemilaunya menjelma sebagai taman ta’aruf, tempat para pecinta bertamasya, mabuk bersama kekasihnya. Kedipannya menjadi detak waktu yang semakin tua.

“Jadi engkau sungguh tak bertemu bintang?” Zen sejenak menunggu jawab. “Atau bertemu Tuhan?”

“Sudahlah Zen, apa arti pertemuan bila hanya melahirkan kebanggaan atau kenangan. Lebih kita melakukan hal-hal yang baik agar bintang, rembulan, setan, iblis, malaikat, dengan tulus dapat mendoakan keselamatan bagi diri kita.”

Khumi mengenakan songkoknya dan berdiri pamitan melanjutkan perjalanan. Zen memintanya tinggal beberapa waktu di rumahnya, berkenalan dengan isteri dan anak-anaknya. Khumi juga dapat melihat perkembangan agar tidak menjadi asing di kampong sendiri. Sejak tadi Zen telah mengikuti Khumi ke masjid itu. Dialah satu-satunya yang memperhatikan kehadiran Khumi tanpa sedikit pun rasa curiga dan hawatir.

***

Pagi itu Khumi duduk di teras samping memandangi wajah sungai yang dulu bening dan kini telah kuning kecoklatan. Arusnya makin lambat sehingga sampah-sampah kemasan makanan yang lewat sangat mudah dikenali. Airnya pun tinggal sedalam betis. Khumi tidak lagi mendengar riak air sejak keberadaannya semalam di teras itu. Sinar matahari yang selalu muncul dari balik rimbun poho, kini terbit terlambat di balik atap rumah, tiang antena, atau ranting pohon sekarat.

“Tehnya di minum om sebelum dingin.” Khumi disentakkan oleh suara seorang anak, seorang pembantu.

“Terima kasih nak, namamu siapa?”

Anak itu hanya member senyum dan berlalu. Khumi terbawa ke masa lalunya. Mungkin saja ia telah memiliki seorang atau dua orang anak jika saja istrinya tidak meninggalkannya karena kekeliruannya memahami issu, terperangkap jauh dalam logika stratifikasi konyol.

Rumah itu kemudian menjadi sunyi. Hanya terdengar gemuruh pagi kota. Zen dan istrinya ke kantor, anak-anak bersekolah. Rumah itu rasanya sekedar tempat menghilangkan lelah. Begitu mahalnya sebuah kelelahan, kelelahan terencana. Mereka memelihara kesehatan agar tetap menjadi mesin yang baik bagi peradaban, bagi produk-produk zaman yang kemilaunya lebih menggiurkan dari janji-janji surge, seolah mampu memadamkan neraka. Khumi tak bias begitu saja meninggalkan rumah sebelum pamit. Ia harus menjaga rumah itu sebelum pemiliknya kembali. Zen teman yang paling dekat dengan Khumi, lebih dekat dari saudara mereka masing-masing. Karenanya mereka sulit saling melupakan.

Khumi ingat di sungai itu mereka selalu bermain; mandi dan berenang. Pada hari-hari tertentu mereka pergi menangkap ikan dan udang. Di tempat-tempat yang dalam mereka memancing. Sering di malam hari mereka membawa lampu atau obor, parang dan tombak kecil atau panah. Menyusuri sungai udang dan ikan. Biasanya cara ini paling banyak mendapat hasil tangkapan.

Sungai itu adalah sebuah zaman yang mengalir deras menghanyutkan. Orang-orang tampak pandai berenang di atasnya, padahal mereka sebenarnya sedang bergoyang-goyang, nikmat mengikuti arus. Sungai itu dialiri cairan hasrat manusia yang membobol dinding pembatas, merobohkan apa saja yang mencoba membendungnya sekalipun itu Tuhan.

Setelah beberapa saat Khumi menjadi penunggu waktu, penunggu rumah, penunggu kali, kembali ia dikitari orang-orang lelah. Mereka pulang agar besok dapat lelah lagi. Sebab mereka juga tau kelelahan yang berlebihan akan membuat segalanya berakhir. Kantor bias jadi macet, keluarga macet, sex macet, sekolah macet, ekonomi mati, Negara fakum, sungai lelah, dan seluruhnya menjadi diam.

“Zen, aku akan kemabli ke langit.”

“Kenapa tergesa-gesa? Bukankah rumah ini juga bagian dari langit?”

“Benar! Tapi kota ini telah memproklamirkan dirinya sendiri. Lihatlah setiap orang mengejek, mencemooh langit. Hei, di sini bumi, bukan langit. Di sini dunia bukan akhirat. Begitu gampang mereka mengkapling ruang dan waktu lalu mengklaim sebagai miliknya.”

“Dan aku juga?”

“Dan keluargamu.”

Khumi pamit dan menghilang di pojok kota. Zen masih bingung dengan langit. Ia masih menganggap itu gurauan pengembara dan nanti Khumi akan datang lagi. Tapi sampai kota itu kehilangan seluruh pojoknya, sungainya, Khumi belum juga muncul. Setahun kemudian Khumi menjadi orang yang paling dicari dan dikejar sejagad. Sebuah surat singkat di terima Zen. “Zen saudaraku, mereka tidak akan pernah memberikan kebebasan dan hak-hak sepenuhnya seperti yang pernah mereka mimpikan kepadamu.”


Makassar, 10 Maret 2002

Tidak ada komentar: