Halaman

Senin, 19 Desember 2011

Ponsel Doja Safir


Cerpen hamdan


Kumandang azan terbang secepat cahaya memasuki ruang-ruang di seluruh tempat dalam lingkar radius kelurahan Padang Panjang. Kumandang itu selalu berbunyi tepat pada waktunya, tak kurang dan tak lebih sedetik pun. Safir cukup piawai dalam mengatasi tugasnya sebagai penjaga masjid. Ia mampu mengakali agar jam weker yang biasa dipakai untuk memasang alaram waktu, dapat secara otomatis tersambung ke MP3 Player yang memainkan tadarrus alquran. Untuk ukuran kampungnya yang membatasi perkotaan dan pedesaan, hal yang ia lakukan itu sangat luar biasa, apalagi terkait dengan penguasaan teknologi. Warga lain umumnya hanya pemilik produk teknologi, mereka membelinya setelah mengumpul-ngumpul hasil kerja keras sepanjang dan setiap hari. Safir lebih dari itu, dapat mengutak-atik sejumlah produk elektronik, bahkan dapat memodifikasinya sehingga memilki fungsi baru sesuai kebutuhan yang diinginkan.

Sebelumnya urusan membunyikan tadarrus alquran di masjid memang sudah menggunakan cukup teknologi, tetapi yang bertugas harus betul-betul berjaga-jaga agar tidak telat membunyikan masjid, terutama di waktu-waktu ngantuk menyerang yakni saat ashar dan subuh. Jika lalai, bisa jadi shalat jama’ah juga akan telat dilaksanakan atau bahkan tidak sama sekali. Jika musim hujan datang, si penjaga masjid yang biasa dipanggil doja, harus menyiapkan payung untuk dapat mencapai masjid dari rumahnya. Apalagi bila hari juma’at, doja harus lebih siaga ekstra bertanggung jawab terhadap kelancaran shalat jum’at.

Pernah suatu Jum’at doja Sarip telat membunyikan MP3 tadarrus yang berfungsi mengingatkan sekaligus mengajak warga untuk shalat jum’at. Doja Sarip dapat teguran dari pak lurah setelah pak lurah mendapat laporan dari pak rt. Doja Sarip malu dan mengaku salah tapi juga membela diri bahwa doja juga manusia, yang sayangnya job doja jauh seribu kali lipat di bawah gaji gubernur. Doja harus pergi mencari job lain untuk mencukupi hidup keluarganya dan itu berarti doja juga perlu interval, perlu durasi untuk beralih dari job satu ke job lainnya. Wajar bila doja terlambat karena kelelahan atau ketiduran, atau harus menyelesaikan kerjaannya lebih dulu yang tanggung untuk ditinggal. Diam-diam pak rt sebenarnya ingin mempromosikan menantunya untuk menjadi doja baru. Dengan membesar-besarkan masalah undisipliner doja Sarip, pak rt dapat menjalankan rencananya.

Pak rt memiliki visi kekuasaan. Meskipun ia sadar bahwa ia tak mungkin jadi pak lurah atau pak doja, tetapi ia bisa menjadi seorang figur yang dapat memainkan peran dalam mengatur para pejabat di seluruh wilayah kelurahannya. Dengan begitu kekuasaan tetap ada di tangannya. Tidak jarang di musim suksesi pemilukada, pilcaleg, sampai pilpres ia sibuk menerima tamu dari sejumlah tim sukses yang menawarkan berbagai hal jika nanti pak rt mampu memenangkan calon mereka. Sejak tiga tahun lalu ia mempromosikan menantunya dengan cara membentuk opini warga, memblowup kelemahan pejabat doja, dan mengangkat citra menantunya dengan berbagai cara pencitraan. Sudah tiga tahun pula ia gagal meloloskan Diman menantunya yang pernah kuliah tapi tidak tamat itu.

Menjadi doja memang bukan hal mudah dan menyenangkan. Karena bila jadi doja menyenangkan, bukan hanya Diman, pasti banyak orang yang mau jadi doja masjid. Masalahnya mereka harus pandai menyiapkan diri, jiwa, raga, pikiran dan waktunya dalam lima kali sehari semalam. Menyiapkan diri artinya pribadi harus tidak bertentangan dengan masjid. Jiwanya harus berada dalam masjid dan dalam seluruh keimanan publik. Raganya harus disiapkan untuk mengelola seluruh hal yang terkait dengan kebutuhan peribadatan warga. Pikiran harus dikerahkan sepenuhnya pada seluruh hal terkait penyelenggaraan masjid sebagai institusi. Waktu harus diatur sedemikian rupa sehingga seluruh kegiatan, meski urusan pribadi, harus mengalah dengan jadwal masjid dan jadwal shalat yang telah disusun di masjid.

Karena itulah Safir memikirkan cara-cara yang lebih memudahkan urusan. Setidaknya, walaupun ia belum sampai ke masjid, tadarrus dapat berbunyi tepat pada waktunya setengah jam sebelum waktu shalat. Sebelumnya, ia menggunakan jam weker biasa yang disambungkan ke bagian tertentu pada MP3 player. Cara ini lebih sering masih membingungkannya, karena ia tidak bisa memastikan apakah tadarrus betul-betul dapat berbunyi. Beberapa bulan terakhir Safir sudah bisa menggunakan handphone untuk membunyikan tadarrus dari jarak jauh, sejauh jangkauan signal. Cukup dengan memencet nomor ponsel masjid lalu menekan tombol call, lalu ponsel tadarrus masjid menjawab otomatis, dan masjid sudah dapat bertadarrus. Ia sendiri dapat mendengarkan bunyi itu untuk memastikan bahwa tadarrus memang telah berbunyi. Jika ia sudah mendengar tadarrus itu, ia cukup memencet tombol mengakhiri call. Konsekwensi menggunakan cara ini hanya mengeluarkan sedikit pengeluaran ongkos pulsa.

Suatu hari ketika baru setengah jam sedang bekerja di sebuah pasar, Safir mendapat call dari seseorang bernomor baru, belum tersimpan dalam phone book.

“Ya, halo... kenapa? Dengan siapa nih...? Bukan, bukan... saya Safir. Maaf anda sepertinya salah sambung...”

Tiba-tiba Safir gelisah bukan kepalang. Ia ingin segera pulang tapi pekerjaan belum selesai, masih pagi, masih lama. Waktu shalat juga masih lama. Tetapi kasus salah sambung itu seperti hantu baginya dan mengganggu pekerjaan. Jangan-jangan terjadi call salah sambung pada nomor masjid? memang hanya ia yang menyimpan nomor ponsel masjid, tapi juga bisa saja nomor itu jadi sasaran salah sambung. Masjid akan tadarrus pagi hari jauh sebelum dzuhur. Atau tadarrus pukul 10 malam, atau 12 malam jauh setelah jadwal isya. Wah, gawat. Warga bisa protes. Pak rt pasti mulai mendapat bahan cerita menyebarkan hasut.

Idenya yang cemerlang dalam bidang kedojaan itu tiba-tiba menjadi hantu peneror yang menghidangkan ketakutan, kegelisahan dan celaka duabelas. Seorang yang melihat hantu dalam dunia penampakan boleh menutup mata, menyelimuti tubuh rapat-rapat, membaca jampi dan segera merasa aman. Tetapi hantu yang satu ini lebih sangar tanpa penampakan, ia masuk ke ruang-ruang batin dan pikiran, dan dengan palu raksasanya ia menghancurkan bangunan-bangunan syaraf konsentrasi. Hanya dalam setengah jam Safir melakukan tiga kali kesalahan dalam pekerjaannya melayani para konsumen toko elektronik bossnya. Tentu saja boss ngomel dan berulang-ulang memarahinya. Paling sadis dan menyakitkan saat boss mengatakan padanya, “kalau tidak mampu lagi kerja, ya sudah, berhenti saja”.

Hantu salah sambung itu tidak sendiri. Ia punya teman hantu yang dan tak kalah sangar dan menakutkan. Safir sedang jatuh cinta dengan Narsi anak pak rt, dan Narsi juga menerima cintanya. Cinta mereka semakin tumbuh bagai taman bunga dengan aneka kembang bermekaran. Tapi semua itu mereka sembunyikan apalagi terhadap pak rt, bapak si Narsi, yang sebelumnya membenci Safir karena mengalahkan menantunya dalam bursa doja masjid dan ini kekalahan kali kedua. Bila call salah sambung terjadi ke ponsel masjid, ini bisa jadi pemicu baru bagi pak rt untuk mengkampanyekan anti Safir. Kebencian pak rt terhadap dirinya akan makin tersulut dan pasti merembet ke persoalan stabilitas hubungannya dengan Narsi. Padahal bagi Safir, Narsi sangat berarti dalam hidupnya. Di seluruh wilayah kelurahannya, hanya Narsi yang punya pikiran berbeda. Narsilah gadis satu-satunya yang masih menganggap pekerjaan doja, menjaga dan memelihara masjid itu adalah sesuatu yang mulia. Narsi ingin membawa hidupnya pada ruang-ruang kemuliaan. Inilah yang membuat Safir takut kehilangan Narsi yang bisa saja terjadi karena call salah sambung ke ponsel masjid.

Safir mengirim sms ke Narsi; “apakah kau masih akan mencintaiku bila aku tidak lagi menjadi doja masjid?” Lalu Safir mengatur nada sms hanya menggunakan nada getar seperti debaran hatinya saat itu. Dan sekejab ponselnya bergetar; “k’Safir, aku mcintaimu krn hatimu sll di masjid.” Hati Safir bergetar makin kencang. Makin kencang karena digetarkan oleh dua arus kencang, arus salah sambung dan arus Narsi kekasihnya. Getaran itu terasa beda karena tercipta dari ketegangan, ketegangan antara rasa takut dan rasa bahagia, ketegangan antara bencana dan cintanya.

“Safiiir... sebagai teguran terakhir, mulai detik ini, kau saya hentikan kerja selama seminggu di tempat ini. Setelah itu bila masih terulang, kau akan kupecat!” Demikian kata bossnya yang tak mampu lagi melihat kesalahan berulang-ulang dari Safir.

Safir dengan sedikit lemah pulang ke rumah namun lebih tertarik mampir ke masjid beristirahat. Ia duduk memandang ponsel masjid. Ponsel itu menjadi wajah Narsi dalam kelembutan senyum dan bening matanya. Safir dengan refleks memperbaiki sandar duduknya melihat wajah itu. Lalu ponsel itu menjadi wajah pak rt yang mirip sekali dengan wajah Narsi. Sangat mirip. Dari wajahnya, pak rt bisa dibilang Narsi yang berkumis dan berambut pendek. Wajahnya tampan tetapi hatinya bopeng seperti jalan bertabur lubang dan lumpur. Lalu ponsel itu menjadi bossnya yang tak henti-henti marah sambil menghitung uang dan memisahkannya dalam kotak debet kredit modal dan saldo. Ponsel kembali menjadi wajah Narsi, lalu Safir tertidur. Ia lelah memikul ketegangannya.

Ponselnya bergetar dan membangunkan Safir. Oh, ini pasti sms Narsi. Dilihatnya cepat. Ah, ternyata getar alaram, ia lupa mengembalikan nada getar sms pada nada dering kesukaannya. Kini waktunya membunyikan tadarrus untuk shalat dzuhur. Masjid telah berbunyi dan Safir membersihkan kamar kecil, tempat wudhu dan tempat alas kaki, sambil merenung-renung bagaimana cara agar tidak terjadi salah sambung pada ponsel masjid. Masjid asuhan Safir biasanya di waktu-waktu tertentu memiliki banyak jama’ah dan kadang biasa-biasa saja. Biasa-biasa saja maksudnya hanya terdiri dari beberapa saja orang tua usia lanjut, pensiunan, dan remaja masjid.

Segera setelah shalat, Safir menuju ke pusat penjualan dan service ponsel merek “ndal” buatan Indonesia. Merek ponsel andalannya. Safir ingin memesan sebuah ponsel dengan settingan khusus yang dapat menolak seluruh jenis panggilan dan pesan baik sms maupun mms dari nomor manapun, kecuali dari nomor ponselnya sendiri dan nomor ponsel Narsi. Nomor Narsi sesekali pasti dibutuhkan misalnya bila ponsel Safir bermasalah atau hilang. Bila pemegang hak atas merek ponsel itu tak dapat membantunya, toh Safir dapat melakukannya sendiri, karena ia memiliki kemampuan mengutak-atik ponsel baik hardware maupun software. Ia hanya tak ingin menganggu hak orang lain.

Cara itulah pikir Safir, satu-satunya yang dapat menyelamatkan masjid, dirinya, pekerjaannya, dan terutama cinta mereka; Narsi dan Safir. Bagaimanapun pentingnya tanggung jawab doja kepada masjid, tetapi pekerjaan juga tak kalah penting bagi Safir. Menjadi doja hanya menjamin kehidupan akhirat, tetapi tidak menjamin kehidupan selama hidup di dunia. Doja bukan pegawai negeri meskipun urusannya dalam beberapa hal lebih sulit dari beberapa pekerjaan pegawai negeri. Lebih banyak pegawai datang ke kantor bercanda dalam menghabiskan jam-jam kantor. Safir bekerja siang malam tanpa hari libur. Apalagi Safir juga bercita-cita menyunting Narsi. Ia harus memiliki kemampuan finansial. Doja juga perlu hidup.

Safir sedang akan istrahat malam hari, ketika ponselnya berdering. Ingatannya segera ke Narsi. Safir memang selalu mengingat kekasihnya itu hampir di setiap moment, apalagi saat ponsel berdering. Ia selalu ingin bersama Narsi, tetapi itu bisa membuat hubungan mereka hancur sebelum tumbuh. Siapa yang tak kenal pak rt yang juga sebenarnya hantu. Ponsel terus berdering. Nomor tak dikenal. Tiba-tiba saja ingatan Safir betul-betul beralih ke pak rt. Jangan-jangan pak rt menelponnya, mungkin bukan salah sambung, tapi pak rt pandai bertanya layaknya interogasi dan menjebak orang dalam logika kesalahan. Jawab tidak... jawab tidak...? Akhirnya Safir menerima panggilan itu.

“Mas Safir, kami dari ponsel “ndal”. Kami akan memenuhi permintaan anda. Tetapi beri kami waktu tiga hari dan anda akan kami telepon untuk komunikasi selanjutnya.”

Betapa bahagianya Safir menerima telepon itu. Ia memang sudah menawarkan pada perusahaan ponsel bahwa cara ini bisa diterapkan ke semua doja masjid di seluruh wilayah negeri ini. Hitung-hitung gagasan itu bisa sebagai projek percontohan bentuk kepedulian perusahaan terhadap lingkungan sosial. Tetapi sebagai doja yang berpikir doja, Safir tidak banyak berharap idenya dapat diterima oleh perusahaan atau negara dan menjadi projek nasional. Doja sejak dulu hanya doja bersama masjidnya.

Makassar, 18 Desember 2011

Sabtu, 17 Desember 2011

zairun

cerpen hamdan

 

















“Haaa …. aa ….. aaakhh ….!”

“Krrk! Krrk!”

Ia memaksakan tubuhnya bangun. Tapi ia masih malas-malas. Sisa kantuk masih tampak pada kuapan dan mata yang redup seolah enggan terbuka. Duduk bersandar di tepi ranjang, menimbang-nimbang ajakan kantuknya untuk baring kembali. Namun cahaya yang menembus ke dalam kamar lebih membuat ia melangkah untuk membuang air kencing yang terbendung dan mencuci wajah secukupnya. Ia baru sadar, saat itu sore baru beranjak. Sore pertama untuk kedatangannya di tempat itu.

“Kek, aku mau jalan sore. Boleh kan kakek sendirian di rumah sebentar?”

“Sebaiknya tidak sampai keringatan”, kata kakeknya memberi peringatan. “Karena di sini kita hanya bisa mencuci pakaian setelah lima hari pakai. Dokter pun jika tinggal di sini, harus bisa mandi sekali dalam dua hari satu malam.”

“Dua hari semalam, atau dua malam sehari?”

“Yaah, sama saja. 36 jam. Tiga kali dua belas jam. Bergantian to? Setelah dua hari satu malam, berarti dua malam satu hari.”

“Apakah semua orang mengambil air di rumah ini?”

“Iya, kami mencari di setiap sumur. Di tempat ini hanya ada tujuh orang yang mengisi tujuh kilometer panjang lorong. Ada empat buah rumah. Hanya saya yang tinggal sendirian. Tapi sejak empat hari lalu tinggal enam orang. Yang satu sudah mati. Sudah tua memang, tapi ia mati karena kehausan.” Kakek sedikit menjelaskan pada Zairun yang akan jalan.

“Run …, jangan lupa masak air untuk minum!”

“Sudah, tadi sebelum tidur.”

Zairun pamit sekali lagi dan langsung meninggalkan kakeknya keluar menyusuri jalan. Sebenarnya ia agak ragu karena jalan cukup berdebu. Tapi tanpa hempasan keras, debu tidak akan beterbangan mampir ke celana, baju dan tubuhnya. Hasratnya lebih besar untuk menikmati lorong itu, yang dulu sesungguhnya sebuah kampung tempat ayahnya dilahirkan.

Betul cerita-cerita keluarganya dahulu bahwa kalau ia ke sana, ia akan menikmati bukit-bukit. Namun yang didapatnya kini adalah bukit-bukit gersang. Hanya ada hamparan alang-alang yang tumbuh mengikuti permukaan tanah. Belum pernah Zairun melihat pohon, selain beberapa pohon di sekitar rumah kakeknya.

Zairun melewati sebuah jembatan kecil sepanjang sebelas langkah. Selepas jembatan, jalanan berbukit. Di atas bukitan tiba-tiba Zairun tercengang oleh hamparan alang-alang tua, jauh sebatas pandangan mata. Tak ada bukit atau pohon. Di sana matahari mulai merapat dan sebentar akan sembunyi di balik alang-alang itu. Ketika angin bertiup, permukaan hamparan bergerak bagai gelombang yang ombak. Ini adalah laut, pikir Zairun. Lautan kuning, lautan alang-alang, lautan tua, lautan kering, lautan tanpa perahu dan nelayan, lautan tanpa biota. Zairun merasa takut saat membayangkan tempat itu ketika matahari membolong siang.

Semakin takut Zairun berdiri di tempatnya. Ia berbalik. Sekonyong-konyong ia menggigil, bulunya berdiri. Tak dapat berkata apa-apa kecuali menganga dengan mata terbelalak tanpa kedip. Sampai akhirnya normal kembali.

“Tentang bukit dan alang-alang memang mereka pernah cerita, tapi yang ini tidak.” Kata Zairun pada dirinya sendiri.

Ia melompat masuk ke alang-alang, mendekat dan memperjelas apa yang baru saja dilihatnya. Sangat hati-hati mendekat. Benar. Ada tiga pohon jambu merah tanpa daun tetapi berbuah lebat di setiap ujung ranting. Di atas pohon itu berkerumun monyet dan udang sungai. Bukan sepuluh atau tiga puluh ekor, mungkin seribu. Mereka bergerombol akrab seperti lebah yang memadati sarangnya. Bergerak-gerak menyeramkan. Tanpa bersuara mereka saling membagi dan memberi buah. Tenang tidak berkelahi. Tak ada rebutan atau kapling-kaplingan.

Karena takut, Zairun kembali menjauh ke jalan sambil terus mengawasi peristiwa itu. Ingin ia percaya. Tapi mengapa udang-udang itu sampai ke ujung ranting bersama monyet mengejar makanan? Ada apa dengan sungai dan lumut? hilangkah dunia, rumah dan makanan mereka?

“Ah mungkin tidak,” sanggahnya sendiri.

Zairun berpikir mungkin karena pengaruh evolusi udang-udang itu telah berubah taqdir menjadi binatang darat yang rakus, dan monyet menjadi lebih bijak dari sebelumnya. Dan evolusilah yang mempertemukan mereka di atas pohom jambu.

“Ah tidak. Ini memang karena kemarau.” Sanggahnya kembali.

Pikir-pikir empat hari lalu seorang telah mati. Bukan ketuaan tapi kehausan. Manusia telah mati, namun binatang-binatang dapat survival dari kemarau dahsyat. Bila kemarau membawa kematian, kenapa orang di kota belum mati? Atau karena orang kota menyerap habis air untuk kebutuhan kota?

Zairun ke jembatan. Dipandangnya ke bawah. Tak ada air. Ia turun mengikuti lekuk sungai. Tanah masih terasa lembab tetapi sudah menampakkan garis keretakan. Udang dan monyet kembali ke pikirannya. Segera ia ke bukit dan memandang binatang-binatang yang kini bukan saja menakutkan tapi juga aneh.

Semakin sulit ia percaya, semakin sulit pula untuk tidak dipercaya. Peristiwa itu terjadi di depan matanya yang tak buta. Semua jelas; aneh. Dipikirannya tak ada lagi bukit dengan alang-alang bergerak layaknya ombak saat tersapu angin. Ia terpaku bisu memandang keanehan; udang pandai panjat, pohon kecil tetapi kuat menahan beban, tak ada ranting patah, tak ada keributan. Hari ini mungkin buahnya habis, atau layu gugur ke tanah. Lalu setelah itu mereka makan apa?

Nyaris Zairun tidak menyadari jika udang dan monyet telah meninggalkan pohon jambu, tenggelam oleh alang-alang entah ke mana. Karena hampir gelap, ia bermaksud balik ke rumah kakek. Tetapi ia tiba-tiba tersentak kaget dan lari. Belum pernah ia berlari secepat itu, menerbangkan debu-debu mampir ke tubuh bercampur keringat. Ia makin kesal karena udang-udang itu tanpa kesulitan dapat mengejarnya hampir melebihi kecepatan monyet. Ia membayangkan tubuhnya yang berangsur sobek oleh gigitan monyet dan udang.

“Tidak! Kalaupun aku mati, paling tidak mayatku masih ada, masih dapat di kafani, dikubur secara wajar. Tidak terkubur di perut binatang, lalu menjadi tinja kelaparan, kekerasan, kekejaman dan ketamakan.”

Ingin Zairun teriak, tapi di sepanjang jalan yang berkelok itu tak satu pun rumah atau seorang yang dapat menemaninya berlari jika tak sanggup menolong. Rasa takut makin menjadi, makin jauh pula rumah kakek terasa. Ia terus berlari tergopoh hingga depan rumah kakek. Ia dihentikan oleh dua orang pencari air keluar dari arah sumur.

“Sekencang itu nak?”

“Aku, hhh…hhh…hhh… dikejar binatang i…”

Zairun terdiam menunjuk kosong di belakangnya. Tak ada siapa-siapa. Ia gugup dan kecele.

“Setan memang jauh lebih kreatif dari manusia nak. Mereka dapat merubah dirinya menjadi apa saja yang dimaui. Soal menakut-nakuti itu hal lain dari setan,” kata seorang dari mereka.

“Tapi aku tadi dikejar gerombolan udang dan monyet pak!”

“Itulah setan nak, kadang ada, kadang tidak ada, muncul, hilang, muncul dan berubah. Syukurlah sekarang sudah hilang.”

Kedua orang itu pergi. Zairun mengambil nafas di bawah pohon depan rumah kakek. Hanya sejenak duduk tersandar di pohon. Nafasnya mulai tenang, hari sudah gelap. Lampu belum nyala. Kakek biasa tidur menjelang malam. Ingin segera Zairun menceritakan peristiwa itu pada kakek. Ia masuk rumah, meraba-raba ke tempat korek api. Kakinya kesandung. Ia terus meraba. Dapat. Lampu tempel yang tergantung di tempatnya setiap saat lalu dinyalakan. Ia kembali memeriksa sandungan kakinya tadi.

“Aaa… aaa…, setaaaaan….! Buck! Plack! Buck! Plack! Setan kau orang tua! Kalianlah pelakunya!

Zairun mengobrak abrik, kecewa, takut, sedih dan marah. Yang ditendangnya tadi adalah mayat kakeknya. Separuh daging dan isi perutnya hilang. Tak ada darah. Ia melompat keluar mengejar pencari air. Mereka tak kuat lari dan pasti belum begitu jauh mencari air. Tak begitu lama ia menemukan keduanya di sisi jalan tergeletak persis seperti kakeknya. Di sana masih ada beberapa ekor udang dan monyet sedang makan. Sementara darah tergenang seperti sungai dan udang-udang itu berenang di dalamnya.

Seketika ia berbalik seolah terbang dikejar halilintar, teriak lalu tersungkur, bangun dan segera berlari. Lututnya menyentak sesuatu dan tersungkur lagi. Ia seperti udang masak membungkuk menikmati kesakitannya. Rapat ia menutup mata, tangan membungkus kepala, hidung hampir mencium lutut. Seluruh tubuhnya terasa makin lemas, dingin, keringat, dan gemetar. Ia pasrah menunggu tubuhnya terkoyak sobek. Semakin lemas, lalu terkapar tanpa daya.

“Bencana apalagi yang akan kau sampaikan ke negeri ini?”

Zairun merasakan dirinya masih di atas ranjang. Ia bermimpi di sore hari. Tak ada kakek, udang, monyet, kemarau dan lautan alang-alang.



Makassar, 18 September 2000

lagu gemericik

cerpen hamdan

Gelap! Belum ada yang tahu sedang di mana. Mereka hanya merasakan diri bergerak, entah terdorong atau tertarik oleh sesuatu. Bergerak maju mengikis dan bahkan menabrak sepanjang dinding lorong-lorong dari trowongan yang serasa tak berujung, panjaaang. Ke kiri langsung ke bawah, ke kanan atas, berkelok-kelok menembus lorong longitudinal vertical, horizontal yang tak beraturan. Cepat. Sangat cepat. Dan dalam sekejab terang telah menyinari. Mereka tetap bergerak menyapu lumut-lumut, menabrak bebatuan, mencari tempat rendah, sambil bersiul dan bernyanyi. Mereka tak pernah menyusun komposisi musik, tapi lagu akrab gemericiknya tetap saja indah. Demikianlah air-air itu.

Ketika mengisi tempat yang dalam, suara mereka terhenti. Tenang. Walau rombongan dari belakang tiada terputus bernyanyi gemericik. Di atas genangan, beberapa daun kering berenang laju terbawa angin, bagai perahu nelayan dalam petakan danau. Mereka saling bergantian mengisi tempat itu, berbaur, berpisah, kemudian melanjutkan perjalanan mengisi setiap rerendahan yang ditemui.

“Hei, adakah yang mengetahui di mana kita berada kini? Apakah kita akan terus berlari tanpa navigator?”

“Oww, rupanya kita memikirkan hal yang sama. Dari mana kita memulai perjalanan? Apa yang akan kita laui di depan sana? Mungkinkah kita terus menabrak batu-batu atau terjun dari tempat yang tinggi, atau berputar-putar di tempat yang dalam?”

“Waouw …. aaaaaaa ….” Byuuur!

Belum sempat mereka berpikir, tiba-tiba mereka merasa kehilangan alas dan jatuh jauh ke bawah. Ada yang terpisah karena menabrak dahan, dedaunan, bahkan terbawa angin. Sekejap. Sejenak. Terdengarlah nynyian koor gemericik. Suaranya menggema jauh ke sekitar tempat yang tak dikenali itu. Suaranya memberi kesan keabadian, panjang tanpa ujung. Agak lama mereka berkumpul menunggu. Di tempat itulah mereka bertemu serombongan yang lain dari arah berbeda. Tanpa basa-basi mereka segera bersama, berbaur, lalu berpisah memasuki cela batuan, tanah, kemudian bertemu lagi.

“Hei, nampaknya kita berbeda arah sebelum pertemuan ini, sedikit berbeda warna dan mungkin rasa, tapi nampaknya kita juga sama. Kami baru saja memikirkan hal yang mungkin akan terjadi pada kita nanti.”

“kami baru … eh iya, kami juga baru beberapa saat lalu jatuh dari ketinggian. Dari gumpulan awan hitam yang membayangi langit di atas sana. Sebagian kami awalnya ada yang jatuh menetes, berpisah dan jatuh di puncak. Ada teman lain ke arah Selatan, Utara, dan kami ke sini. Kebetulan kami melewati hutan gundul. Itulah yang membuat warna kami menjadi kuning kecoklatan. Air berwarna tanah. Mungkin kalian yang kami lihat dari atas saat kami melayang jatuh. Sesungguhnya banyak teman lain yang kami lihat dari atas, membuat garis-garis berkelok membelah hutan hingga ke lautan.”

“Sbentar, sbentar! Apakah kini kita berada di hutan atau di gunung?” Terdengar tanya dari antara mereka memotong pembicaraan.

“Benar, kita berada di hutan, di atas gunungan. Entah kapan dan di mana kita akan bertemu yang lain. Mungkin kita akan berpisah di depan, atau bertemu mereka yang keluar langsung dari tanah. Mereka pasti bening dan sejuk, tak berubah keasliannya, keaslian sebagai air.”

“Tanah air?”

“Aku rasa bukan. Tanah ya tanah. Air ya air.”

Mereka terus mengalir, menyusuri cela batuan, menyanyikan lagu gemereciknya yang tak pernah kehilangan merdu. Sebagian mereka memang telah terserap tanah. Melembabkan. Lalu terserap ke akar-akar pohon hingga ke pucuk-pucuk daun. Lalu dunia ini tampak warna-warni. Kadang mereka tinggal disitu dan menjadi kering.

Di atas gunungan yang lain, ada yang diambil manusia. Dikumpul untuk menyiram tanaman kebun serta memenuhi kebutuhan “emceka”, diminum, jadi kencing atau keringat. Sebagian yang lain terus mengalir, ke sungai melewati bendungan, irigasi, sawah, kali, sumur, selokan. Lagu gemericik semakin menepi dan menyepi.

Ke kota-kota memalui pipa-pipa raksasa sampai ke rumah-rumah; rumah tangga, rumah makan, rumah sakit, rumah sekolah, rumah kontrakan, rumah sewaan, rumah inap, rumah bordil, rumah mahal, rumah murah, rumah belum lunas, rumah rusak, rumah sitaan, rumah curian, rumah teman, rumah tetangga, rumah toko, rumah susun, rumah tahanan, rumah dinas, kompleks perumahan, rumah simpanan dan rumah-rumahan lainnya.

Ke pabrik-pabrik, hotel, kolam, tangki, drum, bak mandi, ember, periuk, termos, cerek, botol, kaleng, ke dalam kulkas; dingin lalu kaku tak ada gemericik. Ke kanal-kanal dan selokan yang membelah kota, berenang bersama sampah-sampah tak terurus. Hitam, busuk, gatal.

Mereka berpisah menyebar menjelajahi dunia. Terberai ke sana sini mendapat identitas baru; air hujan, air sungai, air terjun, air empang, air sawah, air irigasi, air sumur, air ledeng, air kolam, air mancur, air PAM, air tanah, air embun, air jernih, air keruh, air dingin, air hangat, air panas, air masak, air mentah, air keringat, air kencing, air beol, air got, air cuci, air minum, air mandi, air mani, air mata, air ingus, air liur, air buah, air susu, air mineral, air lumpur, dan sejuta identitas lainnya.

“Ah, perasaan aku pernah dipakai oleh seorang untuk keramas, cuci kelamin yang baru saja usai terpakai sembunyi-sembunyi, lalu aku menjadi comberan, terserap masuk ke tanah, lalu ke sumur Mas Dulah pemilik warung makan terkenal dan terlaris di suatu kota, lalu dipakai minum sejumlah pengunjung”.

“Emmm, apalagi yah…? Nah, aku ingat! Separuh aku menjadi air liurnya. Beberapa saat kemudian ada lagu gemericik di bibir dan lidah, lalu aku menjadi kering di atas puting susu seorang gadis cantik abg yang baru pacaran seminggu. Konon sebulan kemudian mereka sudah putus dan segera susunya menjadi barang bekas.”

“Emmm…, separuh aku menjadi keringat seorang perempuan, gemericik becek terdesak tindihan keringat lelaki. Bercampur sperma yang tumpah nyasar. Dan kami kering bersama di badan, kasur, lantai, sprei, dan bahkan ke tembok gedung-gedung mewah, gedung kontrakan, dan gubuk kontrakan dari para penikmat kelamin. Sial…, padahal sebulan sebelumnya aku sempat menjadi embun yang sejuk di atas kembang cemara.”

“Separuh aku menjadi kencingnya, keluar di kamar mandi. Gemericik karena muncrat terjepit menabrak lantai toilet, masuk ke pipa dan keluar ke comberan. Waktu itu sedang banjir setelah hujan dan anak-anak bermain.”

“Separuh aku menjadi air mani, tak tahu di mana aku di keluarkan. Aku di tahan-tahan dan seketika dilepas muncrat dengan desah kencang. Gelap, panas dan bau busuk. Tak tahu menjadi apa lagi. Tapi separuh masih tertinggal di kulit kelamin. Lalu aku bertemu dengan air cuci. Lumayan aku masih sempat menjadi air lagi.”

“Wah, aku punya pengalaman lain yak tak kalah indah. Tapi hanya salah satu pengalaman di antara sejuta pengalaman perjalanan yang dilalui bangsa air.” Sapa yang lain.

“Ia, tapi pengalamanku itu sial, menjadi air yang tidak halal, air birahi warga urban kota; mahasiswa, pegawai negeri, karyawan, buruh, wisatawan, pejabat, dan lain-lain.”

Kebanyakan air memang hanya mengalami perjalanan umum dalam sistim siklus. Tetapi pengalaman akan berbeda bagi mereka yang bertemu dan digunakan manusia. Mereka bahkan tak dapat kembali menjadi gumpalan awan mendung untuk menjadi hujan. Begitulah mereka berbagi pengalaman, membaur di ruang yang luas. Lautan. Membiru indah tapi lebih sering menakutkan. Sambil bernyanyi gemericik ombak.

Setiap tetes berdoa; “semoga aku masih sempat menjadi air, air bersih dan masih dapat bernyanyi ritual gemericik lagi.”

Pada malam hari angin menjadi ramah. Laut tertidur. Gemericiknya bernada fals dari tekanan mesin-mesin yang berlari cepat. Tidurnya terganggu. Menjadi laut, air menanti esok, menanti matahari memanaskan dan menguapkannya menjadi awan untuk dapat bernyanyi gemericik hujan.

Makassar, 26 Nopember 2000.

Jumat, 16 Desember 2011

kekasihku


puisi hamdan
setahun aku mulai belajar
menanammu ke sukmaku
tetapi ia tak mampu kecambah
karena sukmaku kau rayu

biarlah cintaku padamu tumbuh
tidak sebab apa apa
tidak sebab cintamu padaku
yang selalu kau bisikkan

kini di sukmaku juga kutanam
taawwuz dan basmalah
agar ia dapat tumbuh
memberi kembang tahmid
dan rumpun buah tasyahud


makassar, 12 nopember 2000

kamar untukmu

kedip kecil kemuning (hamdan)




















setiap kali datang
engkau hanya duduk di serembi
bercerita seadanya tentang warna
lalu pergi lagi secepat waktu

alisa kekasihku …
bahkan engkau belum mengerti aku
sejak lama menutup pintu dan jendela
tetapi selalu membukanya untukmu
engkau jangan keliru sayang …
kunci ini memang untuk menutup
tapi juga untuk membukanya

keksaihku alisa …
serambi itu kusiapkan bagi tetamu
dalam rumah kubuat kamar untukmu
sejak lama ruang itu dihuni rindu
di rumah hatiku …
engkau tak pernah menjadi tamu


makassar, 03 maret 2011

Sabtu, 03 Desember 2011

kisah orang-orang pulau

Manusia biasa (awam) menyesali dosa-dosanya, Manusia pilihan menyesali kelalaiannya. (Dzun-Nun al-Mishri)

Semua dongeng, paling tidak mengandung kebenaran tertentu dan seringkali dongeng-dongeng itu memungkinkan masyarakat menyerap gagasan-gagasan yang sulit dipahami atau bahkan tidak bisa dicerna jika disampaikan dalam bentuk pemikiran yang wajar. Oleh karena itu, dongeng digunakan para guru Sufi untuk memberikan suatu gambaran kehidupan yang lebih sejalan dengan perasaan mereka dibandingkan melalui wahana kegiatan intelektual.

Berikut ini ada sebuah dongeng Sufi yang telah dirangkum dan biasanya disesuaikan dengan masa dongeng yang dikisahkan. Sementara dongeng-dongeng “hiburan” biasa, dipandang oleh para penulis Sufi sebagai suatu bentuk kesenian yang telah merosot atau lebih rendah nilainya.

Pada suatu masa ada sebuah masyarakat yang hidup di sebuah pulau yang sangat terpencil. Para anggota masyarakat ini tidak mempunyai rasa takut seperti kita saat ini. Alih-alih ketidakpastian dan kegamangan, mereka mempunyai tujuan yang pasti dan cara-cara yang lebih sempurna dalam mengekspresikan diri. Meskipun tidak ada tekanan dan ketegangan sebagai unsur penting kemajuan bagi manusia sekarang. Kehidupan mereka lebih kaya, karena sebab-sebab lain, yakni unsur-unsur kehidupan yang lebih baik daripada kehidupan saat ini. Oleh karena itu, kehidupan mereka adalah suatu bentuk eksistensi yang agak berbeda. Kita hampir bisa menyatakan bahwa persepsi kita saat ini adalah versi sementara dan kasar dari persepsi masyarakat ini.

Mereka menjalani kehidupan sejati, bukan kehidupan semu. Kita dapat menyebut mereka masyarakat El Ar.

Masyarakat ini mempunyai seorang pemimpin yang menyadari bahwa negeri mereka akan punah, katakanlah selama 20.000 (dua puluh ribu) tahun yang akan datang. Ia merencanakan pengungsian dan menyadari bahwa keturunan mereka hanya akan berhasil pulang kembali setelah melalui berbagai ujian.

Ia menemukan sebuah tempat pengungsian bagi mereka, yaitu sebuah pulau yang sepintas lalu bentuknya mirip dengan tanah air asal mereka. Karena perbedaan udara dan situasi, para imigran itu harus melakukan transformasi. Tujuannya adalah untuk menyesuaikan fisik dan mental mereka dengan lingkungan baru. Sebagai contoh, persepsi-persepsi kasar diganti dengan persepsi yang lebih halus, seperti tangan seorang pekerja kasar menjadi keras karena tuntutan pekerjaannya.

Untuk mengurangi penderitaan akibat perbedaan antara keadaan lama dan baru itu, mereka dikondisikan untuk melupakan masa lalu secara hampir menyeluruh. Hanya kenangan masa lalu yang paling kuat tetap tersisa. Tetapi hal ini sudah memadai untuk digunakan bila diperlukan.

Sistem masyarakat ini sangat rumit namun tetap diatur dengan baik. Alat-alat untuk bertahan hidup di pulau itu dibuat, demikian pula sarana-sarana hiburan fisik dan mental. Alat-alat yang sangat berguna dari tanah air lama disimpan di sebuah tempat khusus sebagai kenangan lama dan persiapan untuk digunakan di kemudian hari.

Lambat laun dan dengan susah payah akhirnya para imigran menetap dan menyesuaikan diri dengan kondisi lokal. Sumber daya di pulau itu sedemikian rupa sehingga dengan upaya dan bimbingan tertentu, masyarakat akhirnya bisa melanjutkan perjalanan ke pulau berikutnya untuk kembali ke tanah asal mereka. Ini adalah pulau pertama dari kepulauan lainnya yang masih membutuhkan penyesuaian secara bertahap.

Tanggung jawab atas “evolusi” ini dibebankan kepada pribadi-pribadi yang mampu mengembannya. Tentu saja tanggung jawab ini hanya untuk sebagian kecil orang, karena bagi kebanyakan orang, upaya menjaga kedua bentuk pengetahuan itu dalam kesadaran mereka niscaya tidak mungkin. Di antara mereka cenderung muncul pertentangan. Hanya para ahli yang dapat menjaga “ilmu khusus” itu.

“Ilmu rahasia” ini, yaitu metode mengefektifkan peralihan, tidak lain adalah pengetahuan dan ketrampilan maritim. Kebebasan atau pengungsian membutuhkan seorang instruktur, bahan baku, masyarakat, usaha dan pemahaman. Untuk itu masyarakat bisa belajar renang sekaligus membangun kapal.

Orang-orang yang sejak semula bertanggung jawab atas operasi pengungsian menjelaskan kepada setiap orang bahwa persiapan tertentu diperlukan sebelum seseorang belajar renang atau bahkan ikut serta dalam membangun kapal. Pada suatu masa, proses tersebut berlangsung secara memuaskan.

Kemudian seorang laki-laki yang pada saat itu ternyata kurang memenuhi persyaratan, menentang aturan main dan berusaha mengembangkan suatu gagasan umum. Ia mengamati bahwa pengungsian itu adalah tugas yang berat dan selalu disambut dingin oleh masyarakat. Pada saat yang sama mereka juga diharapkan untuk mempercayai segala sesuatu tentang operasi pengungsian. Ia menyadari bahwa dirinya mampu meraih kekuasaan dan dapat membalas dendam kepada mereka yang menurutnya telah merendahkan dirinya dengan mengeksploitasi dua kenyataan itu.

Ia sebenarnya hanya ingin meninggalkan beban itu dan menegaskan bahwa (sebenarnya) tidak ada beban yang perlu dipikul.

Kemudian ia mengeluarkan pernyataan berikut ini:

“Manusia sama sekali tidak perlu mengintegrasikan dan melatih pikiran sesuai dengan cara yang telah dijelaskan kepada kalian. Pikiran manusia adalah suatu unsur yang telah mantap, sinambung dan konsisten. Kalian telah dianjurkan bahwa kalian harus menjadi seorang pengrajin dalam membangun kapal. Saya katakan bahwa kalian tidak saja perlu menjadi pengrajin, tapi kalian juga sama sekali tidak memerlukan kapal! Penghuni pulau ini hanya perlu menjaga aturan sederhana untuk bertahan hidup dan menyatu dengan masyarakat. Dengan mempergunakan akal sehat yang diberikan kepada setiap orang, ia bisa meraih apa saja di pulau ini, sebagai rumah kita, milik umum dan warisan bagi setiap orang!”

Setelah masyarakat sangat tertarik pada pernyataan ini, sang penghasut “membuktikan” pesannya itu dengan mengatakan:

“Jika memang ada realitas di dalam kapal dan renang itu, tunjukkan kepada kami kapal-kapal yang telah melakukan perjalanan dan para perenang yang telah kembali!”

Hal ini adalah tantangan berat bagi para instruktur. Perkataannya didasarkan pada asumsi yang membingungkan masyarakat sehingga sekarang mereka tidak bisa melihat kekeliruan asumsi itu. Anda tahu, tidak pernah ada kapal yang kembali dari pulau lain. Jika memang para perenang kembali, mereka telah menyesuaikan diri dengan keadaan baru sehingga tidak bisa dilihat oleh orang kebanyakan.

Namun kerumunan ini menuntut bukti.

“Pembangunan kapal,” kata para pengungsi kepada para pemberontak, “adalah sebuah seni dan ketrampilan. Pengajaran dan pelatihan dalam ajaran ini membutuhkan teknik-teknik khusus. Semua ini membentuk suatu aktivitas total yang tidak bisa diuji secara parsial sesuai dengan tuntutan kalian. Aktivitas ini mempunyai unsur yang tak terlihat, yakni apa yang disebut barakah. Inilah asal kata barque — artinya sebuah kapal. Makna kata ini adalah ‘Kepelikan’ dan tidak dapat ditunjukkan kepada kalian.”

“Seni, ketrampilan, totalitas, barakah, semua itu omong kosong!” teriak kalangan revolusioner.

Kemudian mereka menggantung setiap ahli pembuat kapal yang mereka temui.

Kitab suci baru itu disambut hangat oleh semua kalangan sebagai salah satu sarana pembebasan. Manusia telah menyadari bahwa dirinya telah dewasa! Setidaknya pada masa itu ia merasa telah terbebas dari tanggung jawab.

Semua pola pemikiran yang berbeda segera dimusnahkan oleh konsep revolusioner yang sederhana dan nyaman itu. Konsep ini segera dipandang sebagai fakta dasar yang tidak pernah ditentang oleh manusia rasional. Manusia rasional di sini maksudnya seseorang yang menyesuaikan dengan teori umum itu. Berdasarkan teori umum inilah masyarakat dibangun.

Setiap gagasan yang menentang gagasan baru ini selalu disebut irasional. Sesuatu yang irasional pasti jelek. Sejak itu, meskipun ada berbagai keraguan, individu harus menekan dan membuangnya, sebab berapa pun biayanya ia harus dianggap rasional.

Tidaklah terlalu sulit untuk bersikap rasional. Seseorang hanya perlu mengikuti nilai-nilai masyarakat. Lebih jauh lagi bukti kebenaran rasionalitas itu mudah ditemukan — dengan syarat bahwa seseorang tidak berpikir di luar pola pemikiran pulau itu.

Maka untuk sementara, masyarakat telah menyesuaikan diri di pulau itu dan tampaknya bisa memenuhi kebutuhan secara memadai jika dilihat dari cara-cara yang mereka gunakan. Keadaan ini dicapai berkat akal dan emosi yang seolah-olah masuk akal. Sebagai contoh, kanibalisme diperbolehkan karena ada alasan rasional, yaitu bahwa tubuh manusia ternyata bisa dimakan. Kondisi ini adalah salah satu ciri makanan. Oleh karena itu, tubuh manusia adalah makanan. Untuk menutupi cacat dari cara berpikir ini, maka dibuat dalih. Kanibalisme dikontrol demi kepentingan masyarakat. Kompromi ini merupakan ciri keseimbangan sementara. Berulangkali seseorang mengarah pada suatu kompromi baru dan perjuangan antara akal, ambisi dan masyarakat yang menghasilkan norma sosial baru.

Lantaran ketrampilan membuat kapal tidak mempunyai cara penerapan yang jelas dalam masyarakat ini, maka ia dengan mudah dipandang sebagai sesuatu yang absurd. Perahu tidak diperlukan — tidak ada satu pun tempat tujuan. Berbagai konsekuensi dari sebuah asumsi dapat dibuat untuk “membuktikan” kebenaran asumsi tersebut. Inilah yang disebut kepastian semu, sebagai pengganti dari kepastian sejati. Hal ini kita hadapi sehari-hari. Tetapi orang-orang pulau menerapkannya kepada segala sesuatu.

Dua entri dalam Island Universal Encyclopedia (Ensiklopedia Universal Pulau) memaparkan cara kerja proses itu. Dengan menyaring hikmah dari nutrisi mental mereka satu-satunya dan dengan segala kejujuran, para cendekiawan pulau menghasilkan jenis kebenaran berikut ini:

Ship (Kapal): Sesuatu yang tak menyenangkan. Sebuah kendaraan imajiner yang diklaim oleh para pendusta dan penyeleweng sebagai alat untuk “menyeberangi air”, namun kini secara ilmiah terbukti sebagai suatu kerancuan. Setiap bahan di pulau tersebut pasti tenggelam. Padahal sebuah “kapal” dibuat dari salah satu bahan di pulau itu. Selain itu orang meragukan apakah memang ada tujuan di luar pulau. Mengajarkan “pembangunan kapal” adalah kejahatan besar menurut Undang-Undang XVII dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, pasal J tentang Perlindungan terhadap Orang-orang yang Mudah Terpedaya. Shipbuilding mania adalah suatu bentuk ekstrim dari eskapisme mental, suatu gejala ketidakmampuan masyarakat menyesuaikan diri. Setiap warga negara wajib memberitahukan kepada pejabat berwenang jika mereka mencurigai kondisi tragis ini menimpa seseorang.

Lihat: Swimming; Mental Aberrations; Crime (Major).

Bacaan: Smith, J., Why “Ships” Cannot be Built, Island University Monograph No. 1151.

Swimming (Renang): Sesuatu yang tak diakui. Diyakini sebagai suatu cara menggerakkan tubuh melewati air agar tidak tenggelam; secara umum bertujuan “mencapai sebuah tempat di luar pulau”. “Murid” dari seni yang tak diakui ini harus mematuhi sebuah ritual absurd. Dalam pelajaran pertama, ia harus menelungkupkan tubuhnya di atas tanah dan menggerakkan tangan serta kaki sesuai dengan petunjuk dari seorang “instruktur”. Semua konsep itu berdasar pada keinginan para “instruktur” yang mempunyai gaya tersendiri untuk menguasai orang-orang yang mudah terpedaya pada masa primitif. Akhir-akhir ini, cara pemujaan itu telah menjelma sebuah wabah kegilaan yang menyebar.

Lihat: Ship; Heresies; Pseudoarts.

Bacaan: Brown, W, The Great “Swimming” Madness, 7 volume, Institute of Social Lucidity.

Kata “tidak menyenangkan” dan “tidak diakui” itu digunakan untuk menunjukkan sesuatu yang bertentangan dengan kitab suci baru itu. Kitab suci baru itu sendiri dikenal sebagai ajaran yang “Menyenangkan”. Gagasan di baliknya adalah bahwa masyarakat sekarang bisa menyenangkan dirinya sendiri, demi kepentingan umum dan menyenangkan negara. Lembaga di sini dipahami sebagai lembaga yang mencakup semua masyarakat.

Tidaklah mengejutkan bila sejak awal niat meninggalkan pulau menimbulkan rasa takut luar biasa bagi setiap orang. Demikian pula rasa takut bisa terlihat pada tahanan yang telah lama di penjara dan akan dibebaskan. Dunia “luar” penjara adalah suatu dunia yang samar, tidak dikenal dan menakutkan.

Pulau itu bukanlah sebuah penjara. Tetapi ia adalah sebuah sangkar dengan jeruji-jeruji yang tak terlihat, namun lebih efektif dibandingkan sangkar dengan jeruji-jeruji yang terlihat.

Masyarakat pulau kini semakin lebih kompleks. Kita hanya bisa melihat hal itu melalui beberapa bentuknya yang mencolok. Kepustakaan mereka sangat kaya. Disamping berbagai komposisi budaya, ada berbagai buku yang menjelaskan nilai-nilai dan keberhasilan bangsa-bangsa. Demikian pula ada sebuah sistem fiksi alegoris yang menggambarkan betapa kehidupan ini akan sengsara bila masyarakat tidak mengatur diri dengan sistem yang diyakini saat ini.

Dari waktu ke waktu para instruktur berusaha membantu seluruh masyarakat untuk meloloskan diri. Para kapten kapal mengabdikan dirinya untuk menciptakan kembali suatu iklim kondusif bagi para pembuat kapal yang kini bersembunyi melanjutkan pekerjaannya. Semua upaya ini ditafsirkan oleh para sejarawan dan sosiolog dengan merujuk pada berbagai keadaan di pulau itu tanpa berniat untuk melakukan hubungan di luar masyarakat yang tertutup ini. Berbagai penjelasan yang masuk akal tentang hampir semua hal secara komparatif mudah diberikan. Tidak ada prinsip etik, sebab para sarjana tetap mengkaji apa yang dipandang benar dengan penuh ketulusan. “Apa lagi yang bisa kita kerjakan?” Kata “lagi” mengimplikasikan bahwa alternatif itu mungkin merupakan suatu upaya kuantitatif. Atau mereka saling bertanya, “Adakah hal lain yang bisa kita kerjakan?” dengan asumsi bahwa jawabannya mungkin terletak pada kata “lain” itu — sesuatu yang berbeda. Masalah mereka sebenarnya adalah anggapan mereka bahwa dirinya mampu untuk merumuskan pertanyaan dan mengabaikan fakta bahwa pertanyaan sepenting jawaban.

Para penghuni pulau niscaya mempunyai ruang lingkup pemikiran dan tindakan yang luas dalam bidang mereka sendiri yang sempit. Berbagai gagasan dan perbedaan pendapat yang muncul mengesankan kebebasan berpikir. Pemikiran digalakkan dengan syarat tidak “absurd”.

Kebebasan berbicara diperbolehkan. Tetapi hal ini sedikit manfaatnya tanpa mengupayakan pengembangan pemahaman.

Kerja dan empati dari para navigator harus mengambil aspek lain sesuai dengan berbagai perubahan di dalam masyarakat. Hal ini justru membuat realitas mereka jauh lebih membingungkan bagi para murid yang berusaha mengikuti mereka dari sudut pandang yang berlaku di pulau itu.

Di tengah-tengah semua kebingungan ini, kemampuan untuk menyadari kemungkinan meloloskan diri pada masa-masa tertentu bahkan bisa menjadi kendala. Kesadaran potensial yang mendorong untuk meloloskan diri tidaklah begitu jelas. Yang lebih sering terjadi adalah para calon pelarian yang bersemangat itu menerima suatu pengganti. Suatu konsep navigasi yang kabur tidak akan berguna tanpa orientasi. Bahkan para pembuat kapal yang paling bersemangat sekalipun dilatih untuk meyakini bahwa mereka telah mempunyai orientasi itu. Mereka telah matang. Mereka membenci setiap orang yang menunjukkan bahwa mereka mungkin memerlukan persiapan.

Cara-cara berenang atau membuat kapal yang aneh itu seringkali tidak memungkinkan untuk mencapai kemajuan yang sesungguhnya. Yang layak dikecam adalah para pembela renang semu atau kapal-kapal alegoris. Mereka hanyalah penipu yang menawarkan pelajaran kepada mereka yang masih terlalu lemah untuk berenang atau menulis tentang kapal yang tidak bisa mereka bangun.

Pada mulanya masyarakat membutuhkan pola-pola efisien dan pemikiran tertentu yang berkembang menjadi apa yang dikenal dengan ilmu. Pendekatan yang patut dipuji ini akhirnya melampaui arah yang sebenarnya dengan pola penerapan yang begitu mendasar. Setelah revolusi “menyenangkan”, pendekatan “ilmiah” itu cepat meluas sampai mempengaruhi setiap pemikiran. Akhirnya segala sesuatu yang tidak bisa dimasukkan ke dalam ikatannya dikenal dengan istilah “tidak ilmiah”, istilah sinonim lain dari kata “buruk”. Tanpa disadari, kata-kata ini telah mengungkung dan otomatis memperbudak masyarakat.

Lantaran tidak adanya sikap sejalan, seperti orang yang membuang waktu dan kemampuannya di ruang tunggu dengan membaca-baca majalah, orang-orang pulau itu menyibukkan diri untuk menemukan pengganti pemuasan diri sebagai tujuan asal (dan sesungguhnya tujuan akhir) dari masyarakat yang terbuang ini.

Sebagian relatif mampu dan berhasil mengalihkan perhatian pada komitmen-komitmen yang secara mendasar bersifat emosional. Ada berbagai tingkatan emosi, namun tidak ada cara yang memadai untuk mengukurnya. Setiap emosi dianggap sebagai suatu yang “dalam” dan “kuat” — pada tingkat apa pun lebih kuat dari tingkat lainnya. Emosi yang dipandang bisa menggerakkan masyarakat secara fisik dan mental sampai pada titik ekstrim, otomatis disebut sebagai kekuatan “dalam”.

Sebagian besar masyarakat menentukan target bagi dirinya sendiri atau membiarkan orang lain menentukannya sendiri.

Mereka mungkin mengejar suatu penghargaan, uang atau status sosial. Sebagian menyembah sesuatu dan merasa dirinya lebih unggul dari lainnya. Dengan menolak apa yang dianggap sebagai penyembahan, sebagian orang mengira bahwa mereka tidak memiliki berhala. Karena itu mereka mencibir setiap bentuk penyembahan.

Setelah berabad-abad lamanya, pulau itu dipenuhi dengan berbagai kepingan cara pemujaan. Yang lebih buruk adalah kepingan-kepingan ini ternyata mampu mempertahankan diri. Orang-orang yang bermaksud baik dan bermaksud menggabungkan cara pemujaan ini serta memadukan kepingan-kepingannya, ternyata menyebarkan suatu cara pemujaan baru. Bagi kalangan amatir dan intelektual, hal ini adalah suatu tambang bagi kajian akademis atau “bahan awal” yang menarik karena keanekaragamannya.

Fasilitas-fasilitas megah untuk memanjakan “kepuasan” tertentu berkembang pesat. Istana dan monumen, museum dan universitas, lembaga pendidikan, panggung teater, dan arena olah raga hampir memenuhi pulau tersebut. Masyarakat biasanya merasa bangga dengan kemakmuran ini. Biasanya kemakmuran ini dianggap sebagai kebenaran terakhir, meskipun tentu saja kebenaran ini sama sekali luput dari perhatian mereka semua.

Pembangunan kapal berkaitan dengan beberapa dimensi dari kegiatan itu, namun dengan cara yang hampir tidak dikenal semua orang.

Secara sembunyi-sembunyi, kapal-kapal memancangkan layar dan para perenang terus mengajarkan cara berenang …

Berbagai kondisi di pulau itu tidak sepenuhnya menimbulkan rasa takut bagi orang-orang yang penuh pengabdian tersebut. Di atas segalanya, mereka juga berasal dari masyarakat yang sama. Mereka mempunyai ikatan yang tak terpisahkan dan nasib yang sama dengan pulau itu.

Namun mereka seringkali harus menjaga diri dari perhatian saudara-saudaranya sesama penghuni pulau. Sebagian penghuni pulau yang “normal” mencoba menyelamatkan diri dari situasi itu. Yang lain berusaha membunuh mereka dengan alasan-alasan yang sulit dipahami. Sebagian bahkan berusaha membantunya dengan penuh semangat, tetapi tidak bisa menemukan mereka.

Setiap reaksi terhadap eksistensi para perenang ini adalah akibat dari sebab yang sama. Penyebabnya adalah karena sekarang hampir tidak ada orang yang mengetahui apa sesungguhnya perenang itu, apa yang dilakukannya, di mana ia bisa dijumpai?

Ketika kehidupan di pulau itu semakin beradab, suatu industri aneh tetapi logis berkembang pesat. Industri ini dicurahkan untuk menetapkan keraguan atas keabsahan sistem dasar kehidupan masyarakat. Industri ini berhasil menimbulkan keraguan atas nilal-nilai sosial dengan menertawakan atau menyindirnya. Aktivitas ini bisa mendatangkan kebahagiaan atau kesengsaraan, tetapi ia sebenarnya semacam ritual yang diulang-ulang. Sementara sebuah industri potensial dan berharga seringkali dirintangi untuk melaksanakan fungsi kreatifnya yang nyata.

Setelah keraguan untuk mengungkapkan diri sementara, masyarakat merasa bahwa dengan cara tertentu mereka akan mengurangi, membuang dan melarutkan keraguan itu. Satire diterima sebagai kiasan bermakna. Kiasan ini diterima namun tidak dipahami. Drama, buku, film, puisi dan plesetan adalah media umum bagi perkembangan itu, meskipun ada sebuah bagian penting yang termasuk dalam bidang-bidang yang lebih akademis. Bagi kebanyakan penghuni pulau, hal ini lebih membebaskan, lebih modern atau lebih progresif dibandingkan cara-cara pemujaan yang lebih tua.

Di sana-sini, seorang calon masih menemui seorang instruktur renang dan menyampaikan penawaran untuk ikut belajar renang. Biasanya penawaran itu berakhir pada pembicaraan khas berikut ini:

“Saya ingin belajar renang.”

“Apakah engkau ingin menawarkan diri untuk itu?”

“Tidak, hanya saja saya harus membawa bekal seberat satu ton.”

“Bekal apa?”

“Makanan yang dibutuhkan di pulau lain.”

“Di sana ada makanan yang lebih baik.”

“Saya tidak mengerti apa yang engkau maksudkan. Saya tidak yakin. Saya harus membawa bekal.”

“Engkau tidak bisa berenang dengan membawa bekal satu ton di punggungmu.”

“Jika demikian saya tidak bisa pergi. Engkau menyebutnya beban. Saya menyebutnya bekal makanan yang sangat penting.”

“Sebagai sebuah kiasan, andaikata kita tidak menyebut ‘bekal makanan’, namun ‘asumsi’ atau ‘gagasan yang merusak’.”

“Saya akan membawa bekal ini kepada instruktur yang memahami kebutuhan saya.”

Buku ini membicarakan tentang beberapa perenang dan pembuat kapal serta beberapa orang yang berusaha mengikuti mereka dan relatif berhasil. Dongeng ini belum berakhir, sebab masih ada masyarakat di pulau itu.

Para Sufi menggunakan berbagai simbol rahasia untuk menyampaikan maksud mereka. Dengan menyusun kembali nama dari masyarakat asal itu — El Ar — maka akan terbaca Real (Sejati). Mungkin Anda telah mengamati bahwa nama yang digunakan oleh kalangan revolusioner itu — Please (Menyenangkan) — jika disusun kembali akan membentuk kata Asleep (Tertidur).

Kisah ini dikutip dari buku “Mahkota Sufi: Menembus Dunia Ekstra Dimensi“, oleh Idries Shah. Penerbit Risalah Gusti, Cetakan Pertama Shafar 1421H, Juni 2000.