Halaman

Rabu, 10 Agustus 2011

kembang cahaya rindu

Cerpen Hamdan


Seharusnya di pagi seperti ini titik-titik embun itu telah memantulkan kilau di atas wajah hijau dedaun, rumputan serta kelembutan kembang yang ada di sekitar rumah. Bergoyang dalam simponi sejuk sepoi angin pagi dan memainkan kilau dari sinar matahari pagi. Kemilau yang memainkan warna-warni pelangi dari intipan matahari pagi. Dan ribuan titik embun menjadi kembang cahaya.

Seharusnya seperti biasa di pagi seperti ini aku telah menyentuh kembang-kembang itu atau sedikit menggoyangkan daun atau menggetarkan ranting agar titik embun bergulir ke jemariku dan jemariku pun menjadi kelopak kembang cahaya. Siapa pun pasti dapat membayangkan betapa bahagianya jika jemarinya menjadi kelopak dari kembang cahaya. Kupu-kupu dari manakah yang dapat mengenal sari madu kembang cahaya hingga mereka dapat hinggap dan menghisapnya?

Harusnya aku telah menyentuhkan kembang itu ke wajahku. Sentuhannya yang lembut serta dingin tak berbau, mengalir kencang melampaui kecepatan cahaya dalam rumus fisika. Menembus jiwa, menyibak gorden jendela sukmaku dan menabur kesejukan ke seluruh ruangnya. Kelembutan yang mengandung energy tak terumuskan itu, menjadi jalanmu untuk hadir bersamaku di pagi hari mendahului matahari mencapai pucuk-pucuk daun di ujung ranting.

Karena itu harusnya di pagi ini engkau telah hadir dengan senyuman indahmu yang tak seorang pun miliki keindahannya. Senyum yang tak tertandingi. Keindahan senyummu itu membuatku memiliki keyakinan lain terhadap pagi, yakni pagi ketika kau datang. Suatu pagi yang tampak sama dengan pagi-pagi yang lain setiap hari, tetapi sebenarnya begitu berbeda. Bahwa pagi ketika kau datang, keceriaan burung-burung cakuridi bersayap kuning, burung-burung kutilang dengan nyanyi siul, cekke-cekke dengan nuansa biru, kelincahan burung-burung pipit dan ragam cuit, kelincahan sriti, dan lain-lain, bukan karena rutinitas mereka terbiasa menyambut matahari dan pagi, tetapi sesungguhnya karena mereka terpesona dengan indah senyummu. Begitulah mereka saling berebut perhatianmu. Karena senyummu yang mempesona itu, kadang-kadang aku cemburu kepada burung-burung itu dan kupu-kupu yang begitu bahagia dengan senyummu. Cemburu karena aku merasa bahwa kedatangan dan senyummu bukan untuk diriku tetapi untuk mereka.

Memang tidak setiap pagi kembang-kembang cahaya itu mekar berkilau. Tapi aku tau jika pagi ini seharusnya ia mekar. Dulu engkau pernah tanya padaku bagaimana aku dapat mengetahui saat pagi yang mana kembang cahaya dapat mekar?Aku tak tahu bagaimana bisa menjelaskannya padamu agar engkau dapat memahaminya. Aku dapat saja menjawab bahwa ia memberitahukannya padaku setiap kali ia hendak mekar. Tetapi engkau pasti bertanya lagi, “bagaimana kembang menyampaikan pesan itu?” Pertanyaanmu memang sedikit, tetapi jawabannya pasti menjadi panjang. Agar lebih singkat, aku menjawab seadanya; “aku bukan mengetahuinya, melainkan merasakannya sebagaimana engkau merasakan kerinduanku padamu”. Jawaban sederhana itu membuatmu tersenyum dan bertanya canda padaku; “ooh… apakah aku merindukanmu?”

Kini aku juga belum tahu kenapa pagi ini kembang cahaya itu tidak mekar. mestinya ia pasti memberitahukan padaku sebelumnya setiap kali ia akan mekar. Tetapi soal mengapa tidak mekar di pagi ini, ia belum memberi tahu sebelumnya, atau mungkin ia takkan memberi tahu. Satu-satunya yang dapat aku pastikan walaupun ia tak memberi tahuku sebelumnya adalah ketika purnama datang. Aku sudah menandai bahwa setiap kali purnama telah memendarkan kesempurnaan cahayanya di suatu malam, kembang-kembang cahaya itu pasti mekar di pagi hari. Aku tak bisa lupa hal itu karena aku juga selalu menanti purnama. Bukan hanya kesempurnaan cahaya yang aku senang pada purnama, tetapi juga setiap kali ia menyempurnakan cahaya, ia pasti berada tepat di depan teras rumahku. Di saat itulah aku dapat memandang ke arah utara, pada sebuah bintang yang paling jauh nan sepi, sendiri, kedipannya kecil kemuning, dialah kesempurnaan kerinduan. Kesempurnaan cahaya dan kesempurnaan kerinduan menyatu di malam purnama.

Keindahan mekar kembang cahaya di pagi setelah purnama adalah manifestasi dari kedua kesempurnaan yang menyatu itu berwujud dalam kembang cahaya rindu. Jadi inilah kembang yang paling sempurna, kembang bertabur kemilau cahaya rindu. Lalu engkau yang hadir menjadi bagian dari kesempurnaan, juga bagian dari kemilau, juga bagian dari cahaya, dan juga menjadi bagian dari kerinduan. Kembang cahaya rindu menjadi bagian terpenting dari hidupku setelah ruhku, bahkan sebenarnya diam-diam aku merasakan bahwa sebenarnya kembang itu adalah ruhku sendiri.

Aku seperti kehilangan hampir seluruh bagian dalam hidupku karena pagi ini bukan pagi dimana kembang cahaya rindu hadir dalam jiwaku. Kini hanya pagi biasa sebagaimana pagi lain sepanjang waktu, tanpa kemilau kembang, tanpa kemilau cahaya, tanpa kemilau rindu dan kemilau senyummu. Burung-burung pun memberikan nyanyian pesakitan, nyanyian hysteria penderitaan dari penjara rutinitas pagi, nyanyian yang terpenjara oleh waktu. Daun-daun juga menghijau seadanya mengesankan batas-batas usia, hijau yang tersandra waktu hingga mereka menjadi coklat kering dan berguguran.

Tapi aku tak perlu pemberitahuan atau alasan. Ini hanya suatu bagian yang mesti dilalui, bahwa untuk mencapai kesempurnaan kerinduan, aku harus memiliki kualita-kualita sepi dan kesendirian yang melampaui ruang dan waktu. Dalam perjalanan melewati tapak sepi ada banyak kesenangan dan penderitaan yang mengajakku melupakan puncak rindu. Ya, ini soal kesetiaan bahwa kualitas kesetiaan akan teruji dengan kedalaman rindu, tidak dalam kebersamaan sepanjang ruang dan waktu.

Seharusnya pagi ini, ah… tidak... bukan seharusnya, pagi ini aku harus mulai membaca kitab-kitab sunyi dan sepi serta risalah kerinduan. Aku yakin pada lembar-lembar tertentu aku akan mendapatkan bahwa kembang cahaya rindu itu sungguh adalah wajah senyummu yang mekar kemilau di hatiku, tidak lagi pada dedaun pagi hari di halaman rumahku.



makassar, tengah juni 2011