Halaman

Sabtu, 17 Desember 2011

lagu gemericik

cerpen hamdan

Gelap! Belum ada yang tahu sedang di mana. Mereka hanya merasakan diri bergerak, entah terdorong atau tertarik oleh sesuatu. Bergerak maju mengikis dan bahkan menabrak sepanjang dinding lorong-lorong dari trowongan yang serasa tak berujung, panjaaang. Ke kiri langsung ke bawah, ke kanan atas, berkelok-kelok menembus lorong longitudinal vertical, horizontal yang tak beraturan. Cepat. Sangat cepat. Dan dalam sekejab terang telah menyinari. Mereka tetap bergerak menyapu lumut-lumut, menabrak bebatuan, mencari tempat rendah, sambil bersiul dan bernyanyi. Mereka tak pernah menyusun komposisi musik, tapi lagu akrab gemericiknya tetap saja indah. Demikianlah air-air itu.

Ketika mengisi tempat yang dalam, suara mereka terhenti. Tenang. Walau rombongan dari belakang tiada terputus bernyanyi gemericik. Di atas genangan, beberapa daun kering berenang laju terbawa angin, bagai perahu nelayan dalam petakan danau. Mereka saling bergantian mengisi tempat itu, berbaur, berpisah, kemudian melanjutkan perjalanan mengisi setiap rerendahan yang ditemui.

“Hei, adakah yang mengetahui di mana kita berada kini? Apakah kita akan terus berlari tanpa navigator?”

“Oww, rupanya kita memikirkan hal yang sama. Dari mana kita memulai perjalanan? Apa yang akan kita laui di depan sana? Mungkinkah kita terus menabrak batu-batu atau terjun dari tempat yang tinggi, atau berputar-putar di tempat yang dalam?”

“Waouw …. aaaaaaa ….” Byuuur!

Belum sempat mereka berpikir, tiba-tiba mereka merasa kehilangan alas dan jatuh jauh ke bawah. Ada yang terpisah karena menabrak dahan, dedaunan, bahkan terbawa angin. Sekejap. Sejenak. Terdengarlah nynyian koor gemericik. Suaranya menggema jauh ke sekitar tempat yang tak dikenali itu. Suaranya memberi kesan keabadian, panjang tanpa ujung. Agak lama mereka berkumpul menunggu. Di tempat itulah mereka bertemu serombongan yang lain dari arah berbeda. Tanpa basa-basi mereka segera bersama, berbaur, lalu berpisah memasuki cela batuan, tanah, kemudian bertemu lagi.

“Hei, nampaknya kita berbeda arah sebelum pertemuan ini, sedikit berbeda warna dan mungkin rasa, tapi nampaknya kita juga sama. Kami baru saja memikirkan hal yang mungkin akan terjadi pada kita nanti.”

“kami baru … eh iya, kami juga baru beberapa saat lalu jatuh dari ketinggian. Dari gumpulan awan hitam yang membayangi langit di atas sana. Sebagian kami awalnya ada yang jatuh menetes, berpisah dan jatuh di puncak. Ada teman lain ke arah Selatan, Utara, dan kami ke sini. Kebetulan kami melewati hutan gundul. Itulah yang membuat warna kami menjadi kuning kecoklatan. Air berwarna tanah. Mungkin kalian yang kami lihat dari atas saat kami melayang jatuh. Sesungguhnya banyak teman lain yang kami lihat dari atas, membuat garis-garis berkelok membelah hutan hingga ke lautan.”

“Sbentar, sbentar! Apakah kini kita berada di hutan atau di gunung?” Terdengar tanya dari antara mereka memotong pembicaraan.

“Benar, kita berada di hutan, di atas gunungan. Entah kapan dan di mana kita akan bertemu yang lain. Mungkin kita akan berpisah di depan, atau bertemu mereka yang keluar langsung dari tanah. Mereka pasti bening dan sejuk, tak berubah keasliannya, keaslian sebagai air.”

“Tanah air?”

“Aku rasa bukan. Tanah ya tanah. Air ya air.”

Mereka terus mengalir, menyusuri cela batuan, menyanyikan lagu gemereciknya yang tak pernah kehilangan merdu. Sebagian mereka memang telah terserap tanah. Melembabkan. Lalu terserap ke akar-akar pohon hingga ke pucuk-pucuk daun. Lalu dunia ini tampak warna-warni. Kadang mereka tinggal disitu dan menjadi kering.

Di atas gunungan yang lain, ada yang diambil manusia. Dikumpul untuk menyiram tanaman kebun serta memenuhi kebutuhan “emceka”, diminum, jadi kencing atau keringat. Sebagian yang lain terus mengalir, ke sungai melewati bendungan, irigasi, sawah, kali, sumur, selokan. Lagu gemericik semakin menepi dan menyepi.

Ke kota-kota memalui pipa-pipa raksasa sampai ke rumah-rumah; rumah tangga, rumah makan, rumah sakit, rumah sekolah, rumah kontrakan, rumah sewaan, rumah inap, rumah bordil, rumah mahal, rumah murah, rumah belum lunas, rumah rusak, rumah sitaan, rumah curian, rumah teman, rumah tetangga, rumah toko, rumah susun, rumah tahanan, rumah dinas, kompleks perumahan, rumah simpanan dan rumah-rumahan lainnya.

Ke pabrik-pabrik, hotel, kolam, tangki, drum, bak mandi, ember, periuk, termos, cerek, botol, kaleng, ke dalam kulkas; dingin lalu kaku tak ada gemericik. Ke kanal-kanal dan selokan yang membelah kota, berenang bersama sampah-sampah tak terurus. Hitam, busuk, gatal.

Mereka berpisah menyebar menjelajahi dunia. Terberai ke sana sini mendapat identitas baru; air hujan, air sungai, air terjun, air empang, air sawah, air irigasi, air sumur, air ledeng, air kolam, air mancur, air PAM, air tanah, air embun, air jernih, air keruh, air dingin, air hangat, air panas, air masak, air mentah, air keringat, air kencing, air beol, air got, air cuci, air minum, air mandi, air mani, air mata, air ingus, air liur, air buah, air susu, air mineral, air lumpur, dan sejuta identitas lainnya.

“Ah, perasaan aku pernah dipakai oleh seorang untuk keramas, cuci kelamin yang baru saja usai terpakai sembunyi-sembunyi, lalu aku menjadi comberan, terserap masuk ke tanah, lalu ke sumur Mas Dulah pemilik warung makan terkenal dan terlaris di suatu kota, lalu dipakai minum sejumlah pengunjung”.

“Emmm, apalagi yah…? Nah, aku ingat! Separuh aku menjadi air liurnya. Beberapa saat kemudian ada lagu gemericik di bibir dan lidah, lalu aku menjadi kering di atas puting susu seorang gadis cantik abg yang baru pacaran seminggu. Konon sebulan kemudian mereka sudah putus dan segera susunya menjadi barang bekas.”

“Emmm…, separuh aku menjadi keringat seorang perempuan, gemericik becek terdesak tindihan keringat lelaki. Bercampur sperma yang tumpah nyasar. Dan kami kering bersama di badan, kasur, lantai, sprei, dan bahkan ke tembok gedung-gedung mewah, gedung kontrakan, dan gubuk kontrakan dari para penikmat kelamin. Sial…, padahal sebulan sebelumnya aku sempat menjadi embun yang sejuk di atas kembang cemara.”

“Separuh aku menjadi kencingnya, keluar di kamar mandi. Gemericik karena muncrat terjepit menabrak lantai toilet, masuk ke pipa dan keluar ke comberan. Waktu itu sedang banjir setelah hujan dan anak-anak bermain.”

“Separuh aku menjadi air mani, tak tahu di mana aku di keluarkan. Aku di tahan-tahan dan seketika dilepas muncrat dengan desah kencang. Gelap, panas dan bau busuk. Tak tahu menjadi apa lagi. Tapi separuh masih tertinggal di kulit kelamin. Lalu aku bertemu dengan air cuci. Lumayan aku masih sempat menjadi air lagi.”

“Wah, aku punya pengalaman lain yak tak kalah indah. Tapi hanya salah satu pengalaman di antara sejuta pengalaman perjalanan yang dilalui bangsa air.” Sapa yang lain.

“Ia, tapi pengalamanku itu sial, menjadi air yang tidak halal, air birahi warga urban kota; mahasiswa, pegawai negeri, karyawan, buruh, wisatawan, pejabat, dan lain-lain.”

Kebanyakan air memang hanya mengalami perjalanan umum dalam sistim siklus. Tetapi pengalaman akan berbeda bagi mereka yang bertemu dan digunakan manusia. Mereka bahkan tak dapat kembali menjadi gumpalan awan mendung untuk menjadi hujan. Begitulah mereka berbagi pengalaman, membaur di ruang yang luas. Lautan. Membiru indah tapi lebih sering menakutkan. Sambil bernyanyi gemericik ombak.

Setiap tetes berdoa; “semoga aku masih sempat menjadi air, air bersih dan masih dapat bernyanyi ritual gemericik lagi.”

Pada malam hari angin menjadi ramah. Laut tertidur. Gemericiknya bernada fals dari tekanan mesin-mesin yang berlari cepat. Tidurnya terganggu. Menjadi laut, air menanti esok, menanti matahari memanaskan dan menguapkannya menjadi awan untuk dapat bernyanyi gemericik hujan.

Makassar, 26 Nopember 2000.

Tidak ada komentar: