Halaman

Sabtu, 03 Desember 2011

kisah orang-orang pulau

Manusia biasa (awam) menyesali dosa-dosanya, Manusia pilihan menyesali kelalaiannya. (Dzun-Nun al-Mishri)

Semua dongeng, paling tidak mengandung kebenaran tertentu dan seringkali dongeng-dongeng itu memungkinkan masyarakat menyerap gagasan-gagasan yang sulit dipahami atau bahkan tidak bisa dicerna jika disampaikan dalam bentuk pemikiran yang wajar. Oleh karena itu, dongeng digunakan para guru Sufi untuk memberikan suatu gambaran kehidupan yang lebih sejalan dengan perasaan mereka dibandingkan melalui wahana kegiatan intelektual.

Berikut ini ada sebuah dongeng Sufi yang telah dirangkum dan biasanya disesuaikan dengan masa dongeng yang dikisahkan. Sementara dongeng-dongeng “hiburan” biasa, dipandang oleh para penulis Sufi sebagai suatu bentuk kesenian yang telah merosot atau lebih rendah nilainya.

Pada suatu masa ada sebuah masyarakat yang hidup di sebuah pulau yang sangat terpencil. Para anggota masyarakat ini tidak mempunyai rasa takut seperti kita saat ini. Alih-alih ketidakpastian dan kegamangan, mereka mempunyai tujuan yang pasti dan cara-cara yang lebih sempurna dalam mengekspresikan diri. Meskipun tidak ada tekanan dan ketegangan sebagai unsur penting kemajuan bagi manusia sekarang. Kehidupan mereka lebih kaya, karena sebab-sebab lain, yakni unsur-unsur kehidupan yang lebih baik daripada kehidupan saat ini. Oleh karena itu, kehidupan mereka adalah suatu bentuk eksistensi yang agak berbeda. Kita hampir bisa menyatakan bahwa persepsi kita saat ini adalah versi sementara dan kasar dari persepsi masyarakat ini.

Mereka menjalani kehidupan sejati, bukan kehidupan semu. Kita dapat menyebut mereka masyarakat El Ar.

Masyarakat ini mempunyai seorang pemimpin yang menyadari bahwa negeri mereka akan punah, katakanlah selama 20.000 (dua puluh ribu) tahun yang akan datang. Ia merencanakan pengungsian dan menyadari bahwa keturunan mereka hanya akan berhasil pulang kembali setelah melalui berbagai ujian.

Ia menemukan sebuah tempat pengungsian bagi mereka, yaitu sebuah pulau yang sepintas lalu bentuknya mirip dengan tanah air asal mereka. Karena perbedaan udara dan situasi, para imigran itu harus melakukan transformasi. Tujuannya adalah untuk menyesuaikan fisik dan mental mereka dengan lingkungan baru. Sebagai contoh, persepsi-persepsi kasar diganti dengan persepsi yang lebih halus, seperti tangan seorang pekerja kasar menjadi keras karena tuntutan pekerjaannya.

Untuk mengurangi penderitaan akibat perbedaan antara keadaan lama dan baru itu, mereka dikondisikan untuk melupakan masa lalu secara hampir menyeluruh. Hanya kenangan masa lalu yang paling kuat tetap tersisa. Tetapi hal ini sudah memadai untuk digunakan bila diperlukan.

Sistem masyarakat ini sangat rumit namun tetap diatur dengan baik. Alat-alat untuk bertahan hidup di pulau itu dibuat, demikian pula sarana-sarana hiburan fisik dan mental. Alat-alat yang sangat berguna dari tanah air lama disimpan di sebuah tempat khusus sebagai kenangan lama dan persiapan untuk digunakan di kemudian hari.

Lambat laun dan dengan susah payah akhirnya para imigran menetap dan menyesuaikan diri dengan kondisi lokal. Sumber daya di pulau itu sedemikian rupa sehingga dengan upaya dan bimbingan tertentu, masyarakat akhirnya bisa melanjutkan perjalanan ke pulau berikutnya untuk kembali ke tanah asal mereka. Ini adalah pulau pertama dari kepulauan lainnya yang masih membutuhkan penyesuaian secara bertahap.

Tanggung jawab atas “evolusi” ini dibebankan kepada pribadi-pribadi yang mampu mengembannya. Tentu saja tanggung jawab ini hanya untuk sebagian kecil orang, karena bagi kebanyakan orang, upaya menjaga kedua bentuk pengetahuan itu dalam kesadaran mereka niscaya tidak mungkin. Di antara mereka cenderung muncul pertentangan. Hanya para ahli yang dapat menjaga “ilmu khusus” itu.

“Ilmu rahasia” ini, yaitu metode mengefektifkan peralihan, tidak lain adalah pengetahuan dan ketrampilan maritim. Kebebasan atau pengungsian membutuhkan seorang instruktur, bahan baku, masyarakat, usaha dan pemahaman. Untuk itu masyarakat bisa belajar renang sekaligus membangun kapal.

Orang-orang yang sejak semula bertanggung jawab atas operasi pengungsian menjelaskan kepada setiap orang bahwa persiapan tertentu diperlukan sebelum seseorang belajar renang atau bahkan ikut serta dalam membangun kapal. Pada suatu masa, proses tersebut berlangsung secara memuaskan.

Kemudian seorang laki-laki yang pada saat itu ternyata kurang memenuhi persyaratan, menentang aturan main dan berusaha mengembangkan suatu gagasan umum. Ia mengamati bahwa pengungsian itu adalah tugas yang berat dan selalu disambut dingin oleh masyarakat. Pada saat yang sama mereka juga diharapkan untuk mempercayai segala sesuatu tentang operasi pengungsian. Ia menyadari bahwa dirinya mampu meraih kekuasaan dan dapat membalas dendam kepada mereka yang menurutnya telah merendahkan dirinya dengan mengeksploitasi dua kenyataan itu.

Ia sebenarnya hanya ingin meninggalkan beban itu dan menegaskan bahwa (sebenarnya) tidak ada beban yang perlu dipikul.

Kemudian ia mengeluarkan pernyataan berikut ini:

“Manusia sama sekali tidak perlu mengintegrasikan dan melatih pikiran sesuai dengan cara yang telah dijelaskan kepada kalian. Pikiran manusia adalah suatu unsur yang telah mantap, sinambung dan konsisten. Kalian telah dianjurkan bahwa kalian harus menjadi seorang pengrajin dalam membangun kapal. Saya katakan bahwa kalian tidak saja perlu menjadi pengrajin, tapi kalian juga sama sekali tidak memerlukan kapal! Penghuni pulau ini hanya perlu menjaga aturan sederhana untuk bertahan hidup dan menyatu dengan masyarakat. Dengan mempergunakan akal sehat yang diberikan kepada setiap orang, ia bisa meraih apa saja di pulau ini, sebagai rumah kita, milik umum dan warisan bagi setiap orang!”

Setelah masyarakat sangat tertarik pada pernyataan ini, sang penghasut “membuktikan” pesannya itu dengan mengatakan:

“Jika memang ada realitas di dalam kapal dan renang itu, tunjukkan kepada kami kapal-kapal yang telah melakukan perjalanan dan para perenang yang telah kembali!”

Hal ini adalah tantangan berat bagi para instruktur. Perkataannya didasarkan pada asumsi yang membingungkan masyarakat sehingga sekarang mereka tidak bisa melihat kekeliruan asumsi itu. Anda tahu, tidak pernah ada kapal yang kembali dari pulau lain. Jika memang para perenang kembali, mereka telah menyesuaikan diri dengan keadaan baru sehingga tidak bisa dilihat oleh orang kebanyakan.

Namun kerumunan ini menuntut bukti.

“Pembangunan kapal,” kata para pengungsi kepada para pemberontak, “adalah sebuah seni dan ketrampilan. Pengajaran dan pelatihan dalam ajaran ini membutuhkan teknik-teknik khusus. Semua ini membentuk suatu aktivitas total yang tidak bisa diuji secara parsial sesuai dengan tuntutan kalian. Aktivitas ini mempunyai unsur yang tak terlihat, yakni apa yang disebut barakah. Inilah asal kata barque — artinya sebuah kapal. Makna kata ini adalah ‘Kepelikan’ dan tidak dapat ditunjukkan kepada kalian.”

“Seni, ketrampilan, totalitas, barakah, semua itu omong kosong!” teriak kalangan revolusioner.

Kemudian mereka menggantung setiap ahli pembuat kapal yang mereka temui.

Kitab suci baru itu disambut hangat oleh semua kalangan sebagai salah satu sarana pembebasan. Manusia telah menyadari bahwa dirinya telah dewasa! Setidaknya pada masa itu ia merasa telah terbebas dari tanggung jawab.

Semua pola pemikiran yang berbeda segera dimusnahkan oleh konsep revolusioner yang sederhana dan nyaman itu. Konsep ini segera dipandang sebagai fakta dasar yang tidak pernah ditentang oleh manusia rasional. Manusia rasional di sini maksudnya seseorang yang menyesuaikan dengan teori umum itu. Berdasarkan teori umum inilah masyarakat dibangun.

Setiap gagasan yang menentang gagasan baru ini selalu disebut irasional. Sesuatu yang irasional pasti jelek. Sejak itu, meskipun ada berbagai keraguan, individu harus menekan dan membuangnya, sebab berapa pun biayanya ia harus dianggap rasional.

Tidaklah terlalu sulit untuk bersikap rasional. Seseorang hanya perlu mengikuti nilai-nilai masyarakat. Lebih jauh lagi bukti kebenaran rasionalitas itu mudah ditemukan — dengan syarat bahwa seseorang tidak berpikir di luar pola pemikiran pulau itu.

Maka untuk sementara, masyarakat telah menyesuaikan diri di pulau itu dan tampaknya bisa memenuhi kebutuhan secara memadai jika dilihat dari cara-cara yang mereka gunakan. Keadaan ini dicapai berkat akal dan emosi yang seolah-olah masuk akal. Sebagai contoh, kanibalisme diperbolehkan karena ada alasan rasional, yaitu bahwa tubuh manusia ternyata bisa dimakan. Kondisi ini adalah salah satu ciri makanan. Oleh karena itu, tubuh manusia adalah makanan. Untuk menutupi cacat dari cara berpikir ini, maka dibuat dalih. Kanibalisme dikontrol demi kepentingan masyarakat. Kompromi ini merupakan ciri keseimbangan sementara. Berulangkali seseorang mengarah pada suatu kompromi baru dan perjuangan antara akal, ambisi dan masyarakat yang menghasilkan norma sosial baru.

Lantaran ketrampilan membuat kapal tidak mempunyai cara penerapan yang jelas dalam masyarakat ini, maka ia dengan mudah dipandang sebagai sesuatu yang absurd. Perahu tidak diperlukan — tidak ada satu pun tempat tujuan. Berbagai konsekuensi dari sebuah asumsi dapat dibuat untuk “membuktikan” kebenaran asumsi tersebut. Inilah yang disebut kepastian semu, sebagai pengganti dari kepastian sejati. Hal ini kita hadapi sehari-hari. Tetapi orang-orang pulau menerapkannya kepada segala sesuatu.

Dua entri dalam Island Universal Encyclopedia (Ensiklopedia Universal Pulau) memaparkan cara kerja proses itu. Dengan menyaring hikmah dari nutrisi mental mereka satu-satunya dan dengan segala kejujuran, para cendekiawan pulau menghasilkan jenis kebenaran berikut ini:

Ship (Kapal): Sesuatu yang tak menyenangkan. Sebuah kendaraan imajiner yang diklaim oleh para pendusta dan penyeleweng sebagai alat untuk “menyeberangi air”, namun kini secara ilmiah terbukti sebagai suatu kerancuan. Setiap bahan di pulau tersebut pasti tenggelam. Padahal sebuah “kapal” dibuat dari salah satu bahan di pulau itu. Selain itu orang meragukan apakah memang ada tujuan di luar pulau. Mengajarkan “pembangunan kapal” adalah kejahatan besar menurut Undang-Undang XVII dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, pasal J tentang Perlindungan terhadap Orang-orang yang Mudah Terpedaya. Shipbuilding mania adalah suatu bentuk ekstrim dari eskapisme mental, suatu gejala ketidakmampuan masyarakat menyesuaikan diri. Setiap warga negara wajib memberitahukan kepada pejabat berwenang jika mereka mencurigai kondisi tragis ini menimpa seseorang.

Lihat: Swimming; Mental Aberrations; Crime (Major).

Bacaan: Smith, J., Why “Ships” Cannot be Built, Island University Monograph No. 1151.

Swimming (Renang): Sesuatu yang tak diakui. Diyakini sebagai suatu cara menggerakkan tubuh melewati air agar tidak tenggelam; secara umum bertujuan “mencapai sebuah tempat di luar pulau”. “Murid” dari seni yang tak diakui ini harus mematuhi sebuah ritual absurd. Dalam pelajaran pertama, ia harus menelungkupkan tubuhnya di atas tanah dan menggerakkan tangan serta kaki sesuai dengan petunjuk dari seorang “instruktur”. Semua konsep itu berdasar pada keinginan para “instruktur” yang mempunyai gaya tersendiri untuk menguasai orang-orang yang mudah terpedaya pada masa primitif. Akhir-akhir ini, cara pemujaan itu telah menjelma sebuah wabah kegilaan yang menyebar.

Lihat: Ship; Heresies; Pseudoarts.

Bacaan: Brown, W, The Great “Swimming” Madness, 7 volume, Institute of Social Lucidity.

Kata “tidak menyenangkan” dan “tidak diakui” itu digunakan untuk menunjukkan sesuatu yang bertentangan dengan kitab suci baru itu. Kitab suci baru itu sendiri dikenal sebagai ajaran yang “Menyenangkan”. Gagasan di baliknya adalah bahwa masyarakat sekarang bisa menyenangkan dirinya sendiri, demi kepentingan umum dan menyenangkan negara. Lembaga di sini dipahami sebagai lembaga yang mencakup semua masyarakat.

Tidaklah mengejutkan bila sejak awal niat meninggalkan pulau menimbulkan rasa takut luar biasa bagi setiap orang. Demikian pula rasa takut bisa terlihat pada tahanan yang telah lama di penjara dan akan dibebaskan. Dunia “luar” penjara adalah suatu dunia yang samar, tidak dikenal dan menakutkan.

Pulau itu bukanlah sebuah penjara. Tetapi ia adalah sebuah sangkar dengan jeruji-jeruji yang tak terlihat, namun lebih efektif dibandingkan sangkar dengan jeruji-jeruji yang terlihat.

Masyarakat pulau kini semakin lebih kompleks. Kita hanya bisa melihat hal itu melalui beberapa bentuknya yang mencolok. Kepustakaan mereka sangat kaya. Disamping berbagai komposisi budaya, ada berbagai buku yang menjelaskan nilai-nilai dan keberhasilan bangsa-bangsa. Demikian pula ada sebuah sistem fiksi alegoris yang menggambarkan betapa kehidupan ini akan sengsara bila masyarakat tidak mengatur diri dengan sistem yang diyakini saat ini.

Dari waktu ke waktu para instruktur berusaha membantu seluruh masyarakat untuk meloloskan diri. Para kapten kapal mengabdikan dirinya untuk menciptakan kembali suatu iklim kondusif bagi para pembuat kapal yang kini bersembunyi melanjutkan pekerjaannya. Semua upaya ini ditafsirkan oleh para sejarawan dan sosiolog dengan merujuk pada berbagai keadaan di pulau itu tanpa berniat untuk melakukan hubungan di luar masyarakat yang tertutup ini. Berbagai penjelasan yang masuk akal tentang hampir semua hal secara komparatif mudah diberikan. Tidak ada prinsip etik, sebab para sarjana tetap mengkaji apa yang dipandang benar dengan penuh ketulusan. “Apa lagi yang bisa kita kerjakan?” Kata “lagi” mengimplikasikan bahwa alternatif itu mungkin merupakan suatu upaya kuantitatif. Atau mereka saling bertanya, “Adakah hal lain yang bisa kita kerjakan?” dengan asumsi bahwa jawabannya mungkin terletak pada kata “lain” itu — sesuatu yang berbeda. Masalah mereka sebenarnya adalah anggapan mereka bahwa dirinya mampu untuk merumuskan pertanyaan dan mengabaikan fakta bahwa pertanyaan sepenting jawaban.

Para penghuni pulau niscaya mempunyai ruang lingkup pemikiran dan tindakan yang luas dalam bidang mereka sendiri yang sempit. Berbagai gagasan dan perbedaan pendapat yang muncul mengesankan kebebasan berpikir. Pemikiran digalakkan dengan syarat tidak “absurd”.

Kebebasan berbicara diperbolehkan. Tetapi hal ini sedikit manfaatnya tanpa mengupayakan pengembangan pemahaman.

Kerja dan empati dari para navigator harus mengambil aspek lain sesuai dengan berbagai perubahan di dalam masyarakat. Hal ini justru membuat realitas mereka jauh lebih membingungkan bagi para murid yang berusaha mengikuti mereka dari sudut pandang yang berlaku di pulau itu.

Di tengah-tengah semua kebingungan ini, kemampuan untuk menyadari kemungkinan meloloskan diri pada masa-masa tertentu bahkan bisa menjadi kendala. Kesadaran potensial yang mendorong untuk meloloskan diri tidaklah begitu jelas. Yang lebih sering terjadi adalah para calon pelarian yang bersemangat itu menerima suatu pengganti. Suatu konsep navigasi yang kabur tidak akan berguna tanpa orientasi. Bahkan para pembuat kapal yang paling bersemangat sekalipun dilatih untuk meyakini bahwa mereka telah mempunyai orientasi itu. Mereka telah matang. Mereka membenci setiap orang yang menunjukkan bahwa mereka mungkin memerlukan persiapan.

Cara-cara berenang atau membuat kapal yang aneh itu seringkali tidak memungkinkan untuk mencapai kemajuan yang sesungguhnya. Yang layak dikecam adalah para pembela renang semu atau kapal-kapal alegoris. Mereka hanyalah penipu yang menawarkan pelajaran kepada mereka yang masih terlalu lemah untuk berenang atau menulis tentang kapal yang tidak bisa mereka bangun.

Pada mulanya masyarakat membutuhkan pola-pola efisien dan pemikiran tertentu yang berkembang menjadi apa yang dikenal dengan ilmu. Pendekatan yang patut dipuji ini akhirnya melampaui arah yang sebenarnya dengan pola penerapan yang begitu mendasar. Setelah revolusi “menyenangkan”, pendekatan “ilmiah” itu cepat meluas sampai mempengaruhi setiap pemikiran. Akhirnya segala sesuatu yang tidak bisa dimasukkan ke dalam ikatannya dikenal dengan istilah “tidak ilmiah”, istilah sinonim lain dari kata “buruk”. Tanpa disadari, kata-kata ini telah mengungkung dan otomatis memperbudak masyarakat.

Lantaran tidak adanya sikap sejalan, seperti orang yang membuang waktu dan kemampuannya di ruang tunggu dengan membaca-baca majalah, orang-orang pulau itu menyibukkan diri untuk menemukan pengganti pemuasan diri sebagai tujuan asal (dan sesungguhnya tujuan akhir) dari masyarakat yang terbuang ini.

Sebagian relatif mampu dan berhasil mengalihkan perhatian pada komitmen-komitmen yang secara mendasar bersifat emosional. Ada berbagai tingkatan emosi, namun tidak ada cara yang memadai untuk mengukurnya. Setiap emosi dianggap sebagai suatu yang “dalam” dan “kuat” — pada tingkat apa pun lebih kuat dari tingkat lainnya. Emosi yang dipandang bisa menggerakkan masyarakat secara fisik dan mental sampai pada titik ekstrim, otomatis disebut sebagai kekuatan “dalam”.

Sebagian besar masyarakat menentukan target bagi dirinya sendiri atau membiarkan orang lain menentukannya sendiri.

Mereka mungkin mengejar suatu penghargaan, uang atau status sosial. Sebagian menyembah sesuatu dan merasa dirinya lebih unggul dari lainnya. Dengan menolak apa yang dianggap sebagai penyembahan, sebagian orang mengira bahwa mereka tidak memiliki berhala. Karena itu mereka mencibir setiap bentuk penyembahan.

Setelah berabad-abad lamanya, pulau itu dipenuhi dengan berbagai kepingan cara pemujaan. Yang lebih buruk adalah kepingan-kepingan ini ternyata mampu mempertahankan diri. Orang-orang yang bermaksud baik dan bermaksud menggabungkan cara pemujaan ini serta memadukan kepingan-kepingannya, ternyata menyebarkan suatu cara pemujaan baru. Bagi kalangan amatir dan intelektual, hal ini adalah suatu tambang bagi kajian akademis atau “bahan awal” yang menarik karena keanekaragamannya.

Fasilitas-fasilitas megah untuk memanjakan “kepuasan” tertentu berkembang pesat. Istana dan monumen, museum dan universitas, lembaga pendidikan, panggung teater, dan arena olah raga hampir memenuhi pulau tersebut. Masyarakat biasanya merasa bangga dengan kemakmuran ini. Biasanya kemakmuran ini dianggap sebagai kebenaran terakhir, meskipun tentu saja kebenaran ini sama sekali luput dari perhatian mereka semua.

Pembangunan kapal berkaitan dengan beberapa dimensi dari kegiatan itu, namun dengan cara yang hampir tidak dikenal semua orang.

Secara sembunyi-sembunyi, kapal-kapal memancangkan layar dan para perenang terus mengajarkan cara berenang …

Berbagai kondisi di pulau itu tidak sepenuhnya menimbulkan rasa takut bagi orang-orang yang penuh pengabdian tersebut. Di atas segalanya, mereka juga berasal dari masyarakat yang sama. Mereka mempunyai ikatan yang tak terpisahkan dan nasib yang sama dengan pulau itu.

Namun mereka seringkali harus menjaga diri dari perhatian saudara-saudaranya sesama penghuni pulau. Sebagian penghuni pulau yang “normal” mencoba menyelamatkan diri dari situasi itu. Yang lain berusaha membunuh mereka dengan alasan-alasan yang sulit dipahami. Sebagian bahkan berusaha membantunya dengan penuh semangat, tetapi tidak bisa menemukan mereka.

Setiap reaksi terhadap eksistensi para perenang ini adalah akibat dari sebab yang sama. Penyebabnya adalah karena sekarang hampir tidak ada orang yang mengetahui apa sesungguhnya perenang itu, apa yang dilakukannya, di mana ia bisa dijumpai?

Ketika kehidupan di pulau itu semakin beradab, suatu industri aneh tetapi logis berkembang pesat. Industri ini dicurahkan untuk menetapkan keraguan atas keabsahan sistem dasar kehidupan masyarakat. Industri ini berhasil menimbulkan keraguan atas nilal-nilai sosial dengan menertawakan atau menyindirnya. Aktivitas ini bisa mendatangkan kebahagiaan atau kesengsaraan, tetapi ia sebenarnya semacam ritual yang diulang-ulang. Sementara sebuah industri potensial dan berharga seringkali dirintangi untuk melaksanakan fungsi kreatifnya yang nyata.

Setelah keraguan untuk mengungkapkan diri sementara, masyarakat merasa bahwa dengan cara tertentu mereka akan mengurangi, membuang dan melarutkan keraguan itu. Satire diterima sebagai kiasan bermakna. Kiasan ini diterima namun tidak dipahami. Drama, buku, film, puisi dan plesetan adalah media umum bagi perkembangan itu, meskipun ada sebuah bagian penting yang termasuk dalam bidang-bidang yang lebih akademis. Bagi kebanyakan penghuni pulau, hal ini lebih membebaskan, lebih modern atau lebih progresif dibandingkan cara-cara pemujaan yang lebih tua.

Di sana-sini, seorang calon masih menemui seorang instruktur renang dan menyampaikan penawaran untuk ikut belajar renang. Biasanya penawaran itu berakhir pada pembicaraan khas berikut ini:

“Saya ingin belajar renang.”

“Apakah engkau ingin menawarkan diri untuk itu?”

“Tidak, hanya saja saya harus membawa bekal seberat satu ton.”

“Bekal apa?”

“Makanan yang dibutuhkan di pulau lain.”

“Di sana ada makanan yang lebih baik.”

“Saya tidak mengerti apa yang engkau maksudkan. Saya tidak yakin. Saya harus membawa bekal.”

“Engkau tidak bisa berenang dengan membawa bekal satu ton di punggungmu.”

“Jika demikian saya tidak bisa pergi. Engkau menyebutnya beban. Saya menyebutnya bekal makanan yang sangat penting.”

“Sebagai sebuah kiasan, andaikata kita tidak menyebut ‘bekal makanan’, namun ‘asumsi’ atau ‘gagasan yang merusak’.”

“Saya akan membawa bekal ini kepada instruktur yang memahami kebutuhan saya.”

Buku ini membicarakan tentang beberapa perenang dan pembuat kapal serta beberapa orang yang berusaha mengikuti mereka dan relatif berhasil. Dongeng ini belum berakhir, sebab masih ada masyarakat di pulau itu.

Para Sufi menggunakan berbagai simbol rahasia untuk menyampaikan maksud mereka. Dengan menyusun kembali nama dari masyarakat asal itu — El Ar — maka akan terbaca Real (Sejati). Mungkin Anda telah mengamati bahwa nama yang digunakan oleh kalangan revolusioner itu — Please (Menyenangkan) — jika disusun kembali akan membentuk kata Asleep (Tertidur).

Kisah ini dikutip dari buku “Mahkota Sufi: Menembus Dunia Ekstra Dimensi“, oleh Idries Shah. Penerbit Risalah Gusti, Cetakan Pertama Shafar 1421H, Juni 2000.

Tidak ada komentar: