Halaman

Minggu, 27 November 2011

“ALQURAN: RELASI IMAJINASI, SIMBOL, DAN REALITAS” (Sebuah Pengantar Diskusi)

untuk kegiatan TADARRUS SASTRA
UKM Seni Budaya eSA
dilaksanakan pada
16 Agustus 2011 di Gedung D
Kampus I UIN Alauddin.
Ba'da Tarwih hingga Sahur
Narasumber Insya Allah: ( M. Alwi Rachman, Mohd. Sabri AR, Asdar Muis)

Oleh: Kedip Kecil Kemuning (Hamdan)

Tema ini tidak bermaksud mengajak anda untuk mengatakan bahwa Alquran adalah sebuah kitab sastra, karena memang Alquran memang bukan kitab sastra melainkan kitab bacaan yang jauh melampaui kualita-kualita kitab sastra. Alquran merupakan serangkaian pesan (message) yang memiliki keragaman fungsi yang salah satunya sebagai petunjuk (hudan) untuk kehidupan dunia dan akhirat. Masalah penyampaian pesan bukanlah hal yang mudah semudah jatuhnya benda dari atas ke bawah. Sebuah pesan harus memiliki penyampai pesan (messenger) yang memahami totalitas pesan, dan karenanya sebuah pesan harus memiliki media penyampai pesan (bahasa, symbol, tanda, dll) untuk dapat dipahami. Selanjutnya penyampai pesan dalam melanjutkan pesan setidaknya dapat membuat pesan itu sampai ke penerima pesan dan juga berarti harus dapat menggunakan bahasa yang dapat dipahami oleh penerima pesan. Sebuah pesan tidak hanya soal sampai, tetapi juga mestinya dapat dipahami dengan baik oleh penerima pesan dan selanjutnya teraplikasi sesuai maksud pemilik pesan.

Dalam mekanisme yang rumit inilah Alquran menjadi unik, karena meski diturunkan secara periodic dan sangat singkat dalam jangka waktu 22 tahun 2 bulan 22 hari, dengan kekuatannya dapat mempengaruhi seluruh masyarakat Mekkah-Medinah dan sekitarnya serta mendorong terjadinya transformasi social, politik, budaya, ekonomi, dan sebagainya. Yang menjadi bagian dari kekuatan Alquran adalah kandungan imajinasi, symbol, dan realitas yang terjalin secara sempurna, sehingga pesan ini ketika sampai, ia menjadi semacam program yang terinstal dan bekerja sendiri (automatic) tidak hanya dalam system kesadaran individu tetapi juga dalam system kesadaran sosial saat itu.

Dunia yang sedang kita jalani kini sedang berada dalam sebuah kurun waktu dengan kekuatan yang begitu digdaya memberikan efek luar biasa terhadap seluruh sisi kehidupan umat manusia. Tidak hanya sisi ekonomi, politik, sosial, budaya, tapi juga—bahkan—agama sebagai manifestasi dari isi pesan (message). Agama tidak hanya dipandang sebagai doktrin suci, tapi juga sebagai bagian dari kultur atau budaya ketika doktrin itu diterjemahkan, dipraktikkan, atau diejawantahkan dalam bentuk perilaku dalam kehidupan. Sebagai bagian dari kultur atau budaya, agama kemudian masuk dalam lingkaran perkembangan dan perubahan kultur atau budaya di setiap masanya. Kekuatan yang digdaya ini juga merupakan olahan imajinasi, syimbol, dan realitas.

Imajinasi, menurut Yasraf dalam bukunya “Bayang-bayang Tuhan; Agama dan Imajinasi”, adalah mekanisme atau proses melihat, menggambarkan, atau memvisualisasikan sesuatu. Proses ini berada di dalam struktur mental kita. Imajinasi bukanlah realitas, melainkan sebuah produksi keserupaan mental. Imajinasi dengan demikian adalah sebuah struktur mental bagaimana seseorang menghasilkan konsepsi dan makna dunia yang berdasar pada sudut pandang, perasaan, logika, dan keyakinan tertentu.

Yasraf mengutip Benedict Anderson dalam bukunya, Imagined Communities, yang menjelaskan semacam imajinasi diri sendiri, sebuah imajinasi tentang diri, kelompok, komunitas, masyarakat, agama, negara atau bangsa yang disebutnya komunitas terbayangkan (imagined community). Imajinasi-imajinasi ini secara konkret dimanifestasikan dalam ekspresi verbal, audio, tekstual, dan visual. Terdapat imajinasi tertentu yang diproduksi untuk menantang yang lain dalam rangka mendominasi kesadaran orang-orang dan mendefinisikan realitas sosial, kultural, dan keagamaan.

Einstein pernah berkata; “imajinasi lebih penting dari pengetahuan”. Seolah-olah Einstein hendak memastikan bahwa dalam mencapai sebuah kebenaran, maka imajinasilah yang lebih penting dari rasio. Padahal di sisi lain Einstein adalah seorang ahli yang berhidmat dalam ilmu-ilmu pasti yakni matematika dan fisika. Mark C. Taylor & Esa Sarrineen (Imagologies—Media Philosophy, 1994) kemudian ikut menegaskan bahwa; “Dunia ini tidak punya batas-batas tertentu, dan adalah proses imajinasi yang terus menerus”. Imajinasilah yang dapat menembus batas-batas dunia dan terus berproses tanpa henti. Karena itu imajinasi menjadi factor inti dalam perkembangan pengetahuan, transformasi menuju kebenaran.

Imajinasi yang berada pada ruang subjektif, menjadi motor munculnya idea atau gagasan dan seterusnya hingga melahirkan ilmu pengetahuan yang dalam dunia modern sangat mendewakan rasionalisme empiric dan menolak subjektifitas.

Symbol, secara etimologis berasal dari kata kerja Yunani sumballo (sumballein) (symbolos) yang berarti tanda atau ciri yang memberitahukan sesuatu hal kepada seseorang. Simbol merupakan pengatar pemahaman objek-objek. Memahami suatu hal atau keadaan, adalah tidak sama dengan bereaksi terhadap sesuatu tersebut secara terbuka atau menyadari hadirnya sesuatu tersebut (Susanne Langer, 1976). Dalam membicarakan suatu benda kita mempunyai pemahaman dari benda tersebut, simbol tidak langsung menunjuk pada objek tertentu. Pemahaman inilah yang disebut simbol.

Perbedaan yang mendasar antara tanda dan simbol adalah bahwa tanda itu menerangkan, mengartikan atau memberitahukan objek-objek kepada subjek. Tanda merangsang subjek untuk segera bertindak, sedangkan simbol tidak. Subjek menangkap simbol kemudian mengadakan konsepsi tentang objeknya, symbol memimpin subjek menuju pemahaman objek-objek. Subyect menunjukan objek melalui suatu konsepsi yang berdasar dari simbol.

Realitas adalah objek, gejala atau kenyataan yang terpersepsikan oleh indera. Babbie (1989) pernah mengatakan setidaknya ada dua realitas yang ada di sekitar kita. Yang pertama adalah realitas eksperensial (experiences reality), dan yang kedua adalah realitas penyetujuan (agreement reality). Yang pertama orang mengetahui realitas sebagai akibat dari pengalaman langsung (direct experience) orang tersebut dengan dunianya. Sedangkan yang kedua realitas sebagai akibat dari kabar (information), pesan (message) orang lain yang dia terima, dimana orang lain serta dirinya sendiri turut mendukung (setuju atau membenarkan) adanya realitas dimaksud.

Tokoh lain menjelaskan bahwa realitas mencakup sesuatu yang ada di luar pikiran dan sesuatu yang ada di dalam pikiran. Realitas mencakup apa yang disebut realitas material dan realitas substansial (Sudaryanto; 1995). Dalam hal ini realitas juga mencakup apa yang disebut dengan realitas objektif dan realitas subjektif (Van Peursen; 1990).

Imajinasi dengan kemampuan jangkauannya yang begitu jauh, dapat menciptakan sebuah realitas beserta simbol sebagai media komunikasi atau interaksi yang berlangsung dalam realitas tersebut. Semaju dan secanggih apapun sains dan teknologi, ia tetap saja didasari oleh imajinasi dan dikonstrusi melalui symbol-simbol. Sebagai contoh sederhana, tekhnologi digital, meski bekerja dengan cara yang begitu matematis dan terukur, tetapi ide, konsep, tetap saja diawali dengan liarnya imajinasi sang penemu system digital. Teknologi digital paling nampak dikonstruksi dengan symbol-simbol yang berbeda dengan bahasa kita misalnya dalam menginstruksikan sesuatu.

Mungkin sudah saatnya kita menimbang ulang modernism yang membuang jauh-jauh imajinasi, untuk kemudian berimajinasi tentang dunia baru.

Selamat berdiskusi, semoga ramadhan lebih membuka kemampuan imajinasi kita untuk menemukan lebih banyak hal yang masih tersembunyi.

makassar, 11 agustus 2011

Tidak ada komentar: