Halaman

Minggu, 26 Juni 2011

Ahmadiyah, NII dan Candoleng-doleng

Oleh: Hamdan

Akhir Mei 2011 lalu saya berada di sebuah pelosok kampung untuk beberapa waktu. Saat jumatan, sebelum azan dikumandangkan, Kades sebagai aparat dan tentunya mewakili Negara, menyampaikan pengumuman dari pemerintah kepada seluruh warga khususnya umat Islam untuk mewaspadai dua hal yang mengancam stabilitas kehidupan sosial warga, yakni: (1) tentang hadirnya aliran sesat Ahmadiyah yang mengajarkan adanya nabi setelah Muhammad saw, dan (2) hadirnya Negara Islam Indonesia (NII) yang menginginkan berdirinya Negara Islam secara terpisah dari Negara Kesatuan RI. Kedua hal di atas memfokuskan sasaran penyebaran misinya pada generasi muda. Karenanya jika warga menemukan hal-hal yang mencurigakan, kiranya segera melaporkan ke pemerintah setempat.

Sekitar sepuluh hari kemudian, masih di kampong yang sama, saya terjaga saat dini hari pukul 01.30-an karena merasa lapar. Soalnya kemudian bukan soal terjaga, tetapi tak bias tidur setelah perut sudah terisi. Yang menganggu adalah dentuman musik candoleng-doleng (mirip striptease alias tari telanjang) yang masih mengguncang kampung di malam selarut itu dalam radius + 2 km. Candoleng-doleng adalah sejenis hiburan warga pelosok kampung yang terdiri dari iringan musik disco atau House Music dan tari atau joged artis wanita yang nyaris bugil. Jadi bukan musiknya yang menarik, tetapi penarinya. Kekuatan daya tarik hiburan ini cukup kuat karena mampu menarik penonton dari usia kanak-kanak hingga usia lanjut, serta lapisan stratifikasi sosial; guru, pemuda, haji-haji, dan lain-lain, dalam dominasi laki-laki. Biasanya pada barisan terdekat dari artis adalah golongan anak usia 5-10 tahun.

Lantas saya berpikir; kenapa candoleng-doleng tidak seperti Ahmadiyah dan NII, diperintahkan untuk diumumkan di masjid-masjid sebagai hal yang perlu diwaspadai oleh seluruh rakyat Indonesia karena juga menyerang generasi muda bahkan anak-anak di bawah umur?

***

Kedua hal di atas (Ahmadiyah-NII dan Candoleng-doleng) nampaknya menarik melihatnya sebagai fenomena, hal yang tampak atau ternampakkan tetapi ia bukan yang sebenarnya. Sebagai fenomena, ia juga harus dipersepsi dengan pendekatan fenomenologi yang dalam tradisi filsafat secara terminology diartikan sebagai ilmu (logos) yang mempelajari tentang apa yang tampak atau yang menampakkan diri. Fenomenology berasal dari bahasa Yunani phainomenon, dari phainesthai/phainomai/phainein yang artinya menampakkan atau memperlihatkan. Dalam bahasa Indonesia biasa digunakan istilah gejala, yakni suatu hal yang tak nyata dan semu, kebalikan dari kenyataan, juga dapat diartikan sebagai ungkapan yang dapat diamati lewat panca indera.

Sebagai fenomena, tentu Ahmadiyah dan NII hanya penampakan sesuatu yang bukan sesungguhnya tidak nyata, dari luar tampak sebagai sebuah organisasi yang memiliki tujuan tertantu. Tetapi apakah yang ada di balik tujuan yang tampak itu? Dibalik kemunculannya mengandung harapan yang melatari pikiran dan perasaan bagi orang-orang yang melingkupinya. Warga Ahmadiyah tentunya memiliki harapan akan keselamatan hidup dunia dan akhirat ketika mereka mengikuti keyakinan Ahmadiyah. Merindukan sosok pimpnan agama sekaligus pimpinan kultural yang dapat menjadi panutan setiap orang. Karena itu Ahmadiyah tidak mencampuri urusan politik. Ahmadiyah tidak memerlukan pimpinan politik, melainkan pimpinan cultural atau religious yang dapat di percaya menjadi teladan moral sekaligus sebagai guru secara turun temurun. Fungsi ini yang diperankan oleh para nabi dahulu, dan karenanya mereka tampak meyakini masih ada nabi yang akan dating setelah Muhammad.

Adakah harapan di balik keinginan orang-orang NII mendirikan Negara Islam yang sudah pasti beresiko besar melawan Negara? NII memiliki harapan yang kurang lebih sama, bedanya NII menegaskan penampakannya pada kepemimpinan structural. Di balik cita-cita pembentukan Negara Islam sebenarnya terkandung harapan tantang sebuah Negara yang bernama Indonesia ini mengalami kesejahteraan dan kemakmuran. Cita-cita ini juga dibarengi dengan harapan bahwa Indonesia ini memiliki pemimpin yang adil, tidak korup, tidak foya-foya di tengah penderitaan kemiskinan dan kemelaratan rakyatnya, dan sebagaainya.

Pertanyaannya kemudian, mengapa mereka mencari jalannya sendiri untuk mencapai harapan yang sebenarnya sama dengan harapan seluruh rakyat Indonesia? Karena mereka tidak mendapatkan sesuatu yang menunjukka adanya kesungguhan pemimpin dan sebagian rakyat untuk mencapai cita-cita yang sama itu yakni keadilan, kemakmuran, kesejahteraan dan keberadaban. Inilah yang menjadi permasalahan sosial yang sebenarnya.

Apakah sekarang ini kita memiliki pemimpin agama (Islam khususnya) yang dapat menjadi teladan dan dihargai semua orang? Apakah kita memiliki ulama yang mungkin tidak perlu terlalu cerdas, tetapi memiliki kebijaksanaan dan memberikan kesejukan bagi seluruh umat beragama dan bahkan bagi yang tidak beragama sekali pun? Apakah kini kita memiliki pemimpin pemerintahan yang dapat dipercaya? Apakah system politik yang dikembangkan dapat memenuhi kebutuhan akan rasa keadilan, pemimpin tanpa diskriminasi dan korupsi, yang memunkinkan dapat membawa pada kesejahteraan dan kemakmuran, serta beradab? Kenyataannya tidak! Kita tidak sedang menuju ke sana, ke cita-cita bersama itu.

Mari kita menyimak fenomena candoleng-doleng yang marak di kota Sidrap dan Pinrang bahkan mulai merambah ke kota-kota lain di Sulsel. Candoleng-doleng merupakan suguhan hiburan music dan tari dalam acara hajatan warga, utamanya dalam acara pengantinan. Ia mirip dengan striptease, penari-penarinya nyaris telanjang di hadapan penonton hajatan, ada yang ikut berjoget duel, penonton dapat memilih tempat pada bagian tubuh yang mana sawerannya di simpan, di balik celana dalam atau di balik bra jika penarinya masih menggunakan bra. Hebatnya candoleng-doleng dapat menarik perhtian penonton dari segala lapisan usia dan lapisan stratifikasi. Penonton paling dekat (1-2 meter) adalah anak-anak usia 5-10 tahunan dan yang menggunakan hiburan tersebut juga oleh para haji yang telah menyempurnakan rukun Islamnya.

Candoleng-doleng juga fenomena, ia hanya penampakan permukaan. Di balik fenomena ini tentunya juga terkandung harapan akan kesejahteraan, ketercukupan ekonomi dalam hidup sehari-hari. Namun ia pada waktu yang sama menyembunyikan kemelaratan lahir batin. Fenomena candoleng-doleng secara etis dalam Negara yang mengaku religi, merepresentasikan prilaku negative. Dalam konteks ini sebenarnya candoleng-doleng tidak beda dengan tindak korupsi, mafia hukum, kolusi, nepotisme, dan yang serupa sebagai prilaku negative.

Selain itu sebagai fenomena, candoleng-doleng selalu menyembunyikan dua hal yang berlawanan dalam waktu bersamaan. Candoleng-doleng menyembunyikan ketidak-berdayaan konsumen menghadapi arus komoditi selera dan produksi selera, arus komoditi seks dan produksi seks serta, arus komoditi hiburan dan produksi hiburan. Secara bersamaan candoleng-doleng juga menyembunyikan tepuk tangan keberhasilan produsen menguasai dua relasi besarnya yakni; Negara dan rakyat dengan menempatkannya sebagai konsumen.

***

Ahmadiyah dan NII adalah sebuah fenomena yang tempak dipermukaan. Tetapi jauh ke dalam terkandung sikap kritis yang positif terhadap Negara, bahwa Negara sedang “sekarat” dan harus segera dibenahi. Kita tidak boleh mengantarkan alias membiarkan Negara ini menjadi “mati”. Negara ini kehilangan kemampuan untuk dapat dipercaya melindungi seluruh lapisan social. Sementara di sisi lain; gejolak candoleng-doleng, korupsi, lemahnya hukum, foya-foya pejabat, dan serupanya, juga adalah fenomena yang tampak dipermukaan. Tetapi yang di dalamnya terkandung suatu hal yang sangat negative bagi Negara. Bahwa Negara sedang tidak berdaya mengurus dirinya dan rakyatnya sendiri.

Kedua arus fenomena di atas nampak sangat berlawanan. Kondisi ini justru lebih mudah dikelola, mengemasnya dari suatu fenomena sosial menjadi problem sosial. Ketika fenomena sosial menjadi problem sosial, maka upaya penyelesaiannya jelas tidak akan pernah tuntas. Ibarat hendak menyembuhkan penyakit, tetapi yang diberi obat adalah gejala dari penyakit itu, dan tentu saja penyakitnya tidak dapat sembuh.
Candoleng-doleng, mafia, korupsi, Ahmadiyah, NII dan sebagainya, tidak akan pernah berhenti jika semua kita memandangnya keliru dan tentunnya juga menyikapinya keliru. Ketidak cermatan masyarakat untuk membedakan fenomena sosial dengan masalah sosial dapat mencipta peluang bagi sekelompok orang yang tidak bertangung jawab untuk memperkeruh dengan lebih mempertajam dan mengarahkannya menjadi beberapa subordinasi persoalan misalnya sebut saja konflik agama, konflik kelompok atau etnis.

Jadilah penciptaan opini atau wacana radikalisme yang hanya menyoroti dengan sangat sinisnya kepada agama dan itu Islam. Lantas kenapa kita tidak menyoroti radikalisme seks, radikalisme korupsi, radikalisme politik, radikalisme industry, dan beragam radikalisme? Kita seolah diarahkan bahwa hanya mereka yang ingin menjalankan agamanya dengan baik yang boleh marah dengan ragam radikalisme bathil yang dibiarkan itu, yang lain kalau pun marah cukup dengan diam atau resah di hati. Jadilah radikalisme agama menjadi musuh bersama.

Luar biasa … fenomena ini ditampakkan sedemikian rupa pada titik ektrim paling luar hingga kita tak dapat melihat dan kembali ke dalam dimana persoalan yang sesungguhnya bersemayam.

Pinrang, 06 Juni 2011

Tidak ada komentar: