Halaman

Jumat, 12 November 2010

kuntum sepatu dea

cerpen hamdan

Rerimbun pinus yang biasanya mengalunkan seruling malaikat bila tertiup angin, saat itu diam tak bergerak meskipun tetap saja memancarkan hijau bersama aneka pohonan yang tertata indah memenuhi sepanjang sisi bukit kota. Tak berapa lama, kawanan kabut berlari dari puncak Bawakaraeng dan Lompobattang, turun menyelimuti seluruh kota, bukitan dan rerimbun pohonan. Sekejap. Lalu kota itu berada di atas awan. Kota suatu masa, dimana waktu berjalan tanpa siang, petang dan malam. Hanya ada subuh. Ya, mentari dan rembulan juga terdiam padam. Sore menyubuh di bawah teras sebuah penginapan.

Aku pun ikut diam, duduk memandangi hijau rimbunan pohon ketika orang-orang di sekitarku ramai membincang masalah-masalah mereka dengan santai. Masalah yang tak pernah tuntas; tentang Tuhan. Sesekali aku menjawab bila mereka bertanya, atau tertawa mendengar cerita mereka dan akhirnya aku sama sekali tak menghiraukan semuanya. Aku memilih masuk dalam keheningan selimut kabut, bermain diam bersama pinus, damar, alvokat, mawar, dan terutama bermain cukup lama dengan Sepatu Dea.
Aku yakin saat itu malaikat penjaga keindahan sengaja menabur kabut dingin untuk kami dan dalam keindahan itu aku dapat bersama Sepatu Dea. Bersama dalam maqam, sebuah ruang persinggahan para sufi dalam tamasya spritual mencapai puncak suci.
Bertemu Sepatu Dea bukan pertama kali. Tetapi kali ini batinku merasakan hal yang sangat berbeda. Aku tiba-tiba terpikat jatuh kepada keindahan kuntum yang memancarkan merah jingga dalam tasbih kabut dan hijau dedaun. Hari itu keindahannya tak biasa, ia terpancar menembus ke kedalaman jiwa, hadir ke dasar sukma, tempat dimana Tuhan meniupkan kesucian estetik pada setiap makhluk.

Sambil mengirim senyum, tatapanku semakin dalam padanya. Ia semakin memerahkan jingganya atau sebaliknya menjinggakan merahnya. Justru dengan permainan itu ia semakin anggun. Namun aku masih yakin pula bahwa ia adalah Sepatu Dea yang kukenal sejak berapa waktu lalu. Aku masih dapat menandai gaun rumah yang sering ia kenakan.
Ia semakin anggun dan cantik. Daunnya adalah rambut yang basah tergurai ikal mengkilap. Kuntumnya adalah wajah lembut tersapu dingin. Kabut basah lalu bersenyawa dengan aroma tubuhnya dalam semerbak basmalah. Aku harus mengatur nafas untuk menghirupnya dengan baik. Merah jingganya merona menjadi kedipan tahmid tanpa henti yang memancarkan kilauan kasih sayang. Alisnya yang tebal bersambung adalah lukisan camar yang tak pernah lelah dan kalah melintas sepi kembara di atas samudera.

Tentu saja semakin tak ingin aku meninggalkan maqam itu. Ruang yang membuatku tiba-tiba berada dalam pelukan rahim ibu. Aku dan Sepatu Dea saling bercerita dengan bahasa yang tak pernah ada sepanjang sejarah kebudayaan manusia. Bahkan kami saling memahami melebihi makna yang dapat terungkap dari kekayaan bahasa peradaban manusia. Aku menyelam ke dasar samudera jiwanya dan dia menyelam ke dasar samudera jiwaku. Kami menjadi samudera itu, dan samudera itu menjadi kami. Samudera diam tanpa kebisuan. Diam bercerita tentang perahu nelayan yang berayun lambai dalam buaian ombak, didayangi tarian dan komposisi kicau camar.

Kami tetap bermain. Ia berlari bersembunyi di balik kabut yang terlalu tipis menutupi merah jingganya, terlalu lemah menghalau semerbak aromanya. Ia masih sembunyi. Aku berpura-pura tak melihatnya karena ia pun berpura-pura sembunyi. Padahal aku ingin segera menemukannya dan mendapat kesempatan menatap wajah, mata dan alisnya. Dia pun ingin segera aku temukan, mengagetkannya dari belakang, agar aku berlari lagi dan dia balik mengejarku menyusuri punggung bukit. Dia masih seolah sembunyi, aku masih berpura mencari. Aku sembunyi dan dia balik mencari. Aku mengagetkannya dari balik damar saat dia pun segera mengagetkanku. Dan terjadilah keinginan itu, kami sama kaget dan tertawa.

Lelah bermain, di sebelah bunga mawar kami duduk berbincang tentang apa saja. Mawar yang merah tapi pohonnya berduri. Aku bertanya padanya, mengapa kelembutan mawar merekah di atas pohon berduri?

“Apa masalahnya? Nda boleh?” Tanyanya balik.

“Hmm … tidak, tidak, kebetulan aku sedang larut dalam kelembutan Sepatu Dea tanpa duri”, jawabku polos.

Sambil mencium kembang mawar, ia menyangkalku. “Ya, mungkin kau selalu memikirkan surga yang beda dan terpisah dari neraka. Lalu mawar yang juga berduri jadi masalah bagimu. Cobalah membayangkan surga dan neraka sebagai bagian yang tak terpisahkan. Seperti surga mawar ini, untuk mencapainya harus melalui batang, cabang hingga ranting yang bertabur duri nerakanya. Mawar dan duri adalah keseimbangan. Menyatu, tapi bukan bercampur saling menjadi. Dan, meski tajam, duri tak pernah dengan sengaja menusuk atau melukai sesuatu, melainkan sesuatulah yang menusukkan dirinya ke duri. ”

Kabut masih enggan beranjak dan matanya semakin bening. Dea tak hanya anggun tapi juga pandai. Kepandaiannya mengalir jauh mencapai batas-batas pengetahuan, menyusuri sungai-sungai hakekat dan telaga makrifat. Ia menanyakan padaku mengapa datang lagi ke kota ini. Aku adalah kerinduan angin, jawabku. Bahwa angin tak pernah merancang datang dan pergi, ia hanya memahami kehadiran. Angin adalah kembara rindu yang hadir menghembus di setiap ruang dan waktu. Kini bersamamu, aku adalah angin senja semerbak Sepatu Dea. Akan kusimpan semerbak itu dan dengan izinmu akan kutabur bening mata dan semerbakmu pada titik-titik embun.

Kami berbincang bayak hal. Kepandaian ia bercerita membuatku merasa bodoh di hadapannya tetapi juga ingin terus bersama. Aku berharap semoga ia bukan surga yang dikirimkan kepadaku, sebab sebentar lagi kami akan berpisah keluar dari maqam itu. Dia akan mejalani hidupnya dan aku akan menjalani hidupku seperti biasa.

Senja berlalu tanpa menampakkan kemilau jingga di taman kabut itu. Kami melintas kota di atas awan tanpa keluh kesah walau nafas sedikit tergesa setelah bermain mengitar. Kini kami tak lagi ragu dengan jarak ruang dan jarak waktu. Kami telah mewaktu kemudian bersenyawa menjadi kerinduan. Ya, kerinduan bukanlan badai yang dapat meluluh lantahkan kami, karena kerinduan yang membatin adalah cakrawala kembara yang menyatukan bahagia dan sedih. Kerinduan adalah mushaf tafakur yang menegaskan keseimbangan.

Makassar, 1 juni 2010