Halaman

Rabu, 14 Juli 2010

kupu-kupu di kebun

cerpen hamdan

Hatiku benar-benar jatuh tak berdaya, terpikat pada kupu-kupu sejak pertama kali melihat seekor di kebunku. Aku tidak membenci kupu-kupu, bahkan sering melihatnya di banyak tempat. Tapi lain dengan yang satu ini. Ia begitu saja mengalir dengan cepatnya menembus lorong-lorong saraf, menampik akal sehat, melewatinya dan langsung memenuhi ruang batinku. Kedatangan yang tiba-tiba itu tentu saja mendebarkan hati dengan sangat kencang. Aku seperti mendapat serangan pasukan Archilles yang keluar dari Kuda Troy setelah menyelinap masuk ke istana. Lalu perlahan pula ia mengalir ke ruang imajinasiku, memenuhinya dan bahkan membungkusnya dengan beludru sayapnya. Ah… getaran itu, detaknya semakin kencang. Lebih kencang dari serangan sinar matahari terhadap subuh. Apa yang telah terjadi? Aku tak pernah berhasil setiap kali mencoba menyusun kata untuk menjelaskan.

Waktu itu aku sedang di rumah, tepatnya di belakang kamarku menikmati pagi yang menyisahkan kesejukan hujan yang datang semalam. Sesekali tetesan air masih mengilau jatuh dari atap dan pohon. Secangkir teh panas dan beberapa potong ubi jalar goreng cukup menghangatkan tubuh untuk mengimbangi hembusan angin yang kadang menebarkan dingin meski perlahan. Juga sebuah buku kecil yang kubeli sepuluh tahun lalu; "makrifat daun daun makrifat" ditulis Mas Kunto.

Aku senang dengan tulisan-tulisan Mas Kunto. Bukan hanya senang, lebih dari itu ia menjadi teman dialog yang sangat memahami jalan pikiran dan batinku, walaupun aku seringkali kesulitan menjangkau kedalaman seluruh isi pesannya. Setahun yang lalu aku juga membeli tulisannya; “Tuhan dan Masalah yang Belum Selesai”, kalau tidak salah begitu judulnya. Ia seperti membawaku mengelilingi dunia sebagai dunia tanpa batas geografis dan negara.

Di belakang kamar, aku membuat teras dengan bale-bale kecil dari bambu di dalamnya sebagai tempat tamasya imajiner dan spiritual. Setiap hari aku berkesempatan di teras itu. Kadang juga hanya ingin memandang keluar dari jendela tanpa harus ke teras. Jadi kubiarkan saja jendela tetap menjadi jendela, meskipun ia kujadikan jalur keluar masuk kamar-teras. Di luarnya aku membuat kebun mungil untuk menanam pohonan apa saja yang memungkinkan tumbuh di tanahnya, termasuk ubi jalar santapanku. Juga beberapa jenis bunga yang memiliki kembang. Kini semuanya tumbuh rindang dan menjadi rumah bagi sejumlah binatang.

Aku sedang asyik membaca "daun makrifat", kumpulan sajak Mas Kunto. Agak lama bacaannya karena di setiap bait mesti diulang-ulang untuk menangkap maknanya. Pada satu bagian aku mengulangnya lebih lama;

"Dari segala yang terbang kupu-kupu ialah yang kuning dirahmati beludru. Kadang-kadang ia melepas sayap. Karena bunga-bunga seperti kebijaksanaan gugur bersama angin, hanya yang bersayap sanggup menangkap. Dan engkau."

Terus aku mengulang dan merenungi syair itu. Segala yang terbang, kupu-kupu, kuning, beludru, sayap, bunga-bunga, kebijaksanaan, angin, menangkap, engkau. Belum ada yang dapat kupahami dengan baik. Perhatianku beralih saat seekor kupu-kupu menyambar wajahku terbang mengitari teras, ke bunga-bunga dan kebun. Ia hinggap di kembang teratai macan yang pohonnya menempel di batang jambu. Ia memperlihatkan keindahan corak sayapnya, laksana warna-warni beludru tertuang ke dalam kain selendang yang sedang dipakai para penari Akarena. Terbang lagi, mengitar, lalu hinggap di ujung bambu bale-bale.

Semakin dekat dariku, semakin aku diam menatapnya penuh hikmad. Kulemparkan senyum lembut. Ia mengepakkan pula sayapnya lembut, tiga kali. Oh, mungkin ia membalas senyumku. Kujulurkan tangan perlahan, sangat perlahan. Tenang kudekatkan kelima jariku yang terbuka. Ia mengepakkan sayapnya sekali, dan memutar arah menghadap ke jemariku yang berhenti sangat dekat darinya. Aku dan dia sama terdiam. Lalu dua kaki depannya menyentuh ujung jari manisku. Oh, dia menjabat tanganku. Aku menahan nafasku menghindari sedikitpun gerakan. Sayang jika perkenalan itu terganggu dan membuatnya pergi. Saat itulah aku merasakan arus mengalir kuat dan kencang. Debarku juga semakin kencang. Tapi sampai kapan aku dapat menahan nafas?

Kupu-kupu itu telah terbang ke kebun, hinggap ke kembang labu, kembang gambas, lalu menghilang di balik rimbunan tumbuhan. Sedikit penasaran, aku ke kebun mencarinya. Tapi ia benar-benar telah pergi. Baru kali itu ada kupu-kupu yang datang ke kebun. Ah, mungkin aku yang baru melihatnya. Soal kupu-kupu datang ke kebun itu hal biasa. Mungkin halaman rumah para tetangga juga sesekali di datangi kupu-kupu. Tetapi yang luar biasa bagiku adalah si kupu-kupu itu, aku sangat yakin dia berkomunikasi denganku; menerima dan membalas senyumku, uluran tanganku, menjabat jemariku, dan ia menembus ke dalam jiwaku.

Aku jadi teringat dengan hud-hud, seekor burung cerdas dan kreatif di masa Nabi Sulaiman yang mampu berkomunikasi dengan berbagai jenis binatang. Kemampuan hud-hud terbang mengembara kemana-mana, menjadikan ia memiliki pengalaman yang luas. Dan dengan kecerdasan serta pengalamannya itu, Ratu Balqis yang cantik lagi kaya raya takluk mengikuti ajaran Sulaiman untuk mengimani Tuhan. Jelas aku bukan Sulaiman dan tentunya kupu-kupu itu juga bukan hud-hud. Tapi kupu-kupu itu dapat menjadi hud-hud bagiku, tanpa harus menjadikanku Sulaiman baginya.

Sejak saat itu aku selalu memikirkannya. Tidak hanya dia, tetapi kedatangannya. Di hari-hari berikutnya ia selalu datang mengunjungi kebun, masuk ke teras, bahkan sesekali ia tidur di bawah atap teras. Juga beberapa kali dia membangunkan aku saat tidur di teras. Ia hinggap dan menyapu-nyapukan kakinya di atas hidungku. Sapuannya yang lembut membuat aku terbangun. Kubuka mata perlahan dan melihatnya sedang menyapu kulit hidung. Aku tak bergerak seolah belum sadar agar dapat menatapnya dekat. Tapi aku tak sudi membohonginya atau mensiasati keadaan demi dekat dekannya. Apalagi dengan jarak seperti itu, kedua bola mataku harus juling mengarah ke tengah-bawah. Maka segera aku menggerakkan kaki sebagai bahasa bangunku padanya dan ia terbang.

Aku juga tak ingin menangkap lalu memeliharanya sebagai milikku. Aku benci dengan logika pemilikan, karena dengan logika itu setiap pikiran, sikap, dan tindakan, seringkali berlangsung atas dasar kekuasaan. Aku berkuasa atasnya karena aku miliknya atau kerana ia memilikiku. Bahkan kasih sayang yang “dimiliki”, juga akan diberikan atas dasar kekuasaan. Aku benci logika itu. Aku tak ingin memiliki kasih dan sayang. Aku hanya ingin kasih sayang itu tumbuh dalam jiwaku sebagai kebun di depan teras dan semua boleh menikmati minimal memandang dan menangkap keindahannya.

Karena itu pula aku tak mau mencintainya. Aku tak pernah percaya pada cinta, melainkan hanya percaya pada hati. Cinta hanya mencuri dan mengumpulkan rasa dari hati, dari tempat aslinya. Cinta lalu memiliki segala rasa rampasan itu termasuk rasa kasih dan sayang, dan membuat jiwa mabuk meninggalkan kesadaran. Cinta menjadi kuasa atas jiwa, dan memberi segala rasanya pada jiwa atas dasar kekuasaan. Begitulah orang percaya bila cinta itu berjuta rasa, mengalahkan segalanya, buta, indah, dan seterusnya.

Tak lama dari hari itu, kupu-kupu menjadi bab baru dalam kitab suci hidupku. Aku menamakannya bab kasih sayang. Ya, kedua sayapnya yang menyatukan warna-warni dan kelembutan adalah kasih sayang. Kasih sayanglah yang membuatnya terbang layaknya hud-hud. Kasih sayang adalah apa yang disebut para sufi sebagai fadhilah yang berarti keutamaan. Hanya dari kedua sifat itu dapat tumbuh sifat-sifat mulia yang lain. Basmalah adalah kupu-kupu yang terbang dengan kedua sayapnya mengelilingi semesta, hinggap ke bintang-bintang, bulan, awan, bumi, kebun dan teras. Kasih sayang tidak untuk di miliki, tetapi untuk ditabur dan tumbuh dimana saja.

Kupu-kupu, maafkan jika aku belum sepenuhnya mencapai kuntum-kuntum kebijaksanaan dalam kebun. Aku masih belajar menggunakan sayap kelembutanmu untuk mendatangi seribu kebun, berlatih hinggap dengan tenang di atas kembang tanpa menggugurkan setitikpun serbuk sarinya, berlatih tidur di balik daun tanpa menambah bebannya, belajar memaknai sepi menjadi indah. Masih banyak yang harus aku baca dari setiap lembar kepakanmu.

Kini aku tak pernah menanti kupu-kupu, karena ia telah bersemayam dan terbang dengan kedua sayapnya mengitari cakrawala jiwaku. Walaupun kadang-kadang aku merindukannya hinggap di atas hidungku, bukan untuk membangunkan melainkan menciumku.

Makassar, 13 Desember 2009

tantang kerbau itu

cerpen hamdan









Masih sangat pagi. Bahkan burung-burung baru satu dua kali mengicau. Tapi pak Soboyo sudah teriak meraung. Wajahnya sekejap memerah dialiri air mata. Suaranya pun seolah memecah sejuk-sepi dusun, menggetarkan rumahnya yang telah miring dimakan waktu. Di tiang pintu kandang, ia tersandar duduk tak berdaya. Tanah becek oleh kotoran kerbau menyelup pantatnya. Tatapan kosong menerawang. Setelah cukup lama, raungan itu melemah sebagai suara tangis biasa. Ia baru saja mengetahui bila dua ekor kerbaunya lenyap dari kandang di belakang rumah.

Warga sekitar terbangun dan berdatangan menuju kandang. Beberapa orang berusaha mengangkat pak Soboyo, tetapi ia seperti terikat erat di tiang. Seorang yang lain berusaha membujuk menyabarkan hatinya. Ia tak bergerak sedikit pun. Hanya tangis yang terus terdengar. Beberapa yang lain mencoba mengikuti jejak kerbau. Agak sulit menandai bekas kuku kerbau karena jalan berbatu dan berumput. Apalagi semalam hujan cukup deras. Sedikit petunjuk mengarah ke jalan, menuju Barat dan berhenti di gundukan kerikil tertutup ditumbuhi rumputan.

Setelah beberapa lama berkumpul, berceritra, berspekulasi tentang pencurian kerbau pak Soboyo, satu persatu warga dusun pulang memeriksa binatang ternaknya.

Dusun Butan, oleh pemerintah tergolong miskin, umumnya warga adalah buruh tani. Tanah dan lahan adalah milik sejumlah pejabat berduit. Warga diizinkan tinggal dan membangun rumah serta mengolah lahan sawah dan kebun, tetapi tidak untuk dimiliki. Yang tak mendapat cukup lahan garapan, mereka berusaha menambah kerjaan lain dengan memelihara satu dua ekor kerbau, kuda atau sapi sebagai alat transportasi sewaan, terutama ketika masa panen tiba.

Di daerah lain, kehilangan kerbau mungkin tidak begitu sakit rasanya. Namun bagi pak Soboyo, kerbau itu adalah harta satu-satunya yang paling berharga, karena ia tak memiliki tanah sejengkal pun dan rumahnya tinggal menunggu waktu kerobohannnya. Juga bukan harga kerbau perekor yang ia sedihkan, tetapi sebagai petani penggarap sawah, dua ekor kerbau itulah yang ia andalkan untuk memperoleh penghasilan membiayai anak satu-satunya. Ia bahkan telah rencana menjual seekor untuk biaya penyelesaian program sarjana anaknya.

Istrinya telah meninggal setahun lalu terserang penyakit yang mereka sendiri tidak pahami. Hampir semua kaum ibu yang mati disebabkan oleh penyakit serupa. Ada yang bilang penyakit seperti itu turunan perempuan, ada juga yang bilang penyakit menular pada perempuan dewasa. Bahkan yang paling ekstrim berpikir bila itu penyakit kutukan bagi perempuan. Padahal istrinya sangat rajin bersamanya mengurus kebun Tuan Badar. Demikian juga almarhumah yang lain di dusun itu.

Semakin jauh mata menerawang, makin sedih lagi hati pak Soboyo. Ia merasa seperti masuk jebakan penipuan dari kampanye pemerintah saat suksesi lalu bahwa pendidikan itu investasi yang harus di bayar mahal dan kami berjanji jika terpilih nanti akan menggratiskan pendidikan dan kesehatan. Tetapi ia juga membayangkan setelah kerbau hilang, anaknya masih akan menganggur entah sampai kapan dalam sulitnya mendapat kerja yang lebih baik dari apa yang ia kerja sekarang. Pendidikan dan pekerjaan, seperti jalan panjang berbatu di desanya yang membentang dua arah, ke Barat dan Timur, sulit terbayangkan ketemunya di mana.

Semakin menerawang semakin sedih. Ingin mengeluh ke pemerintah, tetapi pemerintahan juga telah menjadi dunia pencurian besar-besaran. Mereka saling menuduh maling dengan senyum tanpa malu. Pak Soboyo menjadi tidak yakin jika yang mengambil kerbaunya adalah para penganggur yang terdesak kemiskinan. Jangan-jangan para koruptor yang kehilangan garapan korupnya terhadap kekayaan Negara, lalu mencuri langsung milik rakyat sebelum beralih ke tangan Negara dengan cara bermitra bersama para penganggur itu.

Pak Soboyo makin jauh menerawang. Ia masih duduk. Sarung yang ia kenakan seluruhnya telah basah oleh becek kandang. Kesedihannya liar kemana-mana. Ia tak pernah yakin bahwa nasib miskinnya adalah pemberian tuhan, tetapi dari keserakahan. Sebagai seorang mantan prajurit, dulu ia pernah tinggal di pinggiran kota, hingga melewati masa pensiun dan akhirnya tanah serta rumah yang ditinggali puluhan tahun digusur oleh Negara. Dengan kecewa, ia memutuskan segala hubungan sejarahnya terhadap Negara. Ia benci Negara yang tidak mengenal warganya, bahkan warga dimiskinkan dan mengemis pada Negaranya sendiri. Dengan modal seadanya ia ikut tinggal di dusun itu, menjadi buruh tani, dan kini kerbaunya dicuri.

Semakin sedih karena ia merasa menderita di negeri sendiri. Negara tak pernah mengenal ia sebagai warganya. Beberapa waktu lalu ia mendengar cerita tentang rakyat yang turun ke jalan membawa kerbau dengan aneka warna dan tulisan. Negara bereaksi dan mengartikan kerbau sebagai makhluk gemuk serta pemalas, dan artinya juga miskin. Padahal sejak awal kerbau dan sapi sangat menentukan perkembangan pertanian hingga Negara tak perlu lagi mengimpor pangan. Jasa kerbau sudah terlupakan oleh mesin traktor. Lalu dengan kelupaannya dengan kerbau, Negara tersinggung pada mereka yang menarik kerbau di jalan.

***

Siang itu, Amat sedang membaca buku “Great Disruption” yang di tulis Fukuyama, sambil menikmati lagu-lagu; Come Back to Sorronto, Besame Mucho, Africa Bamba, Quizas, Corazon Espinado, Guajira, Historia de un Amor, dan lain-lain. Amat juga melirik nguping berita siang di televisi. Perampokan, pelacuran, pembunuhan, pencurian, bunuh diri, korupsi, perceraian, pernikahan, pelecehan seks. Hampir seluruh berita selalu terkait dengan pembodohan, kemiskinan, ketidakberdayaan, dan ketamakan. Video porno pejabat bersama pelacur cantik yang juga siswi SMU beredar melalui ponsel. Seorang lelaki gila sedang diikat dalam kamar rumahnya karena selalu mencari parang untuk mengiris lehernya sendiri. Seorang lagi artis cerai setelah belum berapa lama mereka merayakan pernikahannya ke luar negeri. Anak bawah umur dicabuli temannya sendiri.

Berita itu seperti menjelaskan dengan baik isi buku bacaannya. Si Amat tertarik dengan lelaki gila tadi. Ia mencari channel lain untuk mencari berita itu. Ketemu. Sejenak menyimak duduk perkara, lalu ia tergesa keluar mengunci kamarnya dan pergi dengan wajah panas pucat. Lelaki gila itu adalah bapaknya.

Lima jam perjalanan mobil angkutan antar kota. Di depan rumah orang berkumpul, dan di pinggir jalan melambai kain putih. Seketika ia kehilangan kekuatan, dunia menjadi gelap dan berputar kencang. Dua orang membantunya berdiri dan melangkah mencapai rumah.

Amat Soboyo kini kehilangan segalanya. Tinggal semangat hidup yang dimiliki. Dengan semangat yang terisisa, ia coba mencari tau kepada warga, siapa yang pernah menyewa kerbau bapaknya sebulan terakhir. Warga menjelaskan yang mereka tau. Pak Bangun, Pak Usdi, dan seorang dari luar desa. Mereka melihat kerbau itu diangkut truk. Amat mencari tau ke desa tersebut. Katanya kerbau bapaknya dipakai demonstrasi tani yang turun ke jalan kota sebulan lebih yang lalu.

Makassar, 11 Februari 2010.

ikan asin ayah

cerpen hamdan

Angin yang datang pagi itu terasa cukup dingin meskipun hembusannya tidak terlalu kencang. Dari arah laut, ia telah melewati dua-tiga bukit yang dipenuhi rimbun ragam pohonan, hingga hembusannya telah melemah ketika masuk ke jendela kamarku, jendela tanpa gorden, apalagi daun penutup. Angin seperti ini biasa bagi kami yang hidup di wilayah pesisir meski terhitung agak jauh dari bibir pantai. Dengan angin itu, sebenarnya aku masih enggan melepas sarung yang menyelimuti badan, tetapi warna pagi serta kicauan burung seolah mendesakku untuk bangun melawan dingin dan melakukan aktivitas rumah. Aku harus membantu ibu, ayah, dan adikku. Serta yang yang lebih penting keceriaan kami setiap hari, apalagi dengan adik kecilku yang semakin lincah berjalan, bermain, tertawa, walau masih menyusu.

Aku baru saja terbangun saat di bilik sebelah, adikku masih disusui ibu. Dari jendela, ayah tampak sedang bersiap-siap bekal turun ke laut mencari ikan. Ia akan kembali saat senja menjelang, kadang pulang sejenak di siang hari untuk makan dan setelah itu kembali pergi, mungkin tidak menjala, tetapi menjual ikan hasil tangkapannya.

"Ma', aku ke laut ya?" Pamit ayah.

"Ma', jangan sekali-kali ada yang makan ikan asinku itu, siapapun dia", tegas ayah sambil menunjuk ke sudut dapur, samping para-para. Lalu bergegas ia berangkat. Perahu kecil dan jalannya telah menunggu di parkiran pantai.

Pagi itu ayah sedikit telat melakukan rutinitasnya melaut. Bukan lalai, tapi sengaja. Beberapa pekan terakhir ikan sangat sepi. Para nelayan semakin kesulitan. Mereka tidak mampu lagi berpikir apa yang harus dilakukan untuk keluar dari masalah itu sebagai masalah bersama. Mereka hanya memikirkan bagaimana masing-masing keluarganya bisa makan untuk menjawab rasa lapar yang setiap hari pasti datang.
Ikan yang makin langka sebenarnya karena ulah para nelayan juga. Mereka selalu menggunakan cara-cara prakatis dan instan untuk hasil tangkapan berlipat ganda. Tetapi cara itu justru merusak hampir seluruh biota yang dibutuhkan ikan untuk tinggal, makan dan berkembang biak. Ikan-ikan lalu pergi jauh mencari tempat lain. Para nelayan semakin jauh keluar mengejar ikan-ikan itu dengan kemampuan yang sudah pasti terbatas. Apalagi nelayan kecil seperti ayah. Yah, begitulah. Diluar kemampuan, mereka tak dapat berbuat apa-apa.

Ayah senang sekali dengan ikan asin meski ikan sudah langka. Sebenarnya ikan asin yang dijemur ayah di para-para bukan ikan, tetapi tikus. Dua ekor tikus yang terperangkap dalam jalanya kemarin. Bagian kepala, kaki dan ekor dibuang, bagian badan dibelah dua dan menjadi tampak lebar, digarami, ditusuk lalu dijemur. Tikus itu adalah alternatif untuk memenuhi selera. Makanya ia tak mau bila disantap orang.
Sore hari ketika gelap hampir tiba, setelah keceriaan siang berlalu, seperti biasanya, adik harus segera diberi makan sebelum ia tertidur. Karena kebiasaan itu, ia bahkan lebih awal memintanya. Dan sore itu ia memintanya dengan rengek tangis sambil menunjuk-nunjuk ke arah ikan asin. Ia tak ingin makanan lain. Ibu tidak mungkin memberikannya. Tangis adik semakin keras, keras dengan mengguling-gulingkan tubuh di atas lantai, bergetar seakan hendak kehilangan nafasnya.

Rasa kasih ibu pun bergelora, tidak tega melihat adik. Pesan ayah juga semakin terngiang. Tetapi kasih sayang ibu toh tak mampu terbendung. Dan diirislah sedikit di bagian ekor dari ikan asin ayah, dibakar lalu diberikan ke adik. Isak tangis belum habis saat adik melahap setiap suapan yang diberikan.

Belum juga usai makan, ayah dengan lelahnya datang dari laut. Melihat makanan adik, ayah langsung curiga dan terus ke pojok dapur. Betul. Ada bagian dari ikannya yang telah terpotong. Dalam keadaan lelah, emosi sulit terkendali. Apalagi mungkin sejak di laut ia telah membayangkan betapa nikmatnya ikan asin bila makan malam. Setiba di rumah, kenikmatan itu telah mencapai ubun-ubun. Rasa khasnya telah memenuhi seluruh rongga mulut, menarik keluar liur-liur yang terpendam dalam lambungnya yang lapar.

"Ma, saya kan sudah bilang jangan berikan pada siapa pun."

"Tapi saya tidak tega dan tidak tahan melihat penderitaannya pa. Dia kan anakmu, anak kita. Apa salahnya merasakan sedikit dari milikmu, merasakan sedikit dari apa yang kita suka?"

Keinginan menggebu-gebu terhadap ikan asin telah sesak mengisi ruang nafsu, lalu berubah menjadi kekesalan dan kemarahan menggebu-gebu kepada ibu. Gbrak… bruk… brak…. Tamparan, pukulan, dan injakan berkali-kali mendarat di wajah, kepala dan beberapa bagian tubuh ibu. Cepat sekali peristiwa itu terjadi. Tentu saja ibu tak berdaya dibuatnya. Ia terkapar. Tak mampu lagi ia menangis meski seisak pun tangis. Bukan air mata yang membasahi pipi, tetapi darah. Ya, darah kasih sayang itu merah mengalir perlahan mengelamkan hitamnya lantai. Kursi kayu yang telah patah bertengger tenang di atas perut ibu.

Aku dan adik hanya bisa histeris menangis. Adik mungkin menangis karena kaget mendengar gemuruh keras dari amukan ayah. Tapi aku lebih dari itu sudah dapat merasakan sakitnya penderitaan dan kepedihan ibu. Mungkin ibu telah mati. Aku memeluk adik erat-erat, menciumnya dalam-dalam sambil berusaha menenangkannya. Semakin adik perlahan diam, semakin aku tak mampu menghentikan histeris tangisku sendiri. Kesedihanku semakin dalam.

"Ibuuu .... hik...hik.... janghan maaati buu .... janghan hik... thinggalkhan... hik aha...dikku ...hik... "

Aku semakin histeris. Kudekap adik makin dalam. kurapatkan kepalannya di pipi kananku. Rambutnya masih menyimpan bau susu ibu. Kukecup bibir lembutnya. Aroma tikus asin itu masih terasa. Kasihan betul adikku. Ia belum mengerti semua yang terjadi. Tapi ia tetap saja masih membutuhkan ibu, menyusu sambil mendekap di dada ibu hingga terlelap di malam hari. Ia masih membutuhkan nyanyian ibu yang berulang-ulang sepanjang ayunannya.

Ayah sudah tak nampak ketika rumah diam tanpa tangis. Sesekali masih ada isakan yang justru menjadi seperti nyanyian penyambut sepi. Ya, rumah di awal malam itu mulai menjalani sepinya. adik tertidur setelah lelah menangis, tertidur saat makannya belum selesai, tertidur sebelum menyusu. Ibu masih tergeletak di atas lantai tak berdaya seolah tertidur. Dan aku masih disamping adik, menjaga tidurnya hingga ikut tertidur juga. Rumah sedang menjalani malam sepinya.

Dengan tertatih-tatih, wajah lebam membiru dan darah kering, ibu menyeret kakinya menggapai kami di tempat tidur saat adik menangis di larut malam. Ia tau adik pasti kelaparan dan kehausan, sedang aku juga tak mampu berbuat banyak. Disusuilah adikku. Air susu ibu mengalir bersusulan dengan air matanya. Kain sarung yang ia gunakan kembali basah setelah sore tadi juga basah dengan darah amarah ayah.

Sambil duduk menyusu, ibu memanggilku duduk di sisinya. Aku ke sisinya. Tubuh hangatnya membuatku merasa tak membutuhkan apa-apa dan kemana-mana lagi. Di sisinya sudah cukup. Ia membelai rambut kusutku yang juga masih menyimpan basahan air mata. Ia seolah enggan menyampaikan sesuatu. Detak jantungnya kencang menembus jiwaku. Setelah beberapa lama aku memeluk sambil menikmati belaiannya, menjalani kebisuan sepi, ibu mulai bicara dengan menarik nafas dalam-dalam dan mengeluarkannya perlahan. Hembusannya panas menyapu wajahku.

"Nak, ibu akan menetek adikmu sepanjang sisa malam ini. Setelah itu ibu mengandalkanmu untuk menjaga dan merawatnya. Besok ibu akan pergi jauh meninggalkan rumah ini. Ibu tidak pantas lagi di sini, karena ayahmu sekarang lebih menyayangi ikan asinnya daripada ibu dan anak-anaknya. Besok bila kalian bangun, dan tidak melihatku lagi, berarti aku sudah pergi tinggalkan rumah ini. Bila ayah mencariku, bilang padanya tak usah mencari ibu. Percuma saja. Ayah tidak akan menemukan ibu lagi".

Aku hanya bisa menahan tangis sambil berharap ibu tidak sepenuh hati dengan niatnya. Tak mungkin ibu yang menyayangi kami meninggalkan kami dalam penderitaan batin yang sangat menyiksa. Tak terbayangkan beratnya menjaga adik tanpa ibu. Tak terbayangkan sulitnya adik tanpa ibu. Aku harus memberinya kasih sayang, sementara aku sendiri masih membutuhkan kasih sayang itu dari ibu. Betapa menderitanya kami tanpa ibu. Tetapi aku juga tak mampu memohon ibu untuk tidak pergi, karena aku tau ibu sangat menyayangi kami.

Aku terdiam, mata terasa pedis, basah dan airnya mengalir sangat kencang di pipiku. Ibu juga diam menyusui adik sambil menyapu-nyapu kepalaku dengan tangannya. Ia tak lagi menangis. Kelembutan jarinya meluluhkan segala pikiranku terhadapnya. Semuanya terlarut dalam diam. Tak ada suara jangkrik, tokek, atau mesin-mesin perahu yang biasanya terdengar dari kejauhan. Namun batin terus bergejolak. kasih dan sayang malam itu seolah sengaja tertuang habis untuk saat-saat terakhirnya. Dan tanpa sadar aku telah lelap tertidur.

***

Pagi hari tak lagi terasa dingin. Aku terjaga dengan suara tangis adik. Ibu yang semalam berbaring di antara kami, kini sudah tiada. Bergegas aku menggendong adik menuju dapur memberinya minum air putih. Lalu memeriksa rumah, ayah masih tertidur. Ke seputar rumah juga tidak ada. Jangan-jangan ibu betul-betul telah pergi. Aku keluar ke jalan sambil terus menggendong adik. Belum jauh dari rumah, setiap beberapa jarak langkah nampak sobekan-sobekan sarung yang digunakan ibu semalam.
“Oh adikku, lihatlah! ibu telah pergi meninggalkan kita. Dan ia tidak lagi memakai sarung.” Kataku sambil mencium adikku.

Aku mengikuti jejak sobekan. Ke jalan setapak di sisi semak. Naik ke bukit-bukit karang. Jauh sekali hingga jejak terputus. Sarung ibu telah habis. Terlalu banyak lorong setapak dan aku memeriksanya satu persatu. Di lorong ke tujuh aku mendapatkan sobekan baju yang digunakan ibu semalam.

“Hik… hik… adikku, lihatlah! Kini ibu pergi tidak memakai baju lagi. Hik… hik… Andai saja kau tidak menagih ikan asin itu, nasib kita tidak akan seperti ini. Ayah hanya sayang ikannya.” Aku menahan tangisku dan segera menyadari bila adikku tidak memahami apa yang ia lakukan dan yang kami alami.

Aku belum mengenal daerah itu. Jauh sekali jejak sobekan baju. Aku baru sadar bila matahari telah menuruni separuh ufuk barat saat akhirnya kami tiba di sebuah pantai. Beberapa nelayan sedang mendorong perahunya ke laut. Di sisi jalan setapak aku bertanya kepada seorang bapak yang sedang memperbaiki perahu.

“Om, apakah om melihat seorang ibu lewat di tempat ini?”

“Oh, iya. Sejak siang tadi dia singgah di atas batu sana di ujung pantai. Ia turun ke laut, mungkin mandi, tapi sampai sekarang ia belum juga naik.”

Setelah berterima kasih, aku menuju ke batu. Betul. Aku mendapatkan kalung ibu tergelatak di atasnya. Tapi ke mana ibu belum juga muncul. Tenggelam? Ah, tak ada yang dapat kuperbuat. Disinilah akhir jejak ibu. Sambil memangku dan memeluk adik, aku duduk di batu itu dan membiarkan kakiku mencapai air laut yang tenang mengilaukan senja. Adik tak pernah menangis, bahkan sejak tadi sepanjang jalan ia seolah mengajakku bermain seperti hari-hari kemarin. Aku tak pernah bosan mencium dan memeluknya erat. Aku bernyanyi-nyanyi memanggil ibu.

“Oh ibuku sayang sedang malang
Datanglah tetek adikku
Yang rindu menyusu
Di atas detak jantungmu.”

Aku terus mengulangi lagu itu sambil menggoyangkan air dengan kedua kakiku. Gelombang air meluas, membesar, memecah bayangan senja. Semakin senja. Aku tak ingin mengingat ayah tapi tak bisa, karena aku sedang membencinya. Tak ingin pulang, ingin menunggu ibu, tapi adik butuh tempat tidur. Nyanyianku yang tak berhenti untuk memanggil ibu justru mengantar matahari semakin cepat merendah ke tepi laut yang semakin jingga.

Tepat depan kakiku, ibu tiba-tiba muncul di permukaan. Ia seperti paham bahwa pantai telah sepi. Jantungku seperti tetabuhan mengguncang seisi kampung. Ibu mengambil adik, menggendong dan menyusu. Betapa rakusnya adikku terlihat.

“Nak, datanglah ke tempat ini setiap fajar dan senja, saat semua sedang sepi. Jangan bilang pada siapa pun termasuk ayahmu. Selama beberapa hari kita masih bisa bertemu, setelah itu tidak mungkin lagi karena saya akan menjadi makhluk laut yang luas ini”. Tentu saja aku menangis mendengar ucapan itu.

“Ssst, jangan sedih dengan ini anakku. Pulanglah! Sebentar lagi akan gelap. Bukan orang tua yang dapat membesarkan anaknya, tapi kasih sayang Tuhan.”

Makassar, 29 Oktober 2009
(cerita ini dikembangkan dari cerita rakyat buton berjudul wandiu-diu)