Halaman

Minggu, 30 Agustus 2009

kedip kecil kemuning

cerpen hamdan

Setiap kali cakrawala malam datang ketika gemintang sedang memainkan tarian kedipnya, aku seperti terjebak dalam penjara malam. Jerujinya terbuat dari senyawa baja kemuliaan dan cinta, sangat kokoh dan rapat menutupi lubang yang memungkinkan jiwaku dapat keluar.

Selalu saja aku mendatangimu yang mewujud di keramaian cakrawala malam itu. Mencarimu di antara reramai kedip gemintang. Selalu saja aku yang sembunyi di balik pandang mata, kembali menatapmu bintang kecil kemuningku. Selalu saja aku harus memberi pandang lebih awal padamu. Lalu mungkin beberapa kesempatan kepada gemintang lainnya. Kedip mungilmu, cahaya senyummu, membuatku tak kuasa untuk sekejap saja berpaling memandang yang lain, apalagi mengeluarkanmu sedetik dari ingatan nuraniku. Ya, jerujinya sangat kokoh.

Kini, senyawa itu tidak lagi menjadi jeruji, tetapi menjadi jajaran bidara yang teduh di dalam firdaus dan buahnya memandarkan kedipan cahaya hati. Ruang jeruji itu telah menjadi ruang surga yang dengan sadar dan sengaja aku menyerahkan diri ke dalamnya, dan aku ingin sekali tempat itu menjadi rumahku. Dan benar kini, aku tidak merasa sedang terkurung, melainkan sedang tinggal di dalam rumah jiwa yang memberi rasa cukup untuk segalanya.

Sejak itu mengingatmu sama saja dengan memandangmu, dan dengan memandangmu membawaku dengan sangat sadar masuk ke rumah itu. Tak ada lagi ruang dan waktu yang kosong tanpamu. Pernah suatu ketika aku ingin mengundang kebosanan mengingatmu. Aku mencoba sekedar menghitung seberapa saja bintang yang ada di sekitarmu sambil menghayati kedip senyum mereka, tapi engkau selalu hadir di antara angka-angka hitungan dan bahkan di setiap durasi kedipan mereka. Kebosanan memang datang juga, tapi untuk mereka gemintang yang ramai itu, tidak untuk kau. Dan kini memandangmu sama saja bila di sampingmu; bersama menjadi bintang kecil kemuning.

Aku sengaja telah memberimu tanda dengan tinta jiwaku, untuk membedakanmu dengan yang lain. Aku takut bila sekali waktu kehilanganmu hanya karena pandanganku dirayu oleh ribuan genit gemintang lainnya. Karena ketakutanku juga, diam-diam tanpa seizinmu, aku memindahkanmu ke dalam jiwaku. Dan engkau, senyum kedip kemuningmu itu, menjadi jiwaku yang mendenyutkan nadi kehidupanku. Lalu dengan apologi aku kadang menuduhmu telah mencuri hatiku dan membawanya pergi bersamamu hingga aku harus merindu, merancang dan merangkai sepi, menanti malam; waktu dimana engkau selalu muncul bermain kedip dikejauhan.

Karena kedip kemuningmu, aku kini sangat percaya bahwa engkau bintang kecilku adalah juga kunang-kunang yang bermain, menari, melintasi rimbunan pohon, ribuan pucuk dedaun yang bertasbih di malam hari. Bintang kecilku adalah kunang-kunang, dan kunang-kunangku adalah bintang kecilku. Kini aku rajin menanam aneka pohon nurani, menyiraminya agar terus tumbuh dan merawatnya menjadi sebuah taman. Ya, agar kunang-kunang dapat bermain dalam taman pohonan itu, lalu juga menjadi taman kunang-kunang. Belum cukup rasanya, hingga taman itu kujadikan rumahku, rumah tanpa kamar, aku tinggal di dalamnya. Tapi aku juga kadang menyebut rumah itu dengan kamar besar. Lebih kamar dari rumah. Kamar beratap dedaun, berpilar batang pohonan, berjendela cela dedaun sebagai lorong-lorong setapak untuk mengintipmu, dan berlantai tanah beralas permadani dedaun kuning kering.

Bahagianya hampir setiap malam dapat bermain bersama kunang-kunang. Mengejarnya melintas bukit kecil, rimbunan pohon dan bunga, sungai-sungai mengalir dalam syair gemericik. Kadang kuterjatuh lalu bangun lagi sambil memanggilnya yang seolah sengaja terbang rendah agar aku selalu dapat mengejarnya. Kadang ia hinggap di daun yang agak tinggi, aku melompati meraihnya. Sebenarnya aku dapat meraihnya, tapi juga aku sengaja untuk tidak menggapainya, agar ia dapat terbang berlari dan kami terus bermain kejar-kejaran. Kadang ia menghentikan kedipnya, aku kehilangan dan mencarinya menyusupi belukar taman. Ia hinggap di atas rambut ubun-ubunku. Tentu saja aku tak melihatnya. Aku berbaring di hamparan daun kering memandang langit. Di atas sana ada bulan sedang tersenyum bersama jutaan gemintang. Jangan-jangan ia telah naik ke cakrawala malam menjadi bintang kecil di atas sana. Tapi tak kutemukan bintang kecil kemuningku itu. Marahkah ia padaku, atau ia telah kelelahan bermain? Tiba-tiba ia terbang berkedip di atas mataku, aku berdebar ternyata ia masih dekat. Aku senang dan memberinya kesempatan menarikan kedip kemuningnya tanpa kejaran.

Bahagianya aku bila malam telah tiba. Karena itu aku hampir saja membenci siang, sebab sinar matahari begitu dominan dan menjadikan seluruhnya terang benderang. Tentu saja senyum kedip kemuningmu tak dapat kupandang, bahkan tak dapat ditemui oleh keterbatasan jarak pandang mataku terhadap ketajaman sinar mentari. Hampir saja aku tak bersikap adil. Di siang hari aku selalu menanti malam, namun di malam hari aku tak berharap datangnya siang. Bahkan aku tak ingin lagi menikmati kokok ayam sebagai ritual zikir semesta penyambut fajar. Yah, karena kokok itu tiba-tiba menjadi pemegang otorita untuk mengintruksikan pergantian waktu; malam harus bergeser dan fajar datang tersenyum. Ah, aku benci tanpa memandangmu meski sekejap, sedang pagi telah mengundang siang segera bermain.

Karena hampir membenci siang, Pernah aku senang saja kepada musim hujan yang segera tiba, yang dengan awan atau mendungnya dapat menginterupsi dominasi benderang dan panas mentari. Ternyata benci tak dapat menghadirkan kedip bintang atau kunang-kunang. Bahkan di musim itu, mendung dan hujan juga menginterupsi dominasi gemintang dan serangga kunang bila malam telah tiba. Permadani dedaun kering lalu menjadi lembab, basah, ada juga terbawa arus air. Embun malam yang menyelimuti daun dan ikut memantulkan cahaya, pun tak berdaya diterpa hujan.

Tak ada bintang dan juga kunang. Aku ingin menebang semua pohon di taman itu karena tak berguna lagi pikirku sesaat. Tapi aku tak ingin kehilangan rumah bersamamu. Aku masih yakin engkau hanya tak nampak, tapi tidak berarti jauh atau tiada. Seperti juga ketika malam, engkau hanya tampak jauh, tapi tak berarti engkau tidak di dekatku. Aku harus menjaga diriku dan engkau, karena kita berdua telah menjadi bagian dari taman itu. Kita adalah taman itu.

Baru saja aku bertengkar dengan beberapa warga sekitar. Mereka hendak memasang beberapa lampu di sisi jalan. Di sisi taman. Bahkan kain-kain dan plastik dengan warna-warni kata dan foto seorang yang kita tak pernah kenal, telah dibentang dengan mengikat atau memakunya di pohonan taman. Lampu-lampu itu ternyata disumbang oleh seorang dalam foto itu yang berhasrat menduduki kekuasaan. Karena senang dengan taman itu, ia berenca akan menjadikannya sebagai taman wisata. Taman itu akan menjadi terang benderang dengan seribu lampu dan ramai dikunjungi. Kita akan menjadi kaya dengan bayaran para pengunjung. Begitu janjinya.

Tentu saja aku marah dan mengusir semuanya. Mereka akan menghancurkan taman kita, seperti mereka telah merusak banyak ruang dengan ketamakan. Tentu saja aku benci semua itu, karena yang telah kita buat adalah taman jiwa, tempat dimana hati dapat tumbuh dan tafakur, mengalirkan sungai cinta menyuburkan kedamaian. Ah, bukan! Bukan taman, tetapi kamar yang ditaburi kedip kecil kemuning.

Makassar, 08 Juli 2009.