Halaman

Senin, 09 Juni 2008

waktu meneror

Cerpenku



“Beritahulah aku tentang waktu!”
“Waktu? Waktu hanyalah siang, lalu malam, dan pergantiannya. Di antara itu ada subuh dan pagi, ada sore dan petang. Begitu seterusnya; sehari, seminggu, sebulan, setahun, seabad, sezaman, dan sejarah”.
Mendapat jawaban, dengan wajah tanpa reaksi, penanya segera saja berterima kasih dan pergi berlalu. Menghilang dalam kesibukan pagi kota. Hilang seperti tanpa waktu. Sementara orang yang ia tanya tinggal melongok dengan mulut ternganga diganjal rasa aneh. Aneh! Tapi kemudian ia belok juga ke kantornya. Ia seorang karyawan, orang kantoran, budak atau mungkin juga majikan sang waktu.
Peduli amat. Mungkin yang bertanya tadi seorang supervisior publik di kantor ini, pikirnya. Mungkin dengan cara begitu; menyindir tentang waktu, ia bermaksud menegur atau membina karyawan yang kurang disiplin. Ah, jika benar, itu hanya sebatas cara dan strategi yang sedikit halus, yang berarti juga muslihat. Benar! Muslihat! Manajemen kan juga muslihat. Siapa yang bisa menipu kemacetan agar tidak telat ngantor? Siapa bilang kendaraan selalu membuat perjalanan lebih cepat dengan jalur kota dan lalu lintas sepadat susunan batu bata?
Di kantor bercerita ia dengan rekan-rekan bahkan bossnya. Semula mereka kurang percaya. Mungkin saja orang itu bermaksud menanyakan pukul berapa. Mungkin juga dia gila atau mabuk, atau baru terjaga setelah tersesat dan ketiduran semalam. Namun kemudian mereka terbawa dalam kondisi percaya dan tidak, setelah boss mereka juga mengaku pernah bertemu dengan orang yang sama.
“Sebenarnya orang itu tidak aneh”, kata boss. “Tapi pertanyaannya yang membuat segalanya jadi aneh; beritahulah aku tentang waktu! Adakah jawaban lain tentang waktu?”
Retorika boss meniru orang itu, membuat beberapa karyawan semakin serius mendengar. Jam menunjukkan pukul 09.30. Sedang kendaraan terdengar semakin sesak dan sibuk. Teriakan-teriakan klakson adalah bahasa modern, sebuah kata tentang waktu. Dan kemacetan adalah protes sang waktu kepada manusia atas dirinya yang didesak untuk berlari.
“Apa yang ia tanyakan boss?”
“Iya boss, pertanyaannya bagaimana?”
“Beritahulah aku tentang waktu!”
“Lalu, jawaban boss?”
“Time is money, kataku. Sedetik bisa berarti sejuta.”
Satu persatu karyawan berkumpul di ruang lobby, meninggalkan pekerjaan dan lebih tertarik dengan cerita boss. Cerita tentang orang aneh. Lingkaran terbentuk layaknya penonton jualan obat. Dan si boss mulai mondar-mandir dalam lingkaran.
“Di zaman modern waktu adalah segalanya. Sedang segalanya itu dapat dinilai dengan uang. Karena itulah kami mengharghai waktu”. Ia tenang sejenak. “Saat itu saya menyebut ‘kami’ sambil mengacungkan telapak tangan ke kantor ini,” jelas boss dengan sedikit bangga.
Itu juga yang biasa disampaikan boss kepada karyawannya. Bukan hanya kepada orang aneh itu. Sekejap ruang-ruang semakin ramai dengan cerita orang aneh. Tidak hanya di ruang kantor itu, tapi juga di setiap ruang bahkan sekecil dan sesempit mungkin. Waktu menerobos ruang. Sampai waktu kantor habis. Kantor sepi kembali. Tapi sepi juga waktu. Sore, petang, malam, subuh, pagi. Kantor. Waktu begitu cepat.
***
Dalam sebuah laporan diberitakan bahwa tingkat produktivitas Kota dalam beberapa hari terakhir menurun mencapai sepuluh persen. Sebab utama adalah faktor aktivitas dan produktivitas kerja yang terpuruk drastis. Hampir sebulan terakhir di setiap instansi negeri maupun swasta, pusat-pusat bisnis, pendidikan, kesehatan, hiburan, warung kopi, seluruhnya terhipnotis dan terhanyut oleh cerita tentang orang aneh yang bertanya tentang waktu. Saling bertukar cerita, gossip, bergerombol, dan pekerjaan menjadi selingan. Bahkan secara diam-diam seperti biasanya, untuk hal-hal yang dapat mengganggu ketertiban dan kestabilan, pihak keamanan kota lebih awal melarang segala bentuk peliputan media. Sebab hal ini dapat berakibat sangat fatal bagi keamanan Kota. Namun akhirnya berita ini besar tanpa media.
“Kriiiiiiiing…kriiiiing…..!!”
“Hallo, selamat pagi. Dengan kepolisian Kota. Ada yang bisa kami bantu?”
“Beritahulah aku tentang waktu!”
Pak polisi dengan sedikit tersentak langsung menutup mic telepon dan memberi isyarat ke rekannya untuk menyadap. Tapi semuanya sia-sia. Hubungan telah putus. Putus karena tak ada jawaban hanya dalam durasi sepersekian detik. Dalam sehari seluruh jaringan telepon mendapat pertanyaan yang sama secara berurut tentunya. Hari itu kota dihujani deringan telepon tentang waktu. Jatuh deras melebihi kecepatan cahaya tepat di urat saraf. Seluruh warga tak mau mengangangkat telepon untuk kedua kalinya. Semua ragu, khawatir, takut dengan orang aneh. Pertanyaan tentang waktu oleh orang aneh telah menjalar ke kawat-kawat telepon dan menderingkan seluruh nomor, seluruh operator ponsel, SMS, e-mail, dan website; beritahulah aku tentang waktu!
“Ting-ting-ting-ting-ting …,” nada midi dering lagu menghitung hari, terdengar dari sebuah handphone milik seorang gadis ABG.
“Hi, hallo say…” dengan suara lembut khas ABG.
“Hi…, beritahulah aku tentang waktu!”
“Tentang waktunya? Oo … Mas Deni kan? Mas, aku rindu deh. Kangeeen banget. Waktunya sudah pasti kan? Mas, jangan ditunda lagi ya?”
“Beritahulah aku tentang waktu!”
“Hallo …, Mas De…..”
lagi-lagi hubungan terputus. Para ABG berponsel terganggu. Seluruh pesan SMS adalah pertanyaan tentang waktu. Nomor ponsel orang aneh diblokir. muncul lagi nomor baru. Blokir. Baru lagi. Kota resah; subuh, pagi, siang, sore, petang, malam. Waktu berjalan meneror.
“Orang aneh itu telah memasuki segala bagian sampai ke bagian yang paling pojok dari kota kita. Bagaimana menurut bapak sebagai pejabat Kota?” Tanya seorang wartawan.
“Ini benar-benar meresahkan dan mengancam Kota. Coba anda pikir, adakah jawaban lain tentang waktu? Ini adalah teror menakutkan setelah robohnya WTC. Ini bentuk teror baru yang dibuat tanpa ledakan dan darah.”
Pertanyaan tentang waktu bervirus issu teror. Orang aneh masuk dalam DPO. Pihak keamanan sedikit kesulitan mengidentifikasi apalagi menangkap pelaku. Keadaan lalu membaik dengan sendirinya. Tak ada lagi yang pernah bertemu dengan orang aneh. Entah kemana ia menghilang. Namun yang tertinggal di dalam benak warga Kota adalah waktu. Waktu dimana Kota akan meledak dan hancur lebur. Kota sedang menunggu waktu.
“Saudara-saudara warga kota, kami menghimbau agar tetap beraktivitas seperti biasa. Kita tinggal perlu waktu sedikit untuk menagkapnya. Kota ini menyatakan perang terhadap segala teror.” Tepuk tangan formalitas menggemuruh mengakhiri konferensi pers. Walaupun pertanyaan belum tuntas.
“Terhadap teror atau teroris pak?” Tanya seorang wartawan.
“Kita tidak butuh interpretasi. Yang tidak menyatakan perang dapat dianggap melawan pemerintah dan berarti mendukung teror,” balasnya kemudian.
“Sedikit lagi pak. Butuh berapa lama menangkap pelaku? Publik butuh ketegasan tentang waktu.”
“Kita butuh waktu. Anda harus bersabar. Cepat atau lambat pasti tertangkap!”
Tujuh belas orang telah dicurigai karena memiliki pertanyaan atau pernyataan yang sama tentang waktu, termasuk si wartawan. Keadaan mencekam kembali. Orang-orang harus mengontrol diri agar tidak terpeleset berbicara tentang waktu. Sehelai surat dan amplop tercecer di jalan menjadi barang bukti. Alamat pengirim fiktif, namun alamat tujuan lengakap ke sebuah Pesantren, dianulir memiliki hubungan erat dengan pelaku. Beberapa waktu terakhir pak Kiyai memang sering berceramah keliling dan memperingatkan kepada jama’ahnya tentang waktu yang akan tiba. Waktu yang menggemparkan, yang saat ini hampir semua orang mengabaikannya: Kiamat!
Pak Kiyai diciduk di Puskesmas saat sedang berobat. Ditahan dengan tuduhan teror dan menciptakan teror baru. Juga terindikasi memiliki hubungan dengan jaringan teror internasional yang meledakkan beberapa tempat. Membakar lokalisasi pelacuran dan perjudian Kota dua tahun lalu, merugikan Kota, dan sejumlah pengembangan kasus lain. Itu melanggar HAM. Sedang istri dan saudaranya sedang dimintai keterangan sebagai saksi dan mungkin menjadi tersangka. Kini pak Kiyai menunggu waktu disebuah tempat dimana waktu berjalan sangat lambat dan monoton.

Pinrang, 23 Oktober 2002.

kampung dalam shalatku










Cerpenku


“Allahu akbar Allahu akbar! …”

Lafaz-lafaz iqamat dari sebuah mushallah kecil rumah sakit itu mengawali shalat jama’ah Maghrib. Aku dan dua teman terperangah dengan waktu yang terasa semakin cepat melalui menara mungil sebuah mushallah. Lafaz dari speaker menara betul-betul telah mendapatkan otoritasnya. Seperti di tempat lain, dari menara-menara masjid yang berlimpah, speaker masjid juga telah mendapatkan otoritas yang luar biasa, dari dan untuk sebagian ummat Islam. Tapi sebenarnya kini, apalagi di kota-kota terbilang maju, lafaz-lafaz dari speaker masjid lebih berfungsi sebagai klakson yang sengaja dibunyikan untuk meminta sedikit peluang lewat. Ya, semacam interupsi jalanan.

“Ash-shalatu jaami’ah rahimakumullah! Luruskan shaf dan rapatkan!”

Diskusi kami dibuatnya terputus, diskusi yang kami sendiri sudah lupa awal dari mana dan untuk apa, diskusi tentang birokrasi dinegeri ini. Birokrasi kacau, untuk tidak menyebut hancur. Hampir setengah jam ngobrol kami bertiga. Dua teman; Amin dan Opu yang bersamaku sesungguhnya belum saling kenal. Aku kebetulan pulang kampung. Siang itu aku berencana bertemu Opu di rumah kontrakan ataupun di kantornya. Setiba di kota, aku SMS. Dibalasnya bahwa ia sedang di kantor daerah. Aku ke sana. Pikirku kebetulan Amin berkantor di sana dan sudah cukup lama tidak bertemu dengannya setelah terakhir kami bertemu sangat singkat, 10 menit tidak lebih. Ketika itu aku memberi ucapan selamat menempuh hidup baru. Sekejap, lalu ia bersama pasangannya dengan pakaian adat pengantin menuju ke rumah mempelai perempuan untuk menjalankan resepsi pernikahan mereka.

Hari ini setelah sekian bulan, bertemulah kami bertiga. Mudah sekali mengatur pertemuan dengan teknologi celluler. Hanya dengan sedikit tarian ibu jemari.

Mereka berdua PNS yang sebenarnya sedang mencari model sendiri untuk adaptasi terhadap kultur birokrasi. Birokrasi bagi Amin adalah makhluk mekanik modern yang di dalamnya manusia menjadi komponen kecil semacam sim card, terinstal dan terprogram sedemikian rupa.

“Di kantor kami ini susah. Tidak membuat wawasan bertambah, malah sebaliknya makin sempit dan ketinggalan. Keahlian digunakan seadanya dan lebih sering dimanipulasi. Bayangkan! Saya diminta menyelesaikan sesuatu atas dasar tugas kantor atau pengabdian alias tanpa biaya. Selesai. Lalu pekerjaan itu tercatat menggunakan biaya operasional dalam pelaporannya. Bagi yang tidak punya keahlian, sama saja dengan yang punya; gaji sama karena golongan sama. Yang membuat orang berbeda adalah jabatan, bukan keahlian dan produktifitas. Yang punya jabatan tinggi, punya otoritas perintah kiri kanan, paling kurang kerjaan di tengah kerjaan yang memang kurang. Atau di tengah kesibukan melaksanakan kerjaan yang mengabaikan manajemen. Yah, memang kurang. Karena bagian kerjaan yang bisa diselesaikan 10 orang diisi oleh 30 sampai 40 orang.” Demikian Amin memulai cerita.

“Itulah budaya dan karakter birokrat kita Min. Tidak hanya di kantor ini, tapi di instansi mana saja. Lalu, kenapa tidak merintis jalan untuk jadi pejabat saja?” Tanyaku.

“Pejabat? Apa hebatnya menjadi pejabat PNS? Toh pejabat tidak bisa memperbaiki atau merubah nasib seseorang, kecuali dengan melanggar aturan main dan mencederai yang lain. Kadang suatu kegiatan mereka ikuti dengan serius untuk memperoleh penghargaan akan pengabdian, padahal penghargaan kan mestinya “diberikan”, bukan “dicari-cari” seperti itu. Penghargaan kok dicari? Lantas apa hebatnya menempel ramai tanda penghargaan di baju PDH? Merasa lebih hebat? Hebat, dengan kualitas masih begitu-gitu juga? Saya benar-benar bingung dengan kantor milik Negara ini!”

“Itu namanya berkecamuk Min; bekerja keras cari-cari muka. Muka dan perut mereka dapat, tetapi kehilangan kakinya. Tapi itu juga wajar, karena masyarakat kita juga begitu caranya menghargai seseorang. Masyarakat dan Negara kita tidak pernah menghargai keahlian, melainkan jabatan meskipun tanpa keahlian. Hanya ada satu keahlian yang hebat dan mendapat apresiasi tinggi di negeri ini; keahlian memperoleh, memainkan dan mempertahankan jabatan”.

“Adalagi program yang kedengarannya hebat, tapi akhirnya jadi bombastis”, Amin melanjutkan ceritanya. Opu mengisap rokok dalam-dalam, hingga ke pelosok problem yang dihadapinya. Nampak ia ingin menumpahkan, tapi kali ini baru ditumpahkan melalui semburan asap rokoknya.

“Program penerapan teknologi informatika misalnya. Itu juga bombastis akhirnya, sekedar menjadi program mahal yang menghabiskan banyak uang Negara. Program itukan konsekwensinya tidak membutuhkan karyawan banyak. Beranikah mereka mengurangi jumlah pegawai? Tidak! Malah sebaliknya menambah”.

“Allaahu Akbar! Sami Allaahu liman Hamidah! …”

Pertemuan kami begitu singkat, sebentar lagi Amin dan Opu mengantarku pulang. Pulang ke sebuah desa yang sebenarnya dekat tapi akhirnya menjadi jauh. Sebuah jarak yang tidak memiliki bilangan matematis. Dekat di mata jauh di kaki. Di kota besar, jenis jarak seperti ini muncul karena keramaian transportasi yang melahirkan kemacetan. Di desaku jarak jenis ini muncul karena kekurangan transportasi. Jalan di malam hari betul-betul menjadi malam karena gulitanya yang sepi, dan siang benar-benar menjadi siang karena benderangnya panas yang sepi. Jalan di kemaraunya berkabut debu, di hujannya bergenang lumpur.

Desaku benar-benar telah menjadi senjata Negara. Benar-benar telah menjadi kampung para budak negara. Budak yang tugasnya menyiapkan stok pangan bagi kelangsungan hidup diri mereka sendiri dan terpenting bagi kelangsungan hidup Pejabat Negara; suatu komponen kecil dominan yang menjalankan makhluk mekanik bernama birokrasi.

Desa itu bahkan bukan lagi menjadi kampung, melainkan telah menjadi kantor bagi petani. Tragis benar cara budak negara ini menjalankan tugas. Saat kemarau datang dengan ketidak pastian kapan berakhir, para budak yang disebut petani menunggu hujan datang untuk mengairi persawahan mereka. Penantian tak pasti itu pun datang juga. Hujan mengguyur. Air tumpahan dari langit itu adalah sisa-sisa polusi mesin industri yang disembur-hambur dari kota para pejabat. Air sisa polusi itu mereka tadah di atas petak sawah sendiri setelah membayar pajak bumi kepada Negara. Mereka lalu membeli traktor, pupuk, pestisida, buatan pabrik-pabrik yang tanpa kenal musim memuntah dan menyebarkan polusi di atas langit, tempat dimana para petani menanti air hujan sepanjang tahun. Air hujan polusif, sawah, padi, traktor, pupuk, pestisida, mereka olah sepanjang hari selama musim tanam, dengan tenaga dan biaya tinggi diantaranya karena transportasi yang pelit dari negara. Panen tiba diselingi hiburan panen raya. Pejabat Negara hadir. Harga gabah rendah, keuntungan minim bahkan merugi. Tragis benar cara budak negara ini menjalankan tugasnya.

Beras telah meruah-limpah di kota, diangkut oleh truk-truk pengangkut pengrusak jalan. Tapi petani bukan penanam beras melainkan penanam padi. Mereka dengan mengirit, memakan beras dari gabah simpanan sendiri. Negara dan pejabatnya menyulap gabah, menjual dan memakan beras sepuas nafas sebuas nafsu. Ketika kemarau datang lagi, para budak Negara ini harus semakin irit, dan Negara asyik mengkalkulasi stok beras berikut kerugian karena dicuri oleh pejabatnya sendiri.

“Allahu Akbar! Bismillahirrahmanirrahiim …”

Jalan desa itu tetap saja dengan jarak amatematiknya; gulita sepinya di malam, terang sepinya di siang hari. Berkabut debu kemarau berbedak lumpur hujan menutupi lubang-lubang. Seperti menyimpan banyak bekas luka yang enggan sembuh. Sesekali dimusim suksesi, lubang luka itu dikerasi dengan batu atau tanah galian. Ketika musim hujan tiba, lubang itu menganga lagi dan memaksa truk pengangkut beras menurunkan harga gabah. Jalan desa itu sebenarnya lurus dan datar saja. Tapi desa itu, si budak negera itu, berjalan dalam likuan tajam dan tanjakan hampir vertikal. Menempuhnya menguras energi dengan jarak tempuh yang minim.

Sepinya jalan desa adalah gambaran sepinya desa itu sendiri. Sepi informasi, sepi pendidikan, sepi kesehatan. Satu-satunya yang tidak sepi adalah hiburan musik dari CD-CD bajakan yang berdentum keras dari hampir setiap rumah, dentuman musik yang membuat desa itu seperti lingkungan pasar musik tanpa selera, dentuman menjadi lebih penting dari harmoni nada. Sialan! Desa itu benar-benar telah menjadi mangsa konsumtif dari para produsen. Rumah-rumah boleh berbeda kualitas, tetapi televisi dan media musik playernya rata dengan kualitas terbaru. Dibeli cash pasca panen atau kredit di awal musim tanam. Bahkan sesekali jika kumpul, mereka dengan bangganya menghitung-hitung; tinggal berapa dari jumlah warga yang tidak memiliki sepeda motor.

“Sami Allaahu liman Hamidah! Allaahu Akbar! …”

Kampung itu tak pandai khawatir dengan anak-anaknya yang hanya bisa mengakses sekolah hingga Sekolah Dasar yang dibangun 32 tahun lalu. Sekolah miskin guru dan survive dengan guru miskinnya. Sekolah miskin perpustakaan, gedung rapuh serapuh otak anak-anak sekolah yang diracuni aneka warna dan jenis jajanan junk food. Tak pernah gelisah dengan anak-anaknya setelah tamat SD tak dapat lanjut karena jarak SMP yang sangat jauh. Anak-anak itu harus menggunakan sepeda roda sepanjang 10 km pergi-pulang selama tiga tahun jika ingin tamat SMP. Ajaib jika ada anak yang tamat SMA, karena SMA hanya ada di kota kabupaten.

“Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakaatuh…!”

“… Astaghfirullah al-‘Azhim”. Aku membasuh muka dalam-dalam. Sepanjang shalatku jadinya tidak husyuk. Yah, biarlah. Tuhankan Maha Tahu. Aku memang terlalu emosional mengadu kepada Tuhan. Begitulah. Aduannya faseh lalu Tuhannya terlupa. “Ya Tuhan, masih perlukah aku menceritakan kepadamu ihwal kampungku dalam shalatku?”

Amin dan Opu mengantarku pulang. Jalan desa itu tetap saja dengan jarak amatematiknya; gulita sepinya di malam, terang sepinya di siang hari. Berkabut debu kemarau berbedak lumpur hujan menutupi lubang-lubang. Aku seperti diantar pulang ke dalam shalat. Ya, kampung dalam shalat. Sebenarnya kampung itu memang ada dalam dunia nyata, tapi dengan wajahnya seperti itu, ia tak pernah terlihat. “Tuhan, engkau juga tak melihatnya?”

Pinrang, Februari 2008