hamdan
tuhan yang menyiapkan bijian
mentari bulan dan bintang
untuk memberi cahaya
jika engkau izinkan
sempatkan aku mengembarai sepi
di belantara yang gila ini
cukuplah aku sebiji bintang kecil
yang mengedipkan sunyi
pada gulitanya malam
hadirnya tidak mengusik
mentari bulan gemintang lainnya
tapi secukup membantu
benderangnya malam
kata bintang kecil;
“tidak semua kita harus
menjadi mentari atau bulan”
bintang kecil tak pernah
menanggal lepas kedip kemuning
dan senyum mungil sepinya
atau menenteng bonceng pergi
untuk sekedar mencicipi
rasa cakrawala cahaya
bintang kecil sepi
tasyakur dan ikhlas dengan keadaannya;
diselimut gelap dicibir kabut
diejek mendung disambar petir
dipadam siang dirayu bulan
ia tetap bintang kecil kedip kemuning
senyum mungil sepinya
tak perlu risau ia
akan selalu trima dan beri senyum
dalam zikir kerlip
bintang kecil sepi;
hanya yang mendekatnya
yang dapat melihatnya besar
:seperti juga tuhan
cahaya kemuliaan; tak terbatas
ruang waktu yang berubah
tak ada lebih lagi untuk esok
kecuali dia
makassar, 07 maret 2008
Halaman
Sabtu, 08 Maret 2008
KASIHAN JUGA AKU
hamdan
kasihan juga aku kepada senyum
dimana ia menjadi ladang
untuk menanam benih bahagia
mengapa harus bebani senyum
sepenuhnya dengan bahagia
sedang ia juga dapat rekah di padang luka?
kasihan juga aku kepada bahagia
dimana ia menjadi ladang
untuk menanam benih senyum
mengapa harus bebani bahagia
sepenuhnya dengan senyum
sedang ia juga dapat rekah di padang duka?
Makassar, 07 maret 2008
kasihan juga aku kepada senyum
dimana ia menjadi ladang
untuk menanam benih bahagia
mengapa harus bebani senyum
sepenuhnya dengan bahagia
sedang ia juga dapat rekah di padang luka?
kasihan juga aku kepada bahagia
dimana ia menjadi ladang
untuk menanam benih senyum
mengapa harus bebani bahagia
sepenuhnya dengan senyum
sedang ia juga dapat rekah di padang duka?
Makassar, 07 maret 2008
DONGI-DONGI MERPATI
Puisi Rismayani
Kelas VII3
MTsN Mangempang Kab. Barru
ditulis dalam bahasa bugis
di Barru, Rabu 20 Februari 2008
engka dongi-dongi leppei pole saranna
engka ana’-ana’ natikkengngi dongi-dongie
naolliwi sibawanna nalao peddiriwi dongi-dongie
nappa naleppessengi ri lalengnge
dongi-dongi merpati maddarai ajena
engka ana’-ana’ makessingnge natikkengngi
natiwi lao bolana nappa naburai ajena
pajani ajena nappa naleppesengi
dongi-dongi merpati luttui mabela
laoni siba punnana
terjemahan dalam bahasa Indonesia
oleh hamdan, di Makassar, Minggu 24 Februari 2008
BURUNG MERPATI
seekor merpati lepas dari sarang
seorang anak menangkapnya pergi
dengan mengajak teman, menyakiti sang merpati
dilepas ia di jalan
sang merpati kaki berdarah
seorang anak berhati mulia menangkapnya
ajak ke rumah mengobat luka kaki
sembuh lalu dilepas
sang merpati kini terbang jauh
pergi bersama belai kasih alamnya
Kelas VII3
MTsN Mangempang Kab. Barru
ditulis dalam bahasa bugis
di Barru, Rabu 20 Februari 2008
engka dongi-dongi leppei pole saranna
engka ana’-ana’ natikkengngi dongi-dongie
naolliwi sibawanna nalao peddiriwi dongi-dongie
nappa naleppessengi ri lalengnge
dongi-dongi merpati maddarai ajena
engka ana’-ana’ makessingnge natikkengngi
natiwi lao bolana nappa naburai ajena
pajani ajena nappa naleppesengi
dongi-dongi merpati luttui mabela
laoni siba punnana
terjemahan dalam bahasa Indonesia
oleh hamdan, di Makassar, Minggu 24 Februari 2008
BURUNG MERPATI
seekor merpati lepas dari sarang
seorang anak menangkapnya pergi
dengan mengajak teman, menyakiti sang merpati
dilepas ia di jalan
sang merpati kaki berdarah
seorang anak berhati mulia menangkapnya
ajak ke rumah mengobat luka kaki
sembuh lalu dilepas
sang merpati kini terbang jauh
pergi bersama belai kasih alamnya
Selasa, 04 Maret 2008
SENJA YANG LEWAT
puisi hamdan
mendung yang menutup senja
slalu saja mengirim dingin
lewat sepoian anginnya
kau tau Alisa?
aku benci suasana itu
mendung yang menutup senja
slalu saja mendesak malam
ketika siang masih enggan berakhir
kau tau Alisa?
aku pernah tertipu olehnya
mendung yang menutup senja
slalu saja memaksa para unggas
hentikan nyanyi merdunya
padahal saat itu Alisa
aku sedang menyiapkan
musik iringan untuk mereka
mendung yang menutup senja
kali ini datang lagi di depanku
menggelapkan lalu mengipas dedaun
yang mestinya masih terlihat hijau
dan jendela tertutup lebih awal
kau tau Alisa? aku benci suasana itu
karena gelisahku selalu muncul olehnya;
"mendung yang menutup senja"
makassar, 26 november 2007
mendung yang menutup senja
slalu saja mengirim dingin
lewat sepoian anginnya
kau tau Alisa?
aku benci suasana itu
mendung yang menutup senja
slalu saja mendesak malam
ketika siang masih enggan berakhir
kau tau Alisa?
aku pernah tertipu olehnya
mendung yang menutup senja
slalu saja memaksa para unggas
hentikan nyanyi merdunya
padahal saat itu Alisa
aku sedang menyiapkan
musik iringan untuk mereka
mendung yang menutup senja
kali ini datang lagi di depanku
menggelapkan lalu mengipas dedaun
yang mestinya masih terlihat hijau
dan jendela tertutup lebih awal
kau tau Alisa? aku benci suasana itu
karena gelisahku selalu muncul olehnya;
"mendung yang menutup senja"
makassar, 26 november 2007
SUARA
Oleh: Hamdan
Mullah telah bersumpah untuk tidak meminjamkan keledainya kepada siapa pun. Ketika sore, seorang kawan datang ke rumahnya untuk meminjam keledainya. Mullah berkata keledainya tak ada di rumah.
Tetapi saat itu pula keledai itu, yang diikat di belakang rumah, tiba-tiba mulai bersuara.
"Katamu keledai itu tak ada di sini. Kalau begitu itu suara apa?" tanya si kawan.
"Aku heran padamu," kata Mullah. "Setelah empat puluh tahun bersahabat, kamu masih tidak percaya perkataanku, dan bahkan kamu lebih mempercayai suara keledai."
Di republik ini hanya ada satu hak yang wajib (bedakan dengan boleh) bagi warga negara untuk mendapatkannya. Sementara hak-hak lainnya masih saja terus dirampas, baik separuh-separuh atau sepenuhnya, sembunyi-sembunyi atau terang-terangan. Hak yang wajib (dipaksakan) itu adalah hak suara. Dan tentunya hak tersebut hanya diberikan pada saat PEMILU, yang disuguhkan dengan sentuhan kata indah; wajib pilih.
Hak suara dan wajib pilih adalah dua hal yang cukup membingungkan. Hak yang baru saja didapatkan atau diterima, dengan segera harus (wajib) diberikan kembali kepada orang yang memberi. Demikianlah keterkaitan hak suara dengan wajib pilih, bumbu demokrasi yang sangat segar dan menggairahkan.
Karena itu setidaknya ada dua suara yang kita kenal yakni, pertama; suara yang dikeluarkan dengan bunyi tertentu, dan itu berarti tak terhitung (uncountable voices). Dan kedua; suara yang dikeluarkan tanpa bunyi tetapi dengan tanda tertentu, yang dengan sendirinya dapat terhitung (countable voices); suara dikeluarkan tanpa bunyi melainkan dengan bocoran kertas bergambar yang tepat. Sebab bocoran yang salah akan dianggap sebagai bukan suara (batal). Dengan suara kedua (countable voices) inilah republik Indonesia setiap lima tahun menentukan presidennya sebagai pemerintah eksekutif, sejumlah anggota legislatif, dan seterusnya, agar republik ini dapat berjalan dengan baik.
Pemilu tiba-tiba menjadi sebuah arena yang menyulap suara rakyat dari uncountable voices menjadi countable voices. Mengapa harus disulap? Karena negeri kita memang menyukai hal-hal yang indah pada permukaannya walaupun seluruh isi dalamnya palsu dengan mutu terendah. Dan memang demokrasi tidak kualitatif tetapi kuantitatif, berjuta-juta suara tanpa bunyi bahkan tanpa kata. Hak suara menjadi wajib disampaikan dengan alasan bahwa pemilu merupakan tahap yang paling penting dan menentukan bagi kehidupan bernegara. Dan ternyata memang dalam pemilu, suara tidak untuk di dengar tetapi untuk dihitung, makanya tak perlu berbunyi. Konsekwensinya, pasca pemilu hak suara menjadi masa lalu yang di kenang sebagai nostalgia politik bagi rakyat.
Dalam pemilu ada juga suara yang berbunyi dan tetap uncountable, yakni suara keras yang disampaikan melalui media tertentu yang mampu menembus seluruh pelosok negeri. Suara itu adalah bujuk rayu yang secara alami pasti berisi janji. Untuk dapat bersuara seperti ini diperlukan sumber daya yang, cukup dengan menguasai politik bujuk rayu dan bujuk rayu politik. Disamping itu tentunya harus memenuhi mekanisme bujuk rayu dimana seluruh kewenangan tentang bujuk rayu dan tujuannya berada di tangan partai.
Baik suara maupun calon yang akan dipilih (disuarai) semuanya harus melaui partai. Pembujuk (calon) dan sasaran bujuk (rakyat) dikelolah oleh partai. Rakyat yang memiliki suara tidak pernah dirumuskan sebagai anggota oleh partai, karenanya lebih sering disebut sebagai massa. Dengan sendirinya partai tak pernah perlu bertanggung jawab kepada rakyat setelah bujuk rayunya berhasil menghipnotis mereka. Sementara di lain sisi, rakyat tak pernah memilih calonnya secara langsung, karena sebelumnya, partai lebih dulu memilih dan menentukan calon yang boleh dipilih oleh rakyat. Maka sesungguhnya negara kita bukan negara demokrasi tetapi lebih tepat disebut partikrasi; dari partai-oleh partai-dan untuk partai.
Hak suara yang dimiliki rakyat akhirnya menjadi suara keledai yang diikat Mullah di halaman belakang rumahnya. Ril sebagai suara rakyat tetapi tidak perlu terdengar sebagai suara rakyat, melainkan sebagai suara partai. Ia dapat bersuara tetapi dari halaman belakang yang tak harus dipercaya. Dan partai sebagai intitusi nepotisme gaya baru, dapat berjalan merumuskan kebijakannya sendiri-sendiri mengendarai negri ini, tanpa harus menimbang suara keledai.
Makassar, 14 April 2004.
Mullah telah bersumpah untuk tidak meminjamkan keledainya kepada siapa pun. Ketika sore, seorang kawan datang ke rumahnya untuk meminjam keledainya. Mullah berkata keledainya tak ada di rumah.
Tetapi saat itu pula keledai itu, yang diikat di belakang rumah, tiba-tiba mulai bersuara.
"Katamu keledai itu tak ada di sini. Kalau begitu itu suara apa?" tanya si kawan.
"Aku heran padamu," kata Mullah. "Setelah empat puluh tahun bersahabat, kamu masih tidak percaya perkataanku, dan bahkan kamu lebih mempercayai suara keledai."
Di republik ini hanya ada satu hak yang wajib (bedakan dengan boleh) bagi warga negara untuk mendapatkannya. Sementara hak-hak lainnya masih saja terus dirampas, baik separuh-separuh atau sepenuhnya, sembunyi-sembunyi atau terang-terangan. Hak yang wajib (dipaksakan) itu adalah hak suara. Dan tentunya hak tersebut hanya diberikan pada saat PEMILU, yang disuguhkan dengan sentuhan kata indah; wajib pilih.
Hak suara dan wajib pilih adalah dua hal yang cukup membingungkan. Hak yang baru saja didapatkan atau diterima, dengan segera harus (wajib) diberikan kembali kepada orang yang memberi. Demikianlah keterkaitan hak suara dengan wajib pilih, bumbu demokrasi yang sangat segar dan menggairahkan.
Karena itu setidaknya ada dua suara yang kita kenal yakni, pertama; suara yang dikeluarkan dengan bunyi tertentu, dan itu berarti tak terhitung (uncountable voices). Dan kedua; suara yang dikeluarkan tanpa bunyi tetapi dengan tanda tertentu, yang dengan sendirinya dapat terhitung (countable voices); suara dikeluarkan tanpa bunyi melainkan dengan bocoran kertas bergambar yang tepat. Sebab bocoran yang salah akan dianggap sebagai bukan suara (batal). Dengan suara kedua (countable voices) inilah republik Indonesia setiap lima tahun menentukan presidennya sebagai pemerintah eksekutif, sejumlah anggota legislatif, dan seterusnya, agar republik ini dapat berjalan dengan baik.
Pemilu tiba-tiba menjadi sebuah arena yang menyulap suara rakyat dari uncountable voices menjadi countable voices. Mengapa harus disulap? Karena negeri kita memang menyukai hal-hal yang indah pada permukaannya walaupun seluruh isi dalamnya palsu dengan mutu terendah. Dan memang demokrasi tidak kualitatif tetapi kuantitatif, berjuta-juta suara tanpa bunyi bahkan tanpa kata. Hak suara menjadi wajib disampaikan dengan alasan bahwa pemilu merupakan tahap yang paling penting dan menentukan bagi kehidupan bernegara. Dan ternyata memang dalam pemilu, suara tidak untuk di dengar tetapi untuk dihitung, makanya tak perlu berbunyi. Konsekwensinya, pasca pemilu hak suara menjadi masa lalu yang di kenang sebagai nostalgia politik bagi rakyat.
Dalam pemilu ada juga suara yang berbunyi dan tetap uncountable, yakni suara keras yang disampaikan melalui media tertentu yang mampu menembus seluruh pelosok negeri. Suara itu adalah bujuk rayu yang secara alami pasti berisi janji. Untuk dapat bersuara seperti ini diperlukan sumber daya yang, cukup dengan menguasai politik bujuk rayu dan bujuk rayu politik. Disamping itu tentunya harus memenuhi mekanisme bujuk rayu dimana seluruh kewenangan tentang bujuk rayu dan tujuannya berada di tangan partai.
Baik suara maupun calon yang akan dipilih (disuarai) semuanya harus melaui partai. Pembujuk (calon) dan sasaran bujuk (rakyat) dikelolah oleh partai. Rakyat yang memiliki suara tidak pernah dirumuskan sebagai anggota oleh partai, karenanya lebih sering disebut sebagai massa. Dengan sendirinya partai tak pernah perlu bertanggung jawab kepada rakyat setelah bujuk rayunya berhasil menghipnotis mereka. Sementara di lain sisi, rakyat tak pernah memilih calonnya secara langsung, karena sebelumnya, partai lebih dulu memilih dan menentukan calon yang boleh dipilih oleh rakyat. Maka sesungguhnya negara kita bukan negara demokrasi tetapi lebih tepat disebut partikrasi; dari partai-oleh partai-dan untuk partai.
Hak suara yang dimiliki rakyat akhirnya menjadi suara keledai yang diikat Mullah di halaman belakang rumahnya. Ril sebagai suara rakyat tetapi tidak perlu terdengar sebagai suara rakyat, melainkan sebagai suara partai. Ia dapat bersuara tetapi dari halaman belakang yang tak harus dipercaya. Dan partai sebagai intitusi nepotisme gaya baru, dapat berjalan merumuskan kebijakannya sendiri-sendiri mengendarai negri ini, tanpa harus menimbang suara keledai.
Makassar, 14 April 2004.
AKU BARU MENGERTI
segala puji Allah yang
mengeluarkan bunyi dari getar
tanpa memisahkan keduanya
aku mengerti kasih ketika
cahaya mentari mengedip mataku
dari butiran embun selimut daun
dia telah mengirimku pagi
tuk belajar mengawali hari
dengan basmalah gerak
aku kemana mencari ruang sembunyi
bahkan wajahmu menjadi ruang itu
ruang-ruang yang menyatu tanpa batas
ah… rekah senyummu
menyekapku melampaui waktu
aku kemana mencari ruang sembunyi
bahkan wajahmu menjadi bunyi
suara tanpa bunyi tanpa suara
ah… indah tawamu sayap rupanya
terbangkan aku lampaui jingga pagi
aku mengerti mentari
sebagai ungkapan salam
tuk belajar mengawali hari
dengan basmalah getar
segala puji Allah yang
menyusun getar tanpa bunyi
seperti rasa tanpa dengar
Makassar, 02 februari 2008
mengeluarkan bunyi dari getar
tanpa memisahkan keduanya
aku mengerti kasih ketika
cahaya mentari mengedip mataku
dari butiran embun selimut daun
dia telah mengirimku pagi
tuk belajar mengawali hari
dengan basmalah gerak
aku kemana mencari ruang sembunyi
bahkan wajahmu menjadi ruang itu
ruang-ruang yang menyatu tanpa batas
ah… rekah senyummu
menyekapku melampaui waktu
aku kemana mencari ruang sembunyi
bahkan wajahmu menjadi bunyi
suara tanpa bunyi tanpa suara
ah… indah tawamu sayap rupanya
terbangkan aku lampaui jingga pagi
aku mengerti mentari
sebagai ungkapan salam
tuk belajar mengawali hari
dengan basmalah getar
segala puji Allah yang
menyusun getar tanpa bunyi
seperti rasa tanpa dengar
Makassar, 02 februari 2008
AHAI…
segala puji lagi maha suci Allah
yang menguasai bunyi dan gerak
ahai…
tuhan rupanya sengaja membuat dunia
dari kualita-kualita tak sempurna
seperti bumi yang berselimut air
kunang-kunang tak berarti tanpa
malam dan kedip kemuningnya
bagaimana aku dapat mengundang pipit
tanpa mengajak serta siul yang
ia lagukan sambil melirik lompat
pada ayun ranting sepoian angin?
aku mengunjungi ruang jism
kualita-kualita itu adalah tempat
dimana al-jamil menitip
sedikit bayang wajahnya
untuk menjadi zikir bagi siapa saja
yang tamasya di dalamnya
yang fana adalah kualita al-jamil
juga suci seperti yang baqa
mengapa membuangnya sedikitpun
sedang ia dapat dikumpul satu-satu
sebagai menghitung butiran tahlil
yang fana adalah kualita ilahi
dimana setiap ruang eksistennya
al-malik al-kudduus selalu menyapa
dengan mewangi senyum al-rahim
melampaui kesturi dalam mimpi pezuhud
segala puji lagi maha suci Allah
yang menguasai bunyi dan gerak
makassar, 02 februari 2008.
yang menguasai bunyi dan gerak
ahai…
tuhan rupanya sengaja membuat dunia
dari kualita-kualita tak sempurna
seperti bumi yang berselimut air
kunang-kunang tak berarti tanpa
malam dan kedip kemuningnya
bagaimana aku dapat mengundang pipit
tanpa mengajak serta siul yang
ia lagukan sambil melirik lompat
pada ayun ranting sepoian angin?
aku mengunjungi ruang jism
kualita-kualita itu adalah tempat
dimana al-jamil menitip
sedikit bayang wajahnya
untuk menjadi zikir bagi siapa saja
yang tamasya di dalamnya
yang fana adalah kualita al-jamil
juga suci seperti yang baqa
mengapa membuangnya sedikitpun
sedang ia dapat dikumpul satu-satu
sebagai menghitung butiran tahlil
yang fana adalah kualita ilahi
dimana setiap ruang eksistennya
al-malik al-kudduus selalu menyapa
dengan mewangi senyum al-rahim
melampaui kesturi dalam mimpi pezuhud
segala puji lagi maha suci Allah
yang menguasai bunyi dan gerak
makassar, 02 februari 2008.
Langganan:
Postingan (Atom)