Halaman

Senin, 09 Juni 2008

waktu meneror

Cerpenku



“Beritahulah aku tentang waktu!”
“Waktu? Waktu hanyalah siang, lalu malam, dan pergantiannya. Di antara itu ada subuh dan pagi, ada sore dan petang. Begitu seterusnya; sehari, seminggu, sebulan, setahun, seabad, sezaman, dan sejarah”.
Mendapat jawaban, dengan wajah tanpa reaksi, penanya segera saja berterima kasih dan pergi berlalu. Menghilang dalam kesibukan pagi kota. Hilang seperti tanpa waktu. Sementara orang yang ia tanya tinggal melongok dengan mulut ternganga diganjal rasa aneh. Aneh! Tapi kemudian ia belok juga ke kantornya. Ia seorang karyawan, orang kantoran, budak atau mungkin juga majikan sang waktu.
Peduli amat. Mungkin yang bertanya tadi seorang supervisior publik di kantor ini, pikirnya. Mungkin dengan cara begitu; menyindir tentang waktu, ia bermaksud menegur atau membina karyawan yang kurang disiplin. Ah, jika benar, itu hanya sebatas cara dan strategi yang sedikit halus, yang berarti juga muslihat. Benar! Muslihat! Manajemen kan juga muslihat. Siapa yang bisa menipu kemacetan agar tidak telat ngantor? Siapa bilang kendaraan selalu membuat perjalanan lebih cepat dengan jalur kota dan lalu lintas sepadat susunan batu bata?
Di kantor bercerita ia dengan rekan-rekan bahkan bossnya. Semula mereka kurang percaya. Mungkin saja orang itu bermaksud menanyakan pukul berapa. Mungkin juga dia gila atau mabuk, atau baru terjaga setelah tersesat dan ketiduran semalam. Namun kemudian mereka terbawa dalam kondisi percaya dan tidak, setelah boss mereka juga mengaku pernah bertemu dengan orang yang sama.
“Sebenarnya orang itu tidak aneh”, kata boss. “Tapi pertanyaannya yang membuat segalanya jadi aneh; beritahulah aku tentang waktu! Adakah jawaban lain tentang waktu?”
Retorika boss meniru orang itu, membuat beberapa karyawan semakin serius mendengar. Jam menunjukkan pukul 09.30. Sedang kendaraan terdengar semakin sesak dan sibuk. Teriakan-teriakan klakson adalah bahasa modern, sebuah kata tentang waktu. Dan kemacetan adalah protes sang waktu kepada manusia atas dirinya yang didesak untuk berlari.
“Apa yang ia tanyakan boss?”
“Iya boss, pertanyaannya bagaimana?”
“Beritahulah aku tentang waktu!”
“Lalu, jawaban boss?”
“Time is money, kataku. Sedetik bisa berarti sejuta.”
Satu persatu karyawan berkumpul di ruang lobby, meninggalkan pekerjaan dan lebih tertarik dengan cerita boss. Cerita tentang orang aneh. Lingkaran terbentuk layaknya penonton jualan obat. Dan si boss mulai mondar-mandir dalam lingkaran.
“Di zaman modern waktu adalah segalanya. Sedang segalanya itu dapat dinilai dengan uang. Karena itulah kami mengharghai waktu”. Ia tenang sejenak. “Saat itu saya menyebut ‘kami’ sambil mengacungkan telapak tangan ke kantor ini,” jelas boss dengan sedikit bangga.
Itu juga yang biasa disampaikan boss kepada karyawannya. Bukan hanya kepada orang aneh itu. Sekejap ruang-ruang semakin ramai dengan cerita orang aneh. Tidak hanya di ruang kantor itu, tapi juga di setiap ruang bahkan sekecil dan sesempit mungkin. Waktu menerobos ruang. Sampai waktu kantor habis. Kantor sepi kembali. Tapi sepi juga waktu. Sore, petang, malam, subuh, pagi. Kantor. Waktu begitu cepat.
***
Dalam sebuah laporan diberitakan bahwa tingkat produktivitas Kota dalam beberapa hari terakhir menurun mencapai sepuluh persen. Sebab utama adalah faktor aktivitas dan produktivitas kerja yang terpuruk drastis. Hampir sebulan terakhir di setiap instansi negeri maupun swasta, pusat-pusat bisnis, pendidikan, kesehatan, hiburan, warung kopi, seluruhnya terhipnotis dan terhanyut oleh cerita tentang orang aneh yang bertanya tentang waktu. Saling bertukar cerita, gossip, bergerombol, dan pekerjaan menjadi selingan. Bahkan secara diam-diam seperti biasanya, untuk hal-hal yang dapat mengganggu ketertiban dan kestabilan, pihak keamanan kota lebih awal melarang segala bentuk peliputan media. Sebab hal ini dapat berakibat sangat fatal bagi keamanan Kota. Namun akhirnya berita ini besar tanpa media.
“Kriiiiiiiing…kriiiiing…..!!”
“Hallo, selamat pagi. Dengan kepolisian Kota. Ada yang bisa kami bantu?”
“Beritahulah aku tentang waktu!”
Pak polisi dengan sedikit tersentak langsung menutup mic telepon dan memberi isyarat ke rekannya untuk menyadap. Tapi semuanya sia-sia. Hubungan telah putus. Putus karena tak ada jawaban hanya dalam durasi sepersekian detik. Dalam sehari seluruh jaringan telepon mendapat pertanyaan yang sama secara berurut tentunya. Hari itu kota dihujani deringan telepon tentang waktu. Jatuh deras melebihi kecepatan cahaya tepat di urat saraf. Seluruh warga tak mau mengangangkat telepon untuk kedua kalinya. Semua ragu, khawatir, takut dengan orang aneh. Pertanyaan tentang waktu oleh orang aneh telah menjalar ke kawat-kawat telepon dan menderingkan seluruh nomor, seluruh operator ponsel, SMS, e-mail, dan website; beritahulah aku tentang waktu!
“Ting-ting-ting-ting-ting …,” nada midi dering lagu menghitung hari, terdengar dari sebuah handphone milik seorang gadis ABG.
“Hi, hallo say…” dengan suara lembut khas ABG.
“Hi…, beritahulah aku tentang waktu!”
“Tentang waktunya? Oo … Mas Deni kan? Mas, aku rindu deh. Kangeeen banget. Waktunya sudah pasti kan? Mas, jangan ditunda lagi ya?”
“Beritahulah aku tentang waktu!”
“Hallo …, Mas De…..”
lagi-lagi hubungan terputus. Para ABG berponsel terganggu. Seluruh pesan SMS adalah pertanyaan tentang waktu. Nomor ponsel orang aneh diblokir. muncul lagi nomor baru. Blokir. Baru lagi. Kota resah; subuh, pagi, siang, sore, petang, malam. Waktu berjalan meneror.
“Orang aneh itu telah memasuki segala bagian sampai ke bagian yang paling pojok dari kota kita. Bagaimana menurut bapak sebagai pejabat Kota?” Tanya seorang wartawan.
“Ini benar-benar meresahkan dan mengancam Kota. Coba anda pikir, adakah jawaban lain tentang waktu? Ini adalah teror menakutkan setelah robohnya WTC. Ini bentuk teror baru yang dibuat tanpa ledakan dan darah.”
Pertanyaan tentang waktu bervirus issu teror. Orang aneh masuk dalam DPO. Pihak keamanan sedikit kesulitan mengidentifikasi apalagi menangkap pelaku. Keadaan lalu membaik dengan sendirinya. Tak ada lagi yang pernah bertemu dengan orang aneh. Entah kemana ia menghilang. Namun yang tertinggal di dalam benak warga Kota adalah waktu. Waktu dimana Kota akan meledak dan hancur lebur. Kota sedang menunggu waktu.
“Saudara-saudara warga kota, kami menghimbau agar tetap beraktivitas seperti biasa. Kita tinggal perlu waktu sedikit untuk menagkapnya. Kota ini menyatakan perang terhadap segala teror.” Tepuk tangan formalitas menggemuruh mengakhiri konferensi pers. Walaupun pertanyaan belum tuntas.
“Terhadap teror atau teroris pak?” Tanya seorang wartawan.
“Kita tidak butuh interpretasi. Yang tidak menyatakan perang dapat dianggap melawan pemerintah dan berarti mendukung teror,” balasnya kemudian.
“Sedikit lagi pak. Butuh berapa lama menangkap pelaku? Publik butuh ketegasan tentang waktu.”
“Kita butuh waktu. Anda harus bersabar. Cepat atau lambat pasti tertangkap!”
Tujuh belas orang telah dicurigai karena memiliki pertanyaan atau pernyataan yang sama tentang waktu, termasuk si wartawan. Keadaan mencekam kembali. Orang-orang harus mengontrol diri agar tidak terpeleset berbicara tentang waktu. Sehelai surat dan amplop tercecer di jalan menjadi barang bukti. Alamat pengirim fiktif, namun alamat tujuan lengakap ke sebuah Pesantren, dianulir memiliki hubungan erat dengan pelaku. Beberapa waktu terakhir pak Kiyai memang sering berceramah keliling dan memperingatkan kepada jama’ahnya tentang waktu yang akan tiba. Waktu yang menggemparkan, yang saat ini hampir semua orang mengabaikannya: Kiamat!
Pak Kiyai diciduk di Puskesmas saat sedang berobat. Ditahan dengan tuduhan teror dan menciptakan teror baru. Juga terindikasi memiliki hubungan dengan jaringan teror internasional yang meledakkan beberapa tempat. Membakar lokalisasi pelacuran dan perjudian Kota dua tahun lalu, merugikan Kota, dan sejumlah pengembangan kasus lain. Itu melanggar HAM. Sedang istri dan saudaranya sedang dimintai keterangan sebagai saksi dan mungkin menjadi tersangka. Kini pak Kiyai menunggu waktu disebuah tempat dimana waktu berjalan sangat lambat dan monoton.

Pinrang, 23 Oktober 2002.

kampung dalam shalatku










Cerpenku


“Allahu akbar Allahu akbar! …”

Lafaz-lafaz iqamat dari sebuah mushallah kecil rumah sakit itu mengawali shalat jama’ah Maghrib. Aku dan dua teman terperangah dengan waktu yang terasa semakin cepat melalui menara mungil sebuah mushallah. Lafaz dari speaker menara betul-betul telah mendapatkan otoritasnya. Seperti di tempat lain, dari menara-menara masjid yang berlimpah, speaker masjid juga telah mendapatkan otoritas yang luar biasa, dari dan untuk sebagian ummat Islam. Tapi sebenarnya kini, apalagi di kota-kota terbilang maju, lafaz-lafaz dari speaker masjid lebih berfungsi sebagai klakson yang sengaja dibunyikan untuk meminta sedikit peluang lewat. Ya, semacam interupsi jalanan.

“Ash-shalatu jaami’ah rahimakumullah! Luruskan shaf dan rapatkan!”

Diskusi kami dibuatnya terputus, diskusi yang kami sendiri sudah lupa awal dari mana dan untuk apa, diskusi tentang birokrasi dinegeri ini. Birokrasi kacau, untuk tidak menyebut hancur. Hampir setengah jam ngobrol kami bertiga. Dua teman; Amin dan Opu yang bersamaku sesungguhnya belum saling kenal. Aku kebetulan pulang kampung. Siang itu aku berencana bertemu Opu di rumah kontrakan ataupun di kantornya. Setiba di kota, aku SMS. Dibalasnya bahwa ia sedang di kantor daerah. Aku ke sana. Pikirku kebetulan Amin berkantor di sana dan sudah cukup lama tidak bertemu dengannya setelah terakhir kami bertemu sangat singkat, 10 menit tidak lebih. Ketika itu aku memberi ucapan selamat menempuh hidup baru. Sekejap, lalu ia bersama pasangannya dengan pakaian adat pengantin menuju ke rumah mempelai perempuan untuk menjalankan resepsi pernikahan mereka.

Hari ini setelah sekian bulan, bertemulah kami bertiga. Mudah sekali mengatur pertemuan dengan teknologi celluler. Hanya dengan sedikit tarian ibu jemari.

Mereka berdua PNS yang sebenarnya sedang mencari model sendiri untuk adaptasi terhadap kultur birokrasi. Birokrasi bagi Amin adalah makhluk mekanik modern yang di dalamnya manusia menjadi komponen kecil semacam sim card, terinstal dan terprogram sedemikian rupa.

“Di kantor kami ini susah. Tidak membuat wawasan bertambah, malah sebaliknya makin sempit dan ketinggalan. Keahlian digunakan seadanya dan lebih sering dimanipulasi. Bayangkan! Saya diminta menyelesaikan sesuatu atas dasar tugas kantor atau pengabdian alias tanpa biaya. Selesai. Lalu pekerjaan itu tercatat menggunakan biaya operasional dalam pelaporannya. Bagi yang tidak punya keahlian, sama saja dengan yang punya; gaji sama karena golongan sama. Yang membuat orang berbeda adalah jabatan, bukan keahlian dan produktifitas. Yang punya jabatan tinggi, punya otoritas perintah kiri kanan, paling kurang kerjaan di tengah kerjaan yang memang kurang. Atau di tengah kesibukan melaksanakan kerjaan yang mengabaikan manajemen. Yah, memang kurang. Karena bagian kerjaan yang bisa diselesaikan 10 orang diisi oleh 30 sampai 40 orang.” Demikian Amin memulai cerita.

“Itulah budaya dan karakter birokrat kita Min. Tidak hanya di kantor ini, tapi di instansi mana saja. Lalu, kenapa tidak merintis jalan untuk jadi pejabat saja?” Tanyaku.

“Pejabat? Apa hebatnya menjadi pejabat PNS? Toh pejabat tidak bisa memperbaiki atau merubah nasib seseorang, kecuali dengan melanggar aturan main dan mencederai yang lain. Kadang suatu kegiatan mereka ikuti dengan serius untuk memperoleh penghargaan akan pengabdian, padahal penghargaan kan mestinya “diberikan”, bukan “dicari-cari” seperti itu. Penghargaan kok dicari? Lantas apa hebatnya menempel ramai tanda penghargaan di baju PDH? Merasa lebih hebat? Hebat, dengan kualitas masih begitu-gitu juga? Saya benar-benar bingung dengan kantor milik Negara ini!”

“Itu namanya berkecamuk Min; bekerja keras cari-cari muka. Muka dan perut mereka dapat, tetapi kehilangan kakinya. Tapi itu juga wajar, karena masyarakat kita juga begitu caranya menghargai seseorang. Masyarakat dan Negara kita tidak pernah menghargai keahlian, melainkan jabatan meskipun tanpa keahlian. Hanya ada satu keahlian yang hebat dan mendapat apresiasi tinggi di negeri ini; keahlian memperoleh, memainkan dan mempertahankan jabatan”.

“Adalagi program yang kedengarannya hebat, tapi akhirnya jadi bombastis”, Amin melanjutkan ceritanya. Opu mengisap rokok dalam-dalam, hingga ke pelosok problem yang dihadapinya. Nampak ia ingin menumpahkan, tapi kali ini baru ditumpahkan melalui semburan asap rokoknya.

“Program penerapan teknologi informatika misalnya. Itu juga bombastis akhirnya, sekedar menjadi program mahal yang menghabiskan banyak uang Negara. Program itukan konsekwensinya tidak membutuhkan karyawan banyak. Beranikah mereka mengurangi jumlah pegawai? Tidak! Malah sebaliknya menambah”.

“Allaahu Akbar! Sami Allaahu liman Hamidah! …”

Pertemuan kami begitu singkat, sebentar lagi Amin dan Opu mengantarku pulang. Pulang ke sebuah desa yang sebenarnya dekat tapi akhirnya menjadi jauh. Sebuah jarak yang tidak memiliki bilangan matematis. Dekat di mata jauh di kaki. Di kota besar, jenis jarak seperti ini muncul karena keramaian transportasi yang melahirkan kemacetan. Di desaku jarak jenis ini muncul karena kekurangan transportasi. Jalan di malam hari betul-betul menjadi malam karena gulitanya yang sepi, dan siang benar-benar menjadi siang karena benderangnya panas yang sepi. Jalan di kemaraunya berkabut debu, di hujannya bergenang lumpur.

Desaku benar-benar telah menjadi senjata Negara. Benar-benar telah menjadi kampung para budak negara. Budak yang tugasnya menyiapkan stok pangan bagi kelangsungan hidup diri mereka sendiri dan terpenting bagi kelangsungan hidup Pejabat Negara; suatu komponen kecil dominan yang menjalankan makhluk mekanik bernama birokrasi.

Desa itu bahkan bukan lagi menjadi kampung, melainkan telah menjadi kantor bagi petani. Tragis benar cara budak negara ini menjalankan tugas. Saat kemarau datang dengan ketidak pastian kapan berakhir, para budak yang disebut petani menunggu hujan datang untuk mengairi persawahan mereka. Penantian tak pasti itu pun datang juga. Hujan mengguyur. Air tumpahan dari langit itu adalah sisa-sisa polusi mesin industri yang disembur-hambur dari kota para pejabat. Air sisa polusi itu mereka tadah di atas petak sawah sendiri setelah membayar pajak bumi kepada Negara. Mereka lalu membeli traktor, pupuk, pestisida, buatan pabrik-pabrik yang tanpa kenal musim memuntah dan menyebarkan polusi di atas langit, tempat dimana para petani menanti air hujan sepanjang tahun. Air hujan polusif, sawah, padi, traktor, pupuk, pestisida, mereka olah sepanjang hari selama musim tanam, dengan tenaga dan biaya tinggi diantaranya karena transportasi yang pelit dari negara. Panen tiba diselingi hiburan panen raya. Pejabat Negara hadir. Harga gabah rendah, keuntungan minim bahkan merugi. Tragis benar cara budak negara ini menjalankan tugasnya.

Beras telah meruah-limpah di kota, diangkut oleh truk-truk pengangkut pengrusak jalan. Tapi petani bukan penanam beras melainkan penanam padi. Mereka dengan mengirit, memakan beras dari gabah simpanan sendiri. Negara dan pejabatnya menyulap gabah, menjual dan memakan beras sepuas nafas sebuas nafsu. Ketika kemarau datang lagi, para budak Negara ini harus semakin irit, dan Negara asyik mengkalkulasi stok beras berikut kerugian karena dicuri oleh pejabatnya sendiri.

“Allahu Akbar! Bismillahirrahmanirrahiim …”

Jalan desa itu tetap saja dengan jarak amatematiknya; gulita sepinya di malam, terang sepinya di siang hari. Berkabut debu kemarau berbedak lumpur hujan menutupi lubang-lubang. Seperti menyimpan banyak bekas luka yang enggan sembuh. Sesekali dimusim suksesi, lubang luka itu dikerasi dengan batu atau tanah galian. Ketika musim hujan tiba, lubang itu menganga lagi dan memaksa truk pengangkut beras menurunkan harga gabah. Jalan desa itu sebenarnya lurus dan datar saja. Tapi desa itu, si budak negera itu, berjalan dalam likuan tajam dan tanjakan hampir vertikal. Menempuhnya menguras energi dengan jarak tempuh yang minim.

Sepinya jalan desa adalah gambaran sepinya desa itu sendiri. Sepi informasi, sepi pendidikan, sepi kesehatan. Satu-satunya yang tidak sepi adalah hiburan musik dari CD-CD bajakan yang berdentum keras dari hampir setiap rumah, dentuman musik yang membuat desa itu seperti lingkungan pasar musik tanpa selera, dentuman menjadi lebih penting dari harmoni nada. Sialan! Desa itu benar-benar telah menjadi mangsa konsumtif dari para produsen. Rumah-rumah boleh berbeda kualitas, tetapi televisi dan media musik playernya rata dengan kualitas terbaru. Dibeli cash pasca panen atau kredit di awal musim tanam. Bahkan sesekali jika kumpul, mereka dengan bangganya menghitung-hitung; tinggal berapa dari jumlah warga yang tidak memiliki sepeda motor.

“Sami Allaahu liman Hamidah! Allaahu Akbar! …”

Kampung itu tak pandai khawatir dengan anak-anaknya yang hanya bisa mengakses sekolah hingga Sekolah Dasar yang dibangun 32 tahun lalu. Sekolah miskin guru dan survive dengan guru miskinnya. Sekolah miskin perpustakaan, gedung rapuh serapuh otak anak-anak sekolah yang diracuni aneka warna dan jenis jajanan junk food. Tak pernah gelisah dengan anak-anaknya setelah tamat SD tak dapat lanjut karena jarak SMP yang sangat jauh. Anak-anak itu harus menggunakan sepeda roda sepanjang 10 km pergi-pulang selama tiga tahun jika ingin tamat SMP. Ajaib jika ada anak yang tamat SMA, karena SMA hanya ada di kota kabupaten.

“Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakaatuh…!”

“… Astaghfirullah al-‘Azhim”. Aku membasuh muka dalam-dalam. Sepanjang shalatku jadinya tidak husyuk. Yah, biarlah. Tuhankan Maha Tahu. Aku memang terlalu emosional mengadu kepada Tuhan. Begitulah. Aduannya faseh lalu Tuhannya terlupa. “Ya Tuhan, masih perlukah aku menceritakan kepadamu ihwal kampungku dalam shalatku?”

Amin dan Opu mengantarku pulang. Jalan desa itu tetap saja dengan jarak amatematiknya; gulita sepinya di malam, terang sepinya di siang hari. Berkabut debu kemarau berbedak lumpur hujan menutupi lubang-lubang. Aku seperti diantar pulang ke dalam shalat. Ya, kampung dalam shalat. Sebenarnya kampung itu memang ada dalam dunia nyata, tapi dengan wajahnya seperti itu, ia tak pernah terlihat. “Tuhan, engkau juga tak melihatnya?”

Pinrang, Februari 2008

Sabtu, 08 Maret 2008

BINTANG KECIL; SEPI

hamdan

tuhan yang menyiapkan bijian
mentari bulan dan bintang
untuk memberi cahaya

jika engkau izinkan
sempatkan aku mengembarai sepi
di belantara yang gila ini

cukuplah aku sebiji bintang kecil
yang mengedipkan sunyi
pada gulitanya malam

hadirnya tidak mengusik
mentari bulan gemintang lainnya
tapi secukup membantu
benderangnya malam

kata bintang kecil;
“tidak semua kita harus
menjadi mentari atau bulan”

bintang kecil tak pernah
menanggal lepas kedip kemuning
dan senyum mungil sepinya
atau menenteng bonceng pergi
untuk sekedar mencicipi
rasa cakrawala cahaya

bintang kecil sepi
tasyakur dan ikhlas dengan keadaannya;
diselimut gelap dicibir kabut
diejek mendung disambar petir
dipadam siang dirayu bulan

ia tetap bintang kecil kedip kemuning
senyum mungil sepinya

tak perlu risau ia
akan selalu trima dan beri senyum
dalam zikir kerlip


bintang kecil sepi;
hanya yang mendekatnya
yang dapat melihatnya besar
:seperti juga tuhan

cahaya kemuliaan; tak terbatas
ruang waktu yang berubah
tak ada lebih lagi untuk esok
kecuali dia


makassar, 07 maret 2008

KASIHAN JUGA AKU

hamdan

kasihan juga aku kepada senyum
dimana ia menjadi ladang
untuk menanam benih bahagia

mengapa harus bebani senyum
sepenuhnya dengan bahagia
sedang ia juga dapat rekah di padang luka?

kasihan juga aku kepada bahagia
dimana ia menjadi ladang
untuk menanam benih senyum

mengapa harus bebani bahagia
sepenuhnya dengan senyum
sedang ia juga dapat rekah di padang duka?


Makassar, 07 maret 2008

DONGI-DONGI MERPATI

Puisi Rismayani
Kelas VII3
MTsN Mangempang Kab. Barru
ditulis dalam bahasa bugis
di Barru, Rabu 20 Februari 2008



engka dongi-dongi leppei pole saranna
engka ana’-ana’ natikkengngi dongi-dongie
naolliwi sibawanna nalao peddiriwi dongi-dongie
nappa naleppessengi ri lalengnge

dongi-dongi merpati maddarai ajena
engka ana’-ana’ makessingnge natikkengngi
natiwi lao bolana nappa naburai ajena
pajani ajena nappa naleppesengi

dongi-dongi merpati luttui mabela
laoni siba punnana



terjemahan dalam bahasa Indonesia
oleh hamdan, di Makassar, Minggu 24 Februari 2008


BURUNG MERPATI

seekor merpati lepas dari sarang
seorang anak menangkapnya pergi
dengan mengajak teman, menyakiti sang merpati
dilepas ia di jalan

sang merpati kaki berdarah
seorang anak berhati mulia menangkapnya
ajak ke rumah mengobat luka kaki
sembuh lalu dilepas

sang merpati kini terbang jauh
pergi bersama belai kasih alamnya

Selasa, 04 Maret 2008

SENJA YANG LEWAT

puisi hamdan














mendung yang menutup senja
slalu saja mengirim dingin
lewat sepoian anginnya

kau tau Alisa?
aku benci suasana itu

mendung yang menutup senja
slalu saja mendesak malam
ketika siang masih enggan berakhir

kau tau Alisa?
aku pernah tertipu olehnya

mendung yang menutup senja
slalu saja memaksa para unggas
hentikan nyanyi merdunya
padahal saat itu Alisa
aku sedang menyiapkan
musik iringan untuk mereka

mendung yang menutup senja
kali ini datang lagi di depanku
menggelapkan lalu mengipas dedaun
yang mestinya masih terlihat hijau
dan jendela tertutup lebih awal

kau tau Alisa? aku benci suasana itu
karena gelisahku selalu muncul olehnya;
"mendung yang menutup senja"

makassar, 26 november 2007

SUARA

Oleh: Hamdan


Mullah telah bersumpah untuk tidak meminjamkan keledainya kepada siapa pun. Ketika sore, seorang kawan datang ke rumahnya untuk meminjam keledainya. Mullah berkata keledainya tak ada di rumah.

Tetapi saat itu pula keledai itu, yang diikat di belakang rumah, tiba-tiba mulai bersuara.

"Katamu keledai itu tak ada di sini. Kalau begitu itu suara apa?" tanya si kawan.

"Aku heran padamu," kata Mullah. "Setelah empat puluh tahun bersahabat, kamu masih tidak percaya perkataanku, dan bahkan kamu lebih mempercayai suara keledai."

Di republik ini hanya ada satu hak yang wajib (bedakan dengan boleh) bagi warga negara untuk mendapatkannya. Sementara hak-hak lainnya masih saja terus dirampas, baik separuh-separuh atau sepenuhnya, sembunyi-sembunyi atau terang-terangan. Hak yang wajib (dipaksakan) itu adalah hak suara. Dan tentunya hak tersebut hanya diberikan pada saat PEMILU, yang disuguhkan dengan sentuhan kata indah; wajib pilih.

Hak suara dan wajib pilih adalah dua hal yang cukup membingungkan. Hak yang baru saja didapatkan atau diterima, dengan segera harus (wajib) diberikan kembali kepada orang yang memberi. Demikianlah keterkaitan hak suara dengan wajib pilih, bumbu demokrasi yang sangat segar dan menggairahkan.

Karena itu setidaknya ada dua suara yang kita kenal yakni, pertama; suara yang dikeluarkan dengan bunyi tertentu, dan itu berarti tak terhitung (uncountable voices). Dan kedua; suara yang dikeluarkan tanpa bunyi tetapi dengan tanda tertentu, yang dengan sendirinya dapat terhitung (countable voices); suara dikeluarkan tanpa bunyi melainkan dengan bocoran kertas bergambar yang tepat. Sebab bocoran yang salah akan dianggap sebagai bukan suara (batal). Dengan suara kedua (countable voices) inilah republik Indonesia setiap lima tahun menentukan presidennya sebagai pemerintah eksekutif, sejumlah anggota legislatif, dan seterusnya, agar republik ini dapat berjalan dengan baik.

Pemilu tiba-tiba menjadi sebuah arena yang menyulap suara rakyat dari uncountable voices menjadi countable voices. Mengapa harus disulap? Karena negeri kita memang menyukai hal-hal yang indah pada permukaannya walaupun seluruh isi dalamnya palsu dengan mutu terendah. Dan memang demokrasi tidak kualitatif tetapi kuantitatif, berjuta-juta suara tanpa bunyi bahkan tanpa kata. Hak suara menjadi wajib disampaikan dengan alasan bahwa pemilu merupakan tahap yang paling penting dan menentukan bagi kehidupan bernegara. Dan ternyata memang dalam pemilu, suara tidak untuk di dengar tetapi untuk dihitung, makanya tak perlu berbunyi. Konsekwensinya, pasca pemilu hak suara menjadi masa lalu yang di kenang sebagai nostalgia politik bagi rakyat.

Dalam pemilu ada juga suara yang berbunyi dan tetap uncountable, yakni suara keras yang disampaikan melalui media tertentu yang mampu menembus seluruh pelosok negeri. Suara itu adalah bujuk rayu yang secara alami pasti berisi janji. Untuk dapat bersuara seperti ini diperlukan sumber daya yang, cukup dengan menguasai politik bujuk rayu dan bujuk rayu politik. Disamping itu tentunya harus memenuhi mekanisme bujuk rayu dimana seluruh kewenangan tentang bujuk rayu dan tujuannya berada di tangan partai.

Baik suara maupun calon yang akan dipilih (disuarai) semuanya harus melaui partai. Pembujuk (calon) dan sasaran bujuk (rakyat) dikelolah oleh partai. Rakyat yang memiliki suara tidak pernah dirumuskan sebagai anggota oleh partai, karenanya lebih sering disebut sebagai massa. Dengan sendirinya partai tak pernah perlu bertanggung jawab kepada rakyat setelah bujuk rayunya berhasil menghipnotis mereka. Sementara di lain sisi, rakyat tak pernah memilih calonnya secara langsung, karena sebelumnya, partai lebih dulu memilih dan menentukan calon yang boleh dipilih oleh rakyat. Maka sesungguhnya negara kita bukan negara demokrasi tetapi lebih tepat disebut partikrasi; dari partai-oleh partai-dan untuk partai.

Hak suara yang dimiliki rakyat akhirnya menjadi suara keledai yang diikat Mullah di halaman belakang rumahnya. Ril sebagai suara rakyat tetapi tidak perlu terdengar sebagai suara rakyat, melainkan sebagai suara partai. Ia dapat bersuara tetapi dari halaman belakang yang tak harus dipercaya. Dan partai sebagai intitusi nepotisme gaya baru, dapat berjalan merumuskan kebijakannya sendiri-sendiri mengendarai negri ini, tanpa harus menimbang suara keledai.

Makassar, 14 April 2004.

AKU BARU MENGERTI

segala puji Allah yang
mengeluarkan bunyi dari getar
tanpa memisahkan keduanya


aku mengerti kasih ketika
cahaya mentari mengedip mataku
dari butiran embun selimut daun
dia telah mengirimku pagi
tuk belajar mengawali hari
dengan basmalah gerak

aku kemana mencari ruang sembunyi
bahkan wajahmu menjadi ruang itu
ruang-ruang yang menyatu tanpa batas
ah… rekah senyummu
menyekapku melampaui waktu

aku kemana mencari ruang sembunyi
bahkan wajahmu menjadi bunyi
suara tanpa bunyi tanpa suara
ah… indah tawamu sayap rupanya
terbangkan aku lampaui jingga pagi

aku mengerti mentari
sebagai ungkapan salam
tuk belajar mengawali hari
dengan basmalah getar

segala puji Allah yang
menyusun getar tanpa bunyi
seperti rasa tanpa dengar


Makassar, 02 februari 2008

AHAI…

segala puji lagi maha suci Allah
yang menguasai bunyi dan gerak


ahai…
tuhan rupanya sengaja membuat dunia
dari kualita-kualita tak sempurna

seperti bumi yang berselimut air
kunang-kunang tak berarti tanpa
malam dan kedip kemuningnya

bagaimana aku dapat mengundang pipit
tanpa mengajak serta siul yang
ia lagukan sambil melirik lompat
pada ayun ranting sepoian angin?

aku mengunjungi ruang jism
kualita-kualita itu adalah tempat
dimana al-jamil menitip
sedikit bayang wajahnya
untuk menjadi zikir bagi siapa saja
yang tamasya di dalamnya

yang fana adalah kualita al-jamil
juga suci seperti yang baqa
mengapa membuangnya sedikitpun
sedang ia dapat dikumpul satu-satu
sebagai menghitung butiran tahlil

yang fana adalah kualita ilahi
dimana setiap ruang eksistennya
al-malik al-kudduus selalu menyapa
dengan mewangi senyum al-rahim
melampaui kesturi dalam mimpi pezuhud

segala puji lagi maha suci Allah
yang menguasai bunyi dan gerak

makassar, 02 februari 2008.

Rabu, 27 Februari 2008

hari ini apa?


hari kita adalah amarah
dimana anak-anak manusia
mengembara memikul-mikul dendamnya
hingga melupakan kembali
kampung nurani sendiri yang
dahulu digantung di atas rembulan

hari kita adalah api
dimana anak-anak manusia
lahap menelan matahari
hingga jiwa-jiwa jadi kemarau
kering tandus terbakar
menghanguskan sungai-sungai nurani,
dan api menjadi hitam

hari kita adalah kebencian
dimana anak-anak manusia
mencipta sejuta tembang dengan
sejuta syair hitam yang indah:
bersama menabur genderang
sambil menyanyikan lagu perang
“mari, mari menanam amarah
sirami dengan api dendam dan benci
maju, maju menangkan sejarah
bahwa kita memang berani mati”

hari kita adalah perang
dimana anak-anak- manusia
membuat sungai dari air mata
yang dibanjiri oleh darahnya;
kematian lebih penting dari kehidupan
di sini, kita bukan orang mati
melainkan bangkai-bangkai busuk

hari kita adalah darah
dimana anak-anak manusia
diteguk darahnya oleh bumi
hingga mual dan mabuk:
di sini kehidupan menjadi lembab dan amis
wajahnya menjadi vampire
menghisap darah dari apa saja
dari siapa saja yang tersisa

hari kita adalah air mata
dimana anak-anak manusia
meraung-raung menangisi
kematian yang dihidupinya sendiri
kehidupan yang dibunuhnya sendiri:
di sini kasih sayang tinggal cerita fiksi
dari para penyair krempeng, hingga:
tangis menjadi air mata
air mata menjadi peluh
peluh menjadi nanah
nanah menjadi air minum
air minum menjadi air mata
air mata menjadi batu

hari kita adalah penantian
dimana anak-anak manusia
merindukan kicauan burung
untuk sedikit menghibur embun
yang mendidih dan kering
menanti pucuk memucuk daun
tapi ini duka, ini luka
masih terlalu dalam dan kelam
bagi sebiji rasa rindu
tapi duka luka ini
adalah lembah yang gelap pekat
bagi setitik lentera yang
menggigil diterpa angin rimba

hari kita adalah kematian
dimana anak-anak manusia
menitip nyawanya kepada perang
mengalungkan jantungnya di langit
sebagai medali kematian yang mati

di mana anak-anak manusia?



Makasar, 14 April 2001

in-door-nesia


door!

jika kita berani berperang atas nama tuhan
lalu atas nama siapa lagi kita berani berdamai

atas nama indonesia?
atas nama keberanian?

door!

bangsa ini memang sudah berani
menjual darah dan nyawanya dengan harga murah
sudah berani membuat neraka dan merobohkan sorga

bangsa ini lalu menjadi darah
neraka; bau amis kematian

door!

sedangkan dahulu ketika
nietzche bersama teman-temannya
telah membunuh tuhan
aku melihat indonesia
masih sempat mencebur wajahnya
berenang-renang ke kedalaman sinar bulan
cahaya bintang-bintang; bahkan
menimang dan memeluknya, erat

door!

masih terdengar indah suara
anak-anak dari bilik sekolahan:
“ini budi dan wati
mereka pergi sekolah
budi-wati anak pintar
dan rajin membantu ibu”

door!

masih terdengar khusyuk
kidung-kidung suci azan dan zikir
dari menara-menara allah
haleluya! subhanallah!

door!

anak-anak itu kini membungkus tuhan
dengan merah putih di kepala

door!

pagi, semoga datang membawa mimpi
tentang indosesia tanpa peluru


sungguminasa, 09 februari 2002

kenapa?


Karena kita hidup dari:


pajak pelacuran
harga tanda tangan
harga pembodohan
harga tarian
bunga luar taman
mahalnya kepalsuan
anggaran politik
belanja para pemabuk
pajak pinggir laut
pajak pinggir pantat
penjualan nama rakyat
pajak identitas
pajak orang stress
harga nenek moyang
hutan yang hilang
kemaluan yang kecil
keringat darah, hitam
harga air mata

karena kita baru belajar makan
dan hafal undang-undang
karena kita masih bisa: lari…!
karena kita masih bisa bilang:
“saudara-saudara sekalian
mohon maaf atas segala kesalahan
lalu kini dan nanti”

karena kita telah lupa pada Tuhan


Makassar, 12 Agustus 1998

dari kehendak

DARI KEHENDAK YANG TERTINDAS
KE RADIKALISME HASRAT


Hal yang cukup serius menjadi wacana sepanjang study tentang manusia terutama dalam dunia filsafat dan theologi adalah, gagasan tentang kebebasan manusia. Gagasan ini mengalir indah dan menarik perhatian setiap orang hingga mereka mencebur diri lalu hanyut di dalamnya. Dari mana dan bagaimana gagasan ini muncul serta berkembang sedemikian baik hampir tanpa interupsi dalam sejarah manusia ?

Dari Voluntarisme ke Tuhan Mati

Gagasan kebebasan setidaknya dikemukakan lebih awal oleh bangsa Iblis kepada manusia dalam kasus “Surga” --jika ini dianggap sebagai bagian dari sejarah manusia. Saat itulah pertama kali manusia mendemonstrasikan kebebasannya secara sempurna. Saat itu manusia pertama kali memfungsikan kehendak (voluntas, will, iradah)–nya. Pertama kali meninggalkan (mematikan?) Tuhan dalam dirinya, dan pertama kali mencairkan hasrat (desire, hawa’)–nya. Manusia menerima dan melaksanakan gagasan kebebasan dari Iblis untuk membongkar kemapanan sistem surgawi. Pemberontakan ini juga merupakan awal dari interupsi manusia akan eksistensinya yang di dominasi oleh eksistensi (atau intervensi) Ilahiyah.

Memahami kebebasan akan erat kaitannya dengan persoalan kehendak. Sepanjang perkembangan filsafat, persoalan kehendak tidak menjadi pembahasan yang mengantar pada terbentuknya suatu aliran tertentu. Namun di sejumlah literatur dapat ditemukan bahwa kajian tentang kehendak menjadi bagian terpenting dan tak terpisahkan dari perdebatan para filosof.

Pada masa Yunani Kuno pembahasan mengenai kehendak dapat diwakili oleh Plato dan Aristoteles. Plato membagi jiwa manusia menjadi tiga tingkatan yakni, pertama; akal atau rasio sebagai jiwa tertinggi. Kedua; kehendak yang merupakan alat bagi akal. Dan ketiga; jiwa tempat bersemayamnya nafsu-nafsu yang harus diatur oleh akal. Dalam hal ini Plato menempatkan kehendak sebagai pelayan dari akal. Hampir senada dengan itu, Aristoteles membagi keutamaan (arete) menjadi dua macam yakni, keutamaan intelektual sebagai yang tertinggi, dan keutamaan moril. Yang pertama bersumber dari rasio dan yang kedua bersumber pada kehendak manusia (Misnal Munir, 1997).

Pemahaman tentang kehendak yang disubordinasi di bawah akal atau rasio setidaknya bertahan hingga abad pertengahan setelah Thomas Aquinas mencoba mengukuhkannya (Harun Hadiwijoyo; 1980). Bahkan kemenangan akal atas kehendak mencapai puncaknya ketika rasionalisme berhasil memberikan pengaruhnya yang besar dalam dunia filasafat dan sains. Rene Descartes dengan “cogito ergo sum”-nya membawa realitas dunia menjadi bagian dari dan dikendalikan oleh ide-ide atau gagasan manusia. Namun Descartes mengakui bahwa meskipun akal menjadi pengendali (pembimbing) bagi kehendak, tetapi akal tetap memiliki keterbatasan. Sedangkan kehendak menjadikan manusia memiliki kebebasannya dan mampu menembus kebuntuan pemikiran.

Memasuki era modern, pembahasan tentang peran dan kedudukan kehendak dalam diri manusia diawali dari Perancis oleh Maine de Biran. Peranan kehendak dalam diri manusia diangkat pada tataran aku (subyek) walaupun masih bersifat temporal (Toeti Heraty; 1984). Pemikiran tentang kehendak memperoleh tempat yang paling dominan dalam pemikiran Schopenhauer dan Nietzsche. Keduanya sependapat bahwa hakekat manusia adalah kehendaknya.

Bagi Schopenhauer hakekat manusia tidak terletak pada pemikiran, kesadaran, atau rasio, melainkan pada kehendaknya. Kehendak menjadi pendorong bagi seluruh aktivitas kehidupan. Kehendak yang lebih tinggi adalah kehendak yang menunjuk pada aktifitas berpikir, sedangkan kehendak yang lebih rendah adalah kehendak yang menunjuk pada aktifitas tubuh. Sementara Nietzsche beranggapan bahwa kehendak adalah pendorong untuk berkuasa. Dengan pemikiran ini Nietzsche meniadakan segala pribadi atau apa saja yang lebih berkuasa bagi manusia, segala yang dapat menjadi penghalang bagi kehendak untuk berkuasa, termasuk dalam hal ini Tuhan. Dengan demikian manusia dapat menjadi manusia unggul.

Deskripsi di atas memperlihatkan adanya sebuah arus pembebasan kehendak --dan juga pembebasan manusia-- dari segala apa saja yang membelenggunya. Proses ini berkembang secara otoperfektif melalui proses pembiakan (sikatrisasi) gagasan dan aksi. Dari kehendak yang dikomandoi oleh akal atau rasio menuju kehendak yang mengendalikan akal. Dari kehendak yang didominasi oleh intervensi eksternal-transenden menuju kehendak yang melahirkan “aku” sebagai pembunuh Tuhan. Dari semangat voluntarisme hingga teologi Tuhan mati. Proses ini tumbuh dan berkembang biak di kebun-kebun humanisme hingga membentuk kehidupan modernisme ekstrim.

Semangat “kehendak bebas” ini menjadi karakter penting bagi segala hal yang dikaitkan dengan kemoderenan. Mereka yang menganggap agama sebagai sesuatu yang normatif, secara bersamaan akan meganggap diri sebagai manusia moderen yang boleh berbangga meruntuhkan tembok Ilahiyah. Anak yang menganggap orang tua, guru, atau sekolah sebagai penasehat ulung, secara bersamaan akan menjauhkan diri atau menghindar untuk selanjutnya hidup tanpa nasehat. Mereka yang menganggap adat, norma, atau tradisi sebagai suatu hal yang dapat menghambat, secara bersamaan akan meninggalkannya dan hidup menurut kehendak sendiri.

Kehendaklah yang merubah pikiran atau persepsi dan mendorong untuk melakukan tindakan atau perbuatan. Kehendaklah yang menjadi pusat segala-galanya bagi manusia. Kehendak yang dimaksud adalah kehendak dalam pengertian “menghendaki” dan “tidak menghendaki” (menolak) sesuatu. Kehendaklah yang mengatur (mendorong) untuk berfikir dan menolak untuk berfikir. Serta kehendaklah yang mendorong untuk berbuat dan menolak untuk berbuat sesuatu.

Oleh karenanya kesadaran modernitas terbangun bukan atas dasar semangat rasionalisme, melainkan oleh semangat voluntarisme untuk memperoleh segala bentuk kebebasan. Rasionalisme hanyalah alat bantu untuk menjastifikasi atau melegalisasi semangat voluntarisme melalui epistimologi dan argumentasi yang akurat. Semangat voluntarisme membangun kesadaran otonomi manusia dan menggeser segala sesuatu yang bersifat sakral profetik, apalagi mitos yang berbau tahayyul. Gagasan tentang Tuhan mengalami kritik yang demikian radikal dan tergeser oleh otonomi manusia, bahkan Tuhan menjadi mati atas kehendak manusia.

Gagasan tentang kematian Tuhan misalnya dikembangkan oleh Nietzsche, Kierkegaard, Fuerbach, Marx, Sartre, dan lain-lain. Penolakan terhadap eksistensi Tuhan adalah penolakan Tuhan yang di rasakan dalam konteks otonomi manusia yang bebas. “Tuhan mati” merupakan keputusan teologi dalam arti ia bukan hanya penyangkalan tapi juga sekaligus mengalami “tiadanya Tuhan”. (Rr. Siti Murtiningsih; 1997).

Menuju Revolusi Hasrat Postmodern

Kesadaran modernisme yang menempatkan otonomi manusia (kehendak) sebagai sentrum eksistensialitas, tidak saja berhasil membunuh Tuhan tetapi juga menjadi embrio budaya postmodern (postmodern culture). Postmodern merupakan sebuah wacana yang didalamnya di ciptakan ruang-ruang bagi pembebasan hasrat manusia dari berbagai kungkungan, sehingga segala bentuk hasrat menemukan kanal-kanal pelepasannya di segala aspek kehidupan. Karenanya hasrat tak pernah terpuaskan dan bahkan sebaliknya cepat merasa bosan, ia terus mencari salurannya yang tak terhingga. Dalam wacana Kapitalisme hal ini justru di salurkan lewat mekanisme “kebosanan terencana”, planned absolescance (Yasraf ; 2000).

Jacques Lacan mengemukakan bahwa hasrat merupakan mekanisme utama pengubah sosial dan penggerak kebudayaan, mendorong untuk mencari hal-hal baru. Olehnya itu hasrat dapat bersifat konstruktif maupun destruktif. Kedua energi hasrat ini diberi ruang yang sama untuk hidup, dan dibuat mengambang setelah berbagai batasnya didekonstruksi secair mungkin.


Setidaknya ada empat model pembebasan hasrat yang dikemukakan Yasraf dalam wacana postmodern. Pertama; skizofrenia yang merupakan terminologi khas psikoanalisis dan dalam wacana posmo digunakan untuk menjelaskan fenomena sosial budaya khususnya fenomena pembebasan hasrat dari berbagai aturan, kekangan, kemapanan, keluarga, masyarakat, negara bahkan agama, dalam rangka mengakui dan melepaskan segala hal yang bersifat non-human pada diri manusia. Revolusi hasrat ini menggiring dan mengarahkan manusia posmo menuju tiga posisi psikis yakni, orphans; tidak dibatasi oleh aturan keluarga atau sosial, atheis; tidak dikendalikan oleh satu pun kepercayaan, dan nomads; tidak pernah berada pada keyakinan atau teritoral yang sama (inkonsistensi).


Model kedua; adalah hipermoralitas sebagai suatu kondisi dimana takaran moralitas tak dapat dipegang lagi karena telah melampaui batas-batas benar-salah, baik-buruk, serta manfaat-mudharat. Segalanya melebur satu sama lain tanpa katagori melebihi redefinisi moralitas Nietzsche. Karenanya, segala tindakan dilaksanakan bukan lagi atas dasar kesadaran moral melainkan berdasarkan logika (pemenuhan, pembebasan) hasrat.

Model ketiga adalah; konsumerisme melalui proyek Kapitalisme global dimana hasrat mengalir tanpa interupsi. Lewat mesin hasratnya yang berputar tanpa henti, Kapitalisme merasuk secara halus ke dalam jagat mental secara kolektif dan mencetak watak konsumerisme massal. Proses ini sebagai teror (kekerasan yang dilakukan secara halus) terhadap diri lewat jaringan semiotasi hidup (gaya, makna status, penampilan).


Kapitalisme global mendesain “keinginan” menjadi “kebutuhan”, dan selanjutnya menggeser logika “kebutuhan” kearah logika “hasrat”. Dunia konsumerisme menjadi dunia permainan gaya hidup yang dibentuk oleh nilai-nilai keterpesonaan (fascination) dan ekstasi, yang memuja “kecepatan” (speed) pergantian image, gaya, gaya hidup, tontonan, dan identitas. Hidup akan membawa manusia bertamasya ke dalam fragmentasi ruang material (tamasya materi) dengan kecepatan yang begitu tinggi. Kecepatan membentuk panorama masyarakat posmo yang dilukiskan Arthur Kroker dan David Cook sebagai panorama panik (panic), histeria atau euphoria. Panik Kapital, komoditi, media, uang, seks dan tontonan.

Model keempat adalah perangkap gaya hidup. Masyarakat posmo dikonstruksi secara sosial ke dalam berbagai ruang gaya hidup, sehingga terciptalah ketergantungan mereka pada irama pergantian gaya, citra serta status yang ditawarkan. Tak ada penolakan (massa) terhadap apa saja yang disuguhkan, melainkan sikap diam (tanpa kritik atau interupsi) menerima sekaligus bentuk kontradiktif pada diri mereka: khusuk beribadah sambil rajin maksiat, khusuk dalam perenungan dan hanyut pula dalam ekstasi konsumerisme, Ramadhan berjilbab setelah itu telanjang lagi. Dalam tataran ini agama serta segala simbolnya menjadi “gaya hidup” belaka, suatu ketika menjadi trend dan saat yang lain menjadi sampah kultur. Demikian pula dengan cinta, pernikahan, keluarga, pergaulan, solidaritas, dan sebagainya.

Sebagai monster kultur yang begitu menakutkan, dimanakah revolusi hasrat --yang kami sebut sebagai radikalisme hasrat-- dapat berkembang biak dengan subur? Satu-satunya lahan yang paling baik adalah Demokrasi yang terbangun dari semangat kebebasan manusia bahwa; tak ada demokrasi tanpa kebebasan. Monster ini akan berkembang seiring dengan proses demokratisasi disegala aspek kehidupan. Tidak hanya sampai ke dalam sebuah lingkungan rumah tangga sebagai kelompok terkecil dari masyarakat. Tetapi lebih dalam sampai ke pojok-pojok tersepi dari aspek psikologi setiap individu. Secara sempurna ia akan mendominasi elemen-elemen kesadaran etika dan segera menggantikannya dengan kesadaran hasrat.

Kebebasan yang dikembangkan oleh kesadaran hasrat adalah kebebasan dalam pengertian yang sebenarnya, serta apa yang sering disebut sebagai kebebasan bertanggung jawab. Bahwa sepanjang seorang dapat bertanggung jawab ia dapat melakukan apa saja, bahwa semua yang bisa dilakukan boleh dilakukan. Sementara kesadaran etik tidak akan mampu hidup di lahan demokrasi menghadapi monster revolusi hasrat atau radikalisme hasrat. Sebab kesdaran etika berada pada frame; tidak semua yang bisa dilakukan boleh dilakukan.

Itulah selintas gambaran tentang ide-ide kebebasan yang mengalir sepanjang sejarah manusia. Ide Iblis menjadi sumber inspirasi dan terus berkembang secara otoperfektif hingga ke masa Yunani Kuno, Dunia Islam, Abad Pertengahan, Rennaissance, Modernisme, hingga Postmodernisme. Dari volunterisme ke teologi Tuhan mati menuju revolusi hasrat posmo yang indikasinya begitu nampak di sekitar kita. Mungkin juga anda telah terperangkap ke dalamnya, dan dalam kesadaran hasrat itu siapa saja dapat menjadi aktor utama, anak-anak monster dari radikalisme hasrat. Siapkah negeri ini menghadapinya? Bagaimana dengan anda?
Bila modernisme dapat dianggap gagal membunuh Tuhan secara teologis dalam diri manusia, maka posmo dengan revolusi hasratnya akan membuat Tuhan menjadi frustrasi dan selanjutnya “bunuh diri”.

Makassar, 10 September 2003

Penglihatan

Penglihatan

Dari puncak yang sepinya jingga, aku dan matahari melihat hamparan bumi dalam sorotan yang menangkap seluruh wajahnya. “Bumi ini harus dijaga”, kataku layaknya Descartes dalam sorotan cogito ergo sum-nya. “Ah, bukan! Aku harus menjaga diriku terhadap bumi”.

Tak satu pun manusia yang terlahir normal, tidak mengetahui cahaya (light, nur). Ia yang membuat mata dapat melihat. Begitu hebatnya, cahaya seperti menghipnotis manusia untuk menjadikannya sebagai kebutuhan penting dan dicari. Sebaliknya menghipnotis manusia membenci dan karenanya menghindari kegelapan. Sehingga tidak seorang pun yang mengetahui cahaya tetapi tidak memahami betap pentingnya cahaya.. Dalam cara pandang oposisi-binner (gelap-terang); cahaya selalu menjadi pahlawan yang mengusir kegelapan. Jika kegelapan mengalahkan terang, maka terang menjadi sesuatu yang dicari untuk segera membunuh kegelapan. Manusiakah terhipnotis cahaya atau manusiakah yang telah menuhankan cahaya?

Cahaya dan penglihatan memiliki kesamaan pada unsur; sorotan terhadap obyek yang ditujunya. Sorotan tajam cahaya selalu memaksa kegelapan dan benda-benda yang dikandungnya menjadi cerah, terang. Namun karena kegelapan dan benda-benda yang dikandungnya adalah sesuatu yang lain dari cahaya, maka ia dalam sorotan tajam cahaya itu, dengan caranya sendiri mempertahankan eksistensinya. Perlawanan itu kemudian melahirkan bayang-bayang. Bagi cahaya, bayang-bayang adalah kegelapan dalam bentuknya yang berbeda; samar.

Sorotan tajam penglihatan sering kali dengan lancang, semaunya, mengirim pengetahuan dan abstraksi ke otak tentang sesuatu yang terlihat itu untuk selanjutnya (mungkin?) membentuk persepsi sebagai realitas. Penglihatan memaksakan lahirnya sebuah realitas baru untuk mengaanggapnya sebagai realitas sesungguhnya. Namun karena sesuatu yang terlihat itu memiliki realitasnya sendiri, ia dalam sorotan tajam penglihatan akan terus bertahan. Perlawanannya akan melahirkan pengetahuan, abstraksi bahkan persepsi baru; realitas bayang-bayang.

Akan hal itu, oleh Jacques Derrida, seorang filosof Prancis kelahiran El-Biar Aljazair, mengatakan bahwa sebuah penglihatan —seperti juga cahaya— merupakan salah satu bentuk kekerasan terhadap ”yang lain” (the others).

Di sana, dalam sorotan tajam kedepan itu, terdapat cahaya serta semangat untuk mencerahkan bayang-bayang dan kegelapan sebagai ”the others” yang tak terjangkau oleh indera. Dari proses ini, tergambar dengan sendirinya perbedaan antara; cahaya serta semangat yang melahirkan pengetahuan dan abstraksi si penglihat, dengan ”the others” yakni bayang-bayang dan kegelapan. Semangat mencerahkan menjadi dasar bagi penglihat —dalam skenarionya— ”menggauli” the others.

Pula setelah itu, ada semangat untuk menaklukkan ”yang lain” —yang membayang dan gelap itu— ke dalam pangkuan pengetahuan dan abstraksi si subjek. Ada keinginan untuk menjangkau dan merengkuh perbedaan ke dalam suatu bentuk kategori, menurut pengetahuan dan abstraksi si subjek. Selanjutnya lambat laun meuncul kehendak untuk menguasai dan menaklukkan ”yang lain”, dan membangun sebuah imperium kebenaran.

Dari proses inilah lahir sebuah klaim kebenaran (truth claim) atas suatu persepsi, lahir suatu kehendak penyeragaman. Di lain sisi dengan sendirinya mengingkari kemestian perbedaan atau keberagaman. Kooptasi, hegemoni, imperialisme, totalitarian, dan segala bentuk penaklukan terhadap ”yang lain”.

Menatap Wajah ”the Others”

Cogito ergo sum; “aku berpikir maka aku ada”, yang diproklamirkan oleh Deskartes, menjadi pijakan dasar bagi filsafat barat dalam membangun suatu bentuk keseluruhan dengan ego sebagai pusatnya. “Aku” didaulat menjadi pusat segala realitas ontologis dan menjadi prioritas utama yang mutlak dan tak tergugat. Egologi ini terus berkembang dalam sejarah metafisika barat dengan beragam terma; totality, interiority, imanensi, yang mendeskripsikan “Ada” mengkonstitusikan dirinya sendiri.

Totality dan terma-terma serupa lalu diinterupsi bahkan didobrak oleh kehadiran yang tak berhingga, the others; realitas lain yang tak dapat direduksi ke dalam ego dan pengetahuan saya. The others adalah orang lain, yang lain, yang beda, dan bukan diri saya, yang disebut eksteriority. Agar dapat menjumpainya, saya harus keluar dari imanensi saya dan ia membuka dimensi yang tak terhingga bagi diri saya. Saya tidak dapat menghampiri the others dengan bertolak dari “Aku”. Setiap orang (”saya”) tidak akan menghasilkan deskripsi yang persis sama tentang sesuatu. Para pelukis akan menghasilkan lukisan yang beda terhadap satu obyek.

Pemikiran yang membuka diri bagi the others inilah yang oleh Emmanuel Levinas sebagai metafisika, yang dibedakannya dengan ontologi yang hanya berpikir tentang ”yang sama”. Karenanya salah satu tesis penting dari Levinas adalah memprioritaskan metafisika dan etika di atas ontologi.

Mungkin ini bagian dari maksud Tuhan memberi pesan; ”batasilah pandanganmu”. Agar cahaya menjadi penerang bagi keberagaman semesta, tidak sebagai penerang bagi sesuatu. Cahaya tidak pernah membunuh kegelapan, atau kegelapan membunuh cahaya. Penglihatanlah yang membunuh keduanya.

Wallahu A’lam bi al-sawaaf.