Oleh: Sitti Halijah dan Ulfa Ramadhani
|
Sitti Halija dan Ulfa Ramadhani |
Pada abad ke-7 dan 8 M, ketika Selat Malaka sudah dilalui oleh pedagang-pedagang muslim dalam pelayaran dan misi perdagangan ke berbagai negeri di Asia Timur dan Asia Tenggara. Mereka umumnya berasal dari Arab, Persia, dan India dan pada saat itu Islam telah masuk ke Indoanesia. Sesuai dengan hasil Seminar Sejarah Islam di Medan tahun 1976 dan di Aceh tahun 1980 yang berkesimpulan bahwa Islam sudah masuk ke Indonesia sejak abad pertama Hijriyah, yakni sukitar abad ke-8 atau 9 Masehi (Sumitno, 1986:16).
Daerah
yang mula-mula didatangi oleh para pedagang Muslim tersebut adalah
daerah-daerah pesisir atau daerah pelabuhan, seperti pesisir Sumatera.
Sedangkan sumber-sumber Barat mencatat bahwa Islam masuk ke Indonesia baru pada
abad ke-13, dengan alasan ditemukannya batu nisan raja Islam pertama di Pasai
tahun 1297.
Tentang
jalur yang dilaui, ahli sejarah pada umumnya sepakat bahwa Islam masuk ke
nusantara melalui jalur perdagangan dan dakwah dengan cara damai. Kalau pun
pernah tejadi perang antara kerajaan Islam dengan kerajaan non Islam, itu harus
dilihat dalam konteks geopolitik perluasan wilayah, bukan dengan tujuan
Islamisasi.
Sikap Umat Islam terhadap Penjajah
Dalam
sejarah penjajahan Indonesia, ada beberapa bangsa yang pernah terlibat, seperti; Portugis, Belanda, Inggris, dan Spanyol dari Barat, dan Jepang dari Timur.
Tetapi dari semua bangsa itu Belandalah yang paling lama menjajah.
Umat
Islam di Indonesia menganggap mereka ‘kafir’ (terutama Belanda) dan cinta tanah
air adalah bagian dati iman. Perlawanan tersebut pada umumnya dipimpin oleh
para Haji, Ustadz, dan Ulama.
Kuatnya
perlawanan dari umat Islam terhadap penjajah menyebabkan timbulnya berbagai
perlawanan seperti perang Paderi (1821-1827), perang Diponegoro ( 1821-1903),
dan lain-lain.
Untuk
menghadapi umat Islam, pemerintah Hondia Belanda bekerjasama dengan para kepala
adat dan menggunakan lembaga adat untuk membendung pengaruh Islam di kepulauan
Nusantara. Kerjasama ini tampak demikian jelas misalnya dalam perang
Diponegoro, perang Paderi, dan Perang Aceh.
Orang
Islam terpaksa menghadapi penjajah dan kaum adat sekaligus. Menurut Wartheim,
guru besar Sejarah Asia Tenggara Universiatas Amsterdam (1971:25) bahwa perang
Aceh merupakan perang rakyat yang dipimpin oleh Ulama melawan Belanda dan
Hulubalang serta para pengikutnya.
Adanya
sikap perlawan dari Umat Islam memaksa Belanda mengeluarkan berbagai kebijakan
dalam mengelola masalah-masalah Islam yang dikenal dengan istilah Islam Politiek atau politik Islam.
Politik Islam pada dasarnya bertujuan untuk memahami Islam agar dapat menguasai
dan mengatur pemeluknya.
|
Sumber: https://ensiklopebanten.files.wordpress.com/
|
Sikap Penjajah Terhadap Pendidikan Islam
Pesantren sebagai pusat pendidikan Islam Tradisional
mengambil sikap anti-Belanda. Mereka menanggap pemerintah kolonial sebagai
pemerintah kafir yang menjajah agama dan bangsa mereka. Hingga uang yang diterima
seorang sebagai gaji dari pemerintah Hindia Belanda dianggap sebagai uang
haram, bahkan celana dan dasi pun dianggap haram karena karena dinilai sebagai
pakaian identitas Belanda.
Sikap konfrontasi kaum santri terhadap pemerintah
kolonial ini terlihat pula pada letak pesantren di Jawa yang pada umunya di
pelosok-pelosok desa yang sekaligus dijadikan sebagai basis perjuangan.
Dalam pandangan pemerintah Hindia Belanda, pemberontakan
itu tidak lepas dari peranan para haji dan Ulama yang selama di Mekkah telah
memperoleh ide-ide Pan-Islamisme dan membawanya pulang ke Indonesia. Maka
dengan alasan demi terpeliharanya ketertiban dan keamanan, pemerintah Hindia
Belanda semakin mencampuri agama Islam, terutama di bidang pendidikan.
Pada
tahun 1682 pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan peraturan pengawasan terhadap
pelaksanaan pendidikan/madrasah yang justru penekanannya lebih terarah
membatasi kegiatan Pendidikan Islam.
Pada tahun 1832, dikeluarkan lagi peraturan Wil School
Ordonantis yang menutup madrasah yang tidak memiliki izin operasional dari
pemerintah Belanda dan pencekalan mengajar bagi kiai-kiai tertentu karena
dianggap berbahaya terhadap kepentingan pemerintah Hindia Belanda.
Sebelumnya
muncul penetapan Ethic Politic pada tahun 1820 yang baru diberlakukan
pada tahun 1907 yaitu suatu peraturan tentang perluasan pendidikan ke pedesaan
yakni sekolah rakyat bagi seluruh lapisan masyarakat termasuk orang Islam.
Selain itu, ada Hollandsch-Inlandsche
School (HIS) bagi
murid-murid Indonesia yang berasal dari kalangan keluarga terkemuka dan
disederajatkan Europrrsch Lagere School. Model pendidikan ini sebagaimana kita
kenal sekarang dengan istilah sekolah umum.
Madrasah-madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam yang
sudah memiliki akar rumput di masyarakat tidak diberikan fasilitas dalam
pengembangannya, sehingga semakin terpinggir posisinya sebab pemrerintah Hindia
Belanda merasa keberadaan madrasah tidak menguntungksn terhadap pengaruh dan
kewibawaannya.
Dengan politik pendidikan sistem belah bambu satu
diangkat dan satu diinjak, yang mana sekolah rakyat difasilitasi diberi
fasilitas dalam dalam pengembangannya sedangkan madrasah tidak mendapat
fasilitas. Maka terjadilah dualisme pendidikan pada masa A.Van Der Chijs
menjabat Inspektur Pendidkan Belanda di Indonesia.
Posisi dualisme dalam pengelolaan pendidkan sebagai
warisan dari pemerintah Hindia Belanda pada masa setelah kemerdekaan pun masih
terasa, betapa besar anggaran bagi sekolah umum dibanding dengan
madrasah-madrasah pondok pesantren.
Nanti di era reformasi
dan otoda baru mulai terasa adanya perubahan secara signifikan ke arah
persamaan dengan tampilnya pendidikan nasional dipayungi oleh Undang-Undang
Sistem Pendiidkan Nasional Nomor 2 taun 1989 sebagai prolognya, dan dipermantap
dengan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional yang telah disahkan oleh DPR
pada tanggal 11 Juni 2003.
Tentang Penulis:
Sitti Halija, Mahasiswa semester 1 Prodi PIAUD IAI DDI Sidrap
Ulfa Ramadhani, Mahasiswa semester 1 Prodi PIAUD IAI DDI Sidrap